Asap Rokok

SORE hampir saja terlelap. Keramaian di setiap sisi ruangan perlahan mulai susut. Satu persatu mahasiswa telah beranjak meninggalkan rutinitas wajibnya. Pada jam-jam seperti ini paling yang tertinggal hanya kegaduhan kecil lewat suara kursi berdentaman yang berarti pak Tinus tengah membereskan peralatan kantin. Tempat itu tidak lagi diisi hingar bingar bermacam obrolan layaknya beberapa jam yang lalu. Sunyi. Namun di antara kursi-kursi yang berjejer di sana ternyata terdapat sebuah yang masih berpenghuni.
“Belum pulang Val?” sapaan lelaki tua tak diacuhkannya. Ia tetap memaku dengan sepasang mata dingin entah menatap siapa. Sela lima belas detik satu lagi kepulan asap terbang dari mulutnya. Sudah puluhan batang zat nikotin menerobos ke dalam paru-parunya hari ini.
“Terus memikirkan itu tak ada labanya. cuma bikin pening” pak Tinus mencoba menghibur. Pria itu tetap tak bergeming. Beberapa menit mereka terdiam. Pak tinus tampak tidak tega meninggalkan ia sendirian. Ia menunda kepulangan.
“Konyol. Orang pintar jaman sekarang makin tambah konyol” lidah Valdo mulai berkokok. Pak Tinus mengambil duduk di sebelahnya.
“Apa gunanya sekolah di luar negeri Pak?. Belajar tinggi-tinggi hanya sekedar menumpuk-numpuk gelar di depan dan belakang nama saja. Kenyataannya, cara berpikir masih sekerdil ayam!. Aku tak bisa terima pak. Semuanya tinggal selangkah lagi. Penyandang modal sudah mengangguk iya berkali-kali, teman-teman lain juga telah susah payah menguras tenaga untuk pagelaran ini. Pokoknya tidak boleh gagal cuma karena tidak ada kata setuju dari perawan tua itu” ujarnya berapi-api.
“Ha..haa... Kamu bisa dikeluarkan dari sini kalau sampai ia mendengar sebutan perawan tua tadi”
“Lha, ini kan fakta?. Gelar boleh setinggi langit, tapi kalau belum pernah mencicipi surga dunia sama juga nihil! Barangkali ini pangkal pemicu mengapa ia sukar dapat jodoh. Masak membikin sesuatu untuk kemajuan kita sendiri saja harus dipilah-pilah dulu. Apa kegiatannya, bagaimana pelaksanaannya, dan yang paling menggelikan adalah, siapa sponsornya?. Rokok?. No way katanya. Siapa pun tahu perusahaan rokok paling tidak segan mencurahkan dana besar untuk kegiatan seperti ini”
Pak tinus tersenyum mendengar keluh kesah Valdo yang sedari tadi siang belum pula berubah tema. Masih dengan sakit hati yang sama.
“Bapak pulang saja. Saya masih ingin berlama-lama dulu di sini. Kalau sudah bosan nanti pulang juga”
Pak Tinus bergegas pergi setelah memberi kenang-kenangan setengah bungkus rokok gratis untuk menemaninya. Setengah jam berikut Valdo menyerah juga pada kegelapan dan rombongan nyamuk yang mulai bergerilya. Ia pulang dengan rasa kesal yang tak kunjung padam. Hal yang lumrah. Mimpinya untuk mengadakan pagelaran eksperimental musik di kampus lama tertahan, dan sudah kebelet untuk direalisasikan. Namun usaha yang tinggal sejengkal lagi ini pupus karena pimpinan fakultas tidak selera dengan segala sesuatu yang berbau rokok. Jenis sponsor yang telah siap memuntahkan dananya dengan segera.
Wajah sang dekan terus mengiang-ngiang di benaknya. Setiap orang yang ia temui tiba-tiba saja berubah tampangnya menjadi seperti tampang dekan. Valdo mendadak gelisah. Ini benar-benar aneh. Mobil angkot yang ditumpanginya hanya dihuni beberapa orang. Matanya menerawang keluar jendela. Parahnya, Setiap papan iklan yang ada gambar orangnya pun bernasib sama, menyerupai wajah dekan lagi. Ia mengucek-ngucek matanya pelan, lalu menggerakannya ke segala arah. Hasilnya tetap sama. Segala bentuk rupa manusia yang dijumpai kepalanya benar-benar menyerupai wanita tua yang meneror hati dan pikirannya belakangan ini.
Barangkali cuma sugesti sesaat. Valdo mencoba menenangkan diri. Syukurlah setelahnya ia bisa bernafas lega. Pemandangan abnormal tadi tak dijumpainya di rumah. Semua berwujud normal. Ibu, pembantu, tante Lina, terlihat seperti sediakala. Valdo menyegarkan diri di kamar mandi, apa yang dilewati hari ini sudah cukup membuat gerah.
