Lupa

IA hanya memutuskan pulang waktu itu. Ia tak tahu kepulangannya ke rumah terasa cepat atau lambat. Ia juga tak tahu apakah mendapatkan sesuatu yang baru dari hari kemarin, ketika kakinya akan menyentuh lantai rumah itu lagi. Rokok mild di tengah apitan kedua jarinya mulai terasa membosankan. Demi mengenyahkan rasa penat, tak ada cara lain kecuali terus membiarkan gerombolan nikotin tadi tetap setia membombardir mulut dan paru-parunya.
Hari ini, Vian enggan kuliah. Entahlah, menyimak rentetan doktrin dosen-dosen yang menganggap dirinya lebih pintar dari semua mahasiswa, membuat rasa stresnya makin terpuruk pada titik terparah. Semakin bertambah parah ketika Vian mengingat-ingat lagi perangai mereka yang tak beda jauh dengan tokoh kartun. Sok lucu dengan kebenaran masing-masing. Angkuh bak diktaktor fasisme. Tak pernah hirau dengan pemikiran-pemikiran baru. Dan yang paling menyebalkan, memberlakukan pungli untuk sesuatu yang antah berantah. Itulah sebait kenyataan yang ia simpan tentang sosok agung para pendidik itu.
Separuh harinya mati tak berkutik di tempat billiar. Bukannya kehilangan aktivitas, Vian berpikir barangkali di tempat itu ia bisa mendikte waktu yang kian bertambah usang. Kabar yang santer berkembang, waktu memang kian betambah usang dan semakin usang sampai hari ini. Siapa yang bisa mengendalikan waktu?. Tak ada selain waktu itu sendiri. Sebetulnya ia lelaki yang bersemangat, selalu menggebu-gebu setiap melakukan sesuatu. Namun seperti yang kerap digosipkan, titik jenuh memang gemar berkhianat. Mengutak-atik bola-bola billiar cukup membunuh kepenatannya, setidaknya untuk saat ini.
Orang-orang berlalu-lalang sambil satu atau dua dari mereka memandangnya sepintas dengan mimik wajah beragam jenis. Seorang remaja pria dengan style norak menatap Vian dengan raut sinis. Ia hanya menatapnya sekilas sambil membayangkan tong sampah secara refleks. Selesai menyeberang Zebra cross perempatan lampu merah, seorang wanita menjelang tua menatapnya dengan garis wajah penuh curiga, Vian tak mampu menafsirkan, seperti ketika seorang kakek yang mungkin tanpa sengaja menyiku pipinya dan kemudian pergi dengan tanpa kesan bersalah sedikitpun. Ia hanya terus berjalan menyusuri pusat kota, menoleh pada gedung-gedung megah, sembari memikirkan diri sendiri.
Vian tahu perutnya lapar sejak tadi. Tentu bukan karena gengsi bila ia belum makan sampai sesore ini, apalagi berniat diet untuk mengurangi berat badannya yang di bawah standar. Uangnya habis sejak tadi siang. Sialnya, musibah ini baru ia sadari sore itu. Sebuah logam lima ratus dan tiga buah logam seratus secara sah menyatakan ia kurang memenuhi syarat untuk menggunakan fasilitas angkutan kota. Satu-satunya sarana yang bisa membawanya tiba di rumah.
Tak ada cara lain, ia terus melanjutkan jalan-jalannya menyusuri pusat kota sambil berdoa dalam hati agar ada uang logam seratusan yang tercecer di sudut-sudut trotoar. Setiap orang memandangnya dengan aneh, ada yang terlihat heran ketika Vian menyusuri pinggir-pinggir toko dengan pandangan mata ke bawah, ada yang tertawa kecil ketika melihat raut kebingungan di wajahnya. Setiap orang mempunyai reaksi tersendiri terhadap orang-orang sekitar. Setiap pribadi senantiasa menampilkan kesan-kesan khusus yang tak akan dimengerti bahkan oleh diri sendiri.
Doa Vian terkabul dua jam kemudian setelah kedua kakinya melahap dua kilo perjalanan. Hanya ada perasaan geli di hatinya ketika menemukan sekeping logam seratus pada sudut antara selokan dan trotoar. Menggelikan karena kepingan logam itu mampu membuatnya gembira, sedangkan ratusan ribu pemberian orang tua datang dan pergi tanpa kesan apa-apa.
Dugaannya benar. Rumah yang ia tinggalkan pagi tadi makin hening. Hening dari keceriaan, hening perhatian, hening senyuman, hening kedamaian, dan yang paling utama, rumah itu benar-benar hening jiwa. Yang ia temui hanyalah mayat-mayat bergerak yang secara rakus melahap kebutuhan pribadi sambil sesekali menyapanya dengan angkuh, apa kabar Vian?.
Vian makin tak mengerti. Ia makin tak mengerti di tengah kemengertiannya. Ia mengerti bahwa ia memiliki keluarga, ia mengerti bahwa ia memiliki sahabat-sahabat, ia mengerti bahwa kata dosen kerja keras itu penting, ia mengerti bahwa ia tak sendiri, ia mengerti bahwa bla..bla..bla...
Dan tuan mengertipun bingung.....
Tak ada aktivitas lain, musik langsung menjadi hiburan andalan di tengah kepenatannya. Suara bising Jonatan Davies membahana dalam lelah tidurnya. Ia larut dalam kenyenyakan.
Jam enam sore Vian terjaga karena telepon berdering lumayan berisik. Vian masih setengah sadar ketika mengangkat gagang telepon. Dadanya bergetar kencang ketika mendengar suara itu. Suara yang sudah lama ia kenal namun kini seperti terasa asing di telinganya.
“Iya, jam sembilan, nanti datang” Ayahnya menelepon.
Ia kemudian sadar telah melupakan sesuatu. Hari ini ayahnya berulang tahun. Belum juga sepuluh menit, seorang teman menelepon mengundang datang pada pesta pertunangannya. Vian akhirnya memutuskan memilih penelepon pertama. Bagaimanapun sesekali aku harus menengok seseorang yang membuatku ada di dunia ini. Kata Vian kepada cermin.
Setelah memilah-milah sekitar dua puluh detik, kaos tua nyaris kusam dengan gambar Jim Morison menjadi baju pilihan untuk dipakainya. Karena menimbang sepatu Conversenya yang tengah di ambang kehancuran, Vian memilih sandal jepit saja sebagai pengalas kaki. Sama sekali tak mengusiknya kalau yang akan hadir kepesta ulang tahun ayahnya nanti adalah pejabat-pejabat pemegang kendali di daerah ini.
Beberapa tahun lalu ia masih merasakan indahnya saat-saat seperti ini. Saat-saat berkumpul dengan keluarga, saat-saat semuanya mengumbar senyum meski tak ada satupun hal yang lucu. Saat satu sama lain saling memuji meski tak ada satupun hal yang membanggakan. Saat semuanya masih merasa lebih di tengah kekurangannya. Itulah yang terjadi di setiap reuni-reuni keluarga. Sekarang ia hanya tertawa geli mengingat kejadian-kejadian tadi.
Jam sembilan tepat, suasana sangat ramai ketika ia tiba di rumah sang ayah. Ia segera menggenggam tangannya, kemudian mengecup pipinya. Sang ayah hanya menyambutnya dengan senyuman kecil, dan segera berlalu menyibukkan diri dengan tamu-tamu yang ada. Vian duduk menyendiri di sudut ruangan rumah. Memperhatikan satu persatu setiap wajah-wajah angkuh pada setiap aktivitas mereka.
Detik-detik tercerabut dari sang waktu. Suasana hatinya perlahan membenam pada sebuah keterasingan aneh, yang telah mengintainya sejak beberapa waktu lalu. Ia tak lagi merasa berada dalam lingkungan keluarga. Kehadirannya di tempat ini seperti sebuah kunjungan besuk di sebuah Rumah sakit jiwa, yang pasien-pasiennya adalah orang-orang yang telah lama ia kenal. Vian kembali bergelut bingung. Beberapa saat yang lalu ia masih merasa memiliki ikatan batin dengan tempat ini, masih merasa di rumah sendiri. Entah kekecewaan atau kebosanan Vian menyesal telah memilih ke sini dan mengabaikan ajakan kepesta pertunangan temannya.
Sejak orang tuanya berpisah ia seakan lupa dengan kata “pulang”. Sebuah kata yang kaya akan kenyamanan sebuah rumah. Sebuah kata yang dulu sering ia ucapkan kepada teman-temannya setelah selesai sekolah, “woi pulang ah”, kata yang sering ia sebut saat merasa lelah dengan aktivitas seharian, “pulang dulu ya”. Kata itu selalu terasa nikmat diucapkan. Karena setelah mengucapkan kata itu, bayangan yang ada di kepala adalah nikmatnya masakan ibu, hangatnya senyuman ayah, dan cerianya canda tawa keluarga yang selalu menyapa ketika ia “pulang” ke rumah tercinta.
Sekarang semua itu hanya ia temukan di pagi hari ketika matahari mengusirnya dari mimpi. Rasa tenang itu cuma menyapa melalui teriakan-teriakan sumbang saat alkohol berlagak protagonis di setiap sel-sel otaknya. Memang cuma itu.
Ayah, aku pulang. Kalimat itu hanya terucap di kepala, dan Vian pergi berlalu. Tanpa sepengetahuan siapapun, hanya angin yang melihat, hanya kilau gemintang yang tahu. Jalan yang tersorot remang-remang bulan di depan rumah tetap sunyi memikul langkah pelan lelaki kurus itu.


Based on: Kumpulan Cerpen "He..Leh!?"

0 komentar:

Posting Komentar