Sekitar dua jam ia hanya menghibur diri dengan kebisingan lagu-lagu Rock di dalam kamar. Melenyapkan rasa kesal dalam waktu singkat memang sebuah perkara sulit. Besutan melodi-melodi Jimi Hendrix yang di malam-malam kemarin menjadi santapan musik favorit, kali ini berubah wujud menjadi penambah rasa kesal.
Valdo memiliki ibu yang paling peka dengan perangai orang-orang rumah. Dengan keahlian tersebut, ia dengan sigap menyikapi segala penyimpangan tindak-tanduk yang terjadi. Sampai-sampai penghuni rumah itu pernah berpikir hidup mereka tak melenceng beda dengan ujian semester. Kondisi ini acapkali merajai chart untuk hal yang paling membikin Valdo sebal. Berkali-kali sang bunda mengetuk-ngetuk pintu kamarnya, ia merabai kejanggalan pada si buah hati hari ini. Kadar perhatian itu tak pernah berkurang sejak ia kecil.
“Aku sehat walafiat Ma” Valdo mengajukan pembenaran. Ujaran yang ke sebelas sang bunda luluh dan langsung beringsut ke tempat tidur.

*
Prof. Dr. Monowati menyelesaikan sarapan ayam panggangnya dengan lega. Ia menyeka mulut penuh kepuasan. Sementara Junaidy masih keasyikan melahap aneka santapan lezat yang terhidang. Barangkali pria berkumis tebal itu adalah supir paling beruntung di dunia. Satu-satunya pengemudi yang bisa sarapan semeja dengan sang pemberi gaji. Tentu tanpa mengesampingkan Tince dan Jefry, pembantu dan tukang kebun yang dianugerahi kehormatan sama. Mau bagaimana lagi, kalau ketiga orang itu tidak ikut gabung, suasana meja makan bisa sesenyap kuburan. Ibu Wati dengan tulus hati mempersilahkan mereka untuk selalu bersanding dengannya di meja makan setiap hari. Hanya mereka yang bisa menjadi penawar rasa sepinya di rumah. Rumah megah milik sendiri.
Bermacam opini hadir simpang siur menanggapi keputusan ibu Wati mengapa hingga seuzur ini belum berkeluarga. Contohnya ada yang beranggapan ia terlalu sibuk menggerayangi ilmu pengetahuan sampai lupa memadu asmara. Yang lain menganggap ia mempunyai pengalaman traumatik dengan percintaan. Terus membekas dan terlanjur meneror. Kubu yang lain lagi menduga kalau kondisi itu memang adalah pilihan hidupnya. Sejauh ini ibu Wati tetap berpendirian bahwa biarlah misteri ini menjadi rahasia pribadinya.
Masih pagi sekali Junaidy sudah mencuci bersih Toyota kijang keluaran 90-an di garasi. Ia bisa kena damprat kalau kendaraan itu belum mengkilat ketika sarapan selesai. Lumrah saja, majikannya memilki karakter keras dan disiplin dalam segala persoalan. Selain itu, takaran kolesterol yang menyusup dalam darahnya memang tergolong parah. Dengan kompak ia dan pembantu lain menjaga sebisa mungkin supaya sang majikan bisa mengontrol emosi.
Pria itu membukakan pintu belakang mobil.
“ACnya mati?” tanya majikannya.
“Dari kemarin Bu” jawab Junaidy seraya menyalakan sebatang rokok kretek. Ia tahu majikannya tak akan komplain kalau ia merokok saat AC tak berfungsi. Mobil melesat dalam sisiran pagi yang terang. Memasuki jalan raya pusat kota mobil-mobil tampak menyesaki jalan. Lima belas menit terjebak perangkap macet wajah majikannya lambat-lambat berubah warna. Junaidy mulai gelisah. Sejak bensin dijadikan bahan eksklusif oleh pemerintah beberapa hari lalu, jalanan di sekitar pusat kota memang selalu padat sejak pagi. Dihidupkannya lagi sebatang rokok untuk mengusir rasa bosan. Ibu Wati mulai gerah.
“Kita lewat jalan sebelah saja”
“Maaf Bu, jalan sudah terlanjur sesak, saya tak mungkin lagi memutar balik”
Tiga batang sudah asap nikotin terbang dari mulutnya. Mereka masih terperangkap macet. Ruangan dalam mobil mulai pengap. Udara yang minim menyebabkan asap rokok yang dilumat Junaidy memenuhi seisi mobil. Ibu Wati tak tahan sampai akhirnya ia batuk-batuk hebat. Tak perlu menunggu lama Junaidy segara didampratnya dengan umpatan-umpatan tajam. Bak singa terluka, kemarahan itu ditumpahkannya bertubi-tubi. Junaidy yang sebelumnya terdiam menjadi panik ketika penyakit asma majikannya kumat. Ibu Wati terserang sesak nafas hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata lagi. Lengkingan-lengkingan kecil terdengar mendecit di tenggorokannya. Kepanikannya mencapai klimaks karena jalanan semakin sesak. Ia tak bisa melarikan majikannya ke Rumah Sakit karena terkurung gerombolan mobil. Tak ada jalan lain Junaidy menelepon tukang kebun di rumah dengan menggunakan ponsel majikannya. Tak lama kemudian tukang kebun datang menjemput dengan taksi dan mereka segera ke rumah sakit.
Ibu Wati akhirnya bisa bernafas lega setelah dokter memberikan obat. Mereka bisa langsung pulang hari itu juga.
“Saya minta maaf Bu” kata Junaidy menyesal.
“Lupakan saja. Mulai sekarang saya tak mau lagi melihat kamu merokok di dalam mobil mengerti?” ketus ibu Wati tegas. “gara-gara kamu saya tidak masuk kerja hari ini”
Junaidy hanya mengangguk-angguk bodoh. Perasaan bersalah yang dalam membuatnya malu setengah mati. Sorenya pria berhati lembut itu mengantar ibu Wati berbelanja keperluan dapur di pasar. Kali ini ibu Wati ingin memilih sendiri bahan-bahan untuk makan malam nanti. Tugas yang semula diemban secara rutin oleh Tince. Barangkali ia berpikir tidak ada salahnya sekali-sekali terjun langsung ke lapangan.
Sedang asyik melakukan tawar-menawar dengan penjual ikan, seorang lelaki kekar berjenggot, entah sengaja atau tidak, tiba-tiba menyenggol lengan kanan ibu Wati dengan api rokok di tangannya. Ibu Wati menjerit kesakitan. Lengan kanannya yang putih melepuh. Sementara lelaki itu tetap berjalan di tengah keramaian tanpa sedikitpun merasa bersalah. Wanita tua itu menjadi geram. Sarafnya membaja. Niat berbelanja seketika dibatalkan.
Di dalam mobil Junaidy kelabakan mencari kotak P3K. Lama tak dipakai benda itu raib entah kemana. Ia berlari cepat membeli obat pencegah infeksi kulit di toko-toko kecil sekitar pasar. Tapi rupanya obat yang jarang laku itu sulit beredar di area perbelanjaan seperti ini. Junaidy tergesa-gesa kembali ke mobil. Pikirannya tak lagi tersentuh ketika kedua bahunya berkali-kali melabrak orang-orang. Hal utama yang dipikirkannya saat ini adalah bagaimana memulihkan kembali suasana tegang yang kerap ia lewati dengan majikannya belakangan ini. Untuk kedua kalinya hari ini ia kena damprat lantaran terlalu lama kembali. Bersalah atau tidak ia mengerti telah menjadi orang benar di tempat dan waktu yang salah. Hanya itu yang memotivasinya agar tetap sabar.
“Kita ke apotik terdekat saja Bu?” usulnya. Ibu Wati hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandang.
Junaidy membesut mobil ke apotik atau toko obat yang bisa secepat mungkin ditemui. Pada belokan pertama mereka bisa langsung mendapati papan besar yang ada gambar gelas dan ularnya. Ia menepikan mobil dan secepat motor balap masuk ke dalam. Rupanya penjaga apotik termasuk orang yang tipenya lamban mengerjakan sesuatu. Tak dapat mengimbangi kesabaran Junaidy yang sedang terburu-buru. Ia pun menjadi tak bergairah menuturkan rasa terimakasih setelah menebus obat cair dan kapas itu.
Baru saja hendak menghidupkan mesin mobil, seorang polisi datang menghampiri.
“Tahu kesalahan anda kan?” kata polisi setelah mengangkat tangan kanannya di jidat.
Situasi seperti ini membuat rambu dilarang parkir menjadi tidak menarik untuk diperhatikan. Junaidy terlambat menyadarinya. “Maaf pak, sebetulnya tahu, tapi jadi lupa gara-gara buru-buru”
“Surat-surat anda?”
Junaidy menyusupkan telapak tangan pada rak kecil sebelah setir. Matanya membeliak begitu merasai kelima jarinya tak menyentuh apapun. Ia sadar sering lupa pada masalah-masalah sepele akhir-akhir ini.
“SIM dan STNK saya tertinggal di rumah Pak”
“Kalau begitu untuk sementara mobil anda saya tahan”
Ibu Wati yang sedang sibuk mentotol lukanya dengan kapas terperanjat.
“Anda tidak bisa seenaknya saja menahan mobil saya” ujarnya protes.
“Itu sudah merupakan prosedurnya nyonya. Kami hanya menjalankan tugas” balas polisi dengan gelagat hipokrit. Mengharapkan korban tilangnya berinisiatif menawarkan sogokan. Ibu Wati yang sudah terlanjur meninggi darahnya, meninggalkan mobil tanpa banyak omong.
“Kamu bereskan dulu masalah ini. Saya mau naik angkutan umum saja” ketusnya dan bergegas pergi. Junaidy tampak tolol, seperti anak ayam yang ditinggal induknya. Sebetulnya masalah akan segera selesai kalau negosiasi dengan petugas lalulintas berjalan mulus. Namun rasa kesal yang dalam membuat hal itu tak lagi diperhitungkan.
Di dalam angkutan kota ibu Wati merenungi apa yang secara beruntun menimpanya hari ini. Kemudian ia teringat kalau sudah lumayan lama tidak menggunakan sarana transportasi umum. Sekian tahun dirinya dimanjakan tempat duduk empuk serta ruangan mobil yang berAC. Mengingat hal itu ia tersenyum. Saat yang bersamaan seorang lelaki gemuk bertampang teroris naik lalu duduk di kursi paling belakang. Dengan santai lelaki itu menyalakan sebatang rokok, tanpa mengambil pusing penumpang lain telah memenuhi seluruh tempat duduk. Kehadirannya jelas mendatangkan satu lagi rasa sebal bagi ibu Wati. Semakin menggenap ketika kepulan asapnya mulai memancing penyakit asmanya. Kali ini ia telah menyiapkan obat hirup dari dokter yang bisa meredakan sesak nafas dalam sekali hirup. Beruntung.
Rumah yang sehari-harinya dipenuhi ketentraman kini terlihat membeku. Raut sang empunya rumah menyerupai lukisan gunung meletus di depan TV. Perban kecil menempel lengan kanannya. Suasana seisi ruangan yang disesaki perabotan mewah itu memang sangat bergantung pada sikap majikannya. Setiap orang mendadak diam bila sang majikan enggan membuka mulut. Dan tak ada satu orang pun yang berani mengambil resiko untuk melakukan usaha penghiburan. Akibatnya besar kemungkinan fatal.

*
Valdo duduk santai dengan segelas kopi kental di kantin pak Tinus. Jarang-jarang pemuda berambut cepak itu masih pagi sudah terlihat batang hidungnya. Satu persatu berita sepakbola pada halaman belakang koran ia cicipi. Suasana kampus lambat-lambat ramai. Sehabis mencukur tuntas informasi-informasi berbobot di surat kabar, pak Tinus kembali mengajaknya ngobrol, bernostalgia tentang perang zaman dahulu. Topik andalan yang acapkali diperbincangkan si lelaki tua. Muka Valdo berseri-seri. Kemurungan yang dua hari lalu memagutnya sudah enyah. Sedang keasyikan ngobrol, salah seorang pegawai administrasi datang mencari Valdo.
“Kamu di tunggu dekan di ruangannya” kata pegawai itu.
Valdo terlihat linglung menanggapi apa yang baru saja didengarnya. Dicari dekan?. Mungkinkah ia akan menghadiahi skors padaku karena keranjingan menentang kebijakannya?. Untuk mengusir rasa penasaran Valdo bergegas ke ruangan orang penting yang mencarinya. Ia melangkah masuk dengan rasa percaya diri setengah-setengah. Ditariknya nafas dalam demi memperkokoh mental. Mewaspadai kemurkaan yang bisa saja telah siap menerkamnya.
“Silakan duduk” sambut dekan dingin. “Kamu kan yang getol membikin pagelaran musik itu?
“Iya Bu” jawab Valdo tegar.
“Begini, kali ini saya mengizinkan kalian bekerja sama dengan perusahaan rokok untuk mendanai pagelaran itu”
Valdo tampak bingung. Nafasnya mulai labil. “jadi ibu mengizinkan?”
“Sebentar, jangan senang dulu. Ada syarat yang harus dipenuhi. Segera lakukan kesepakatan dengan perusahaan rokok itu, dan sepuluh persen dananya serahkan pada saya”
“Sepuluh persen? Tt..tapi”
“Jangan banyak komentar. Pokoknya itu syarat mutlak yang tak bisa ditawar lagi. Oh, iya kamu tentu ingin tahu akan saya kemanakan uang itu?. Gara-gara perusahaan mereka penyakit asma saya kambuh dan tangan saya terbakar begini. Bilang ini sebagai ganti rugi” lanjut ibu dekan tegas sambil menunjuk lengannya yang terbalut perban.
Entah tak tahu lagi mengatakan apa, Valdo menyetujui saja kesepakatan itu. Di lain sisi ia gembira lantaran mimpinya bisa terlaksana. Di lain sisi ia berpikir ekstra keras menafsir apa yang baru saja dialaminya.



Based On: Kumpulan Cerpen "He..Leh!?"

0 komentar:

Posting Komentar