Dimensi Perselingkuhan Dalam Novel "Supernova" (Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh) Karya Dewi Lestari

Secara umum perselingkuhan bisa diartikan sebagai penyelewengan yang terjadi pada suatu pasangan yang membangun sebuah hubungan, baik hubungan dalam ikatan pernikahan maupun yang tidak. Namun, pengertian secara khusus, yang paling sering dibahas dalam studi sosial budaya, selingkuh berarti, suami atau istri yang telah terikat dalam lembaga perkawinan, menjalin hubungan dengan laki-laki atau wanita lain dengan tanpa ikatan perkawinan. Unsur tanpa ikatan perkawinan harus ditegaskan mengingat di Indonesia poligami diperbolehkan.

Perselingkuhan adalah problem sosial yang terjadi di mana saja sejak zaman dahulu kala, dan dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, miskin atau kaya, tua atau muda, dari pengusaha hingga pejabat. Problem ini berkaitan erat dengan masalah moral, agama, etika, institusi, dan lain-lain. Bahkan, banyak sekali konflik-konflik kekuasaan dalam sejarah dunia disebabkan oleh perselingkuhan. Salah satu contoh adalah perselingkuhan yang dilakukan mantan presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, menjadi skandal besar yang menghebohkan dunia.

Di tengah masyarakat urban, perselingkuhan sudah menjadi gaya hidup. Kondisi ini tak terelakan mengingat seksualitas merupakan unsur alamiah yang terdapat pada manusia. Aktifitas pemuasan hasrat seks menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan. Setiap manusia berkecenderungan mencari objek pemuasan seks lain ketika ia tak lagi mendapat kepuasan dengan pasangan yang sebelumnya. Selain faktor dorongan biologis dan lingkungan sosial, perselingkuhan juga banyak disebabkan oleh faktor psikologis, pencarian akan rasa nyaman ketika pasangan terdahulu dirasa tidak cukup memberikan kebahagiaan. Akar dari masalah perselingkuhan memang kompleks.

Unsur perselingkuhan dalam novel ini ditampilkan pengarang lewat tokoh Ferre dan Rana. Kedua tokoh inilah yang oleh pengarang (Dewi Lestari) dan pencerita (Dhimas dan Ruben) disimbolkan sebagai Ksatria dan Puteri. Ferre dan Rana adalah dua sosok dengan latar belakang keluarga dan kehidupan yang berbeda. Ferre adalah seorang eksekutif muda tampan yang tengah menapaki puncak karirnya. Di usianya yang masih relatif muda ia telah memiliki segalanya, kekayaan, kesuksesan, kepopuleran, dan lain-lain. Karakternya sebagai sosok pekerja keras dan mandiri terbentuk sejak masih kecil. Ibunya meninggal ketika ia masih berumur 5 tahun. Sejak saat itu ia hidup bersama kakek dan neneknya yang juga meninggal ketika ia berumur 11 tahun. Kondisi tersebut membentuk dirinya menjadi sosok yang memiliki keperibadian kuat:

“Banyak yang mengira ia menjalani kehidupan jet set, bergelimang wanita cantik, dan pesta-pesta gila. Apa yang dibayangkan kebanyakan orang jauh berbeda dengan apa yang sesungguhnya ia jalani.
Ia selalu mendapatkan fasilitas nomor satu. Terbang dengan first class, mobil dinas setidaknya harga lima ratus jutaan, dan akomodasinya hampir selalu bintang lima. Namun ia melewati semuanya dalam keadaan berpikir, membuka-buka lembaran faks, menerima laporan ini-itu, telepon dari sana-sini yang tak mengizinkannya menikmati pemandangan jalan.” (2001:22).

Namun, di tengah puncak kesuksesan, Ferre belum juga mempunyai seorang pasangan hidup yang mendampinginya. Telah banyak wanita cantik mendekatinya tetapi tidak ada satu pun yang bisa memikat hatinya. Ia terlalu sibuk mengurusi pekerjaannya sebagai managing director di sebuah perusahaan multinasional. Suatu waktu seorang wartawan sebuah majalah perempuan menemuinya untuk diwawancara. Wartawan itu adalah seorang wanita yang telah menikah bernama Rana. Wawancara tersebut menjadi awal kisah cinta mereka. Saat berkenalan dengan Ferre, Rana sudah tiga tahun menikah. Bertolak belakang dengan Ferre, Rana dibesarkan oleh keluarga yang dipenuhi dengan aturan. Sejak kecil kehidupan Rana dikendalikan oleh orangtuanya.

Dr.Willard Harley (dalam Ni Luh Putu Suciptawati, Made Susilawati) mengemukakan bahwa faktor yang menyebabkan perselingkuhan adalah:

“Tidak bertemunya kebutuhan suami dan isteri dalam rumah tangga. Kebutuhan isteri meliputi kebutuhan akan kasih sayang (affection), percakapan (conversation), ketulusan dan keterbukaan (honesty and openness), komitmen finansial (financial commitment), dan komitmen keluarga (Family commitment). Sedangkan kebutuhan suami meliputi kebutuhan seksual (sexual fulfillment), kebersamaan dalam rekreasi (recreational companionship), memiliki pasangan yang menarik (an attractive spouse), dukungan dalam rumah tangga (domestic support), dan kekaguman (admiration)”. (http://ejournal.unud.ac.id).

Uraian di atas meski terlalu umum, memang cukup memadai untuk dijadikan acuan, karena cukup sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan. Satu faktor yang menjadi persamaan dan titik berat kebutuhan suami maupun isteri adalah faktor psikologis. Satu hal yang menarik, dan tentu saja bisa menimbulkan tarik menarik, yakni adanya dua unsur pembeda pada kebutuhan suami dan isteri. Kebutuhan seksual dan kebutuhan ekonomi. Secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa perempuan lebih memprioritaskan kebutuhan ekonomi, sedangkan pria lebih memprioritaskan kebutuhan seksual. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa secara seksual perempuan memiliki kekuasaan lebih untuk mengendalikan laki-laki, sedangkan secara ekonomi laki-laki memiliki kekuasaan lebih untuk mengendalikan perempuan. Bila dilihat pada kasus-kasus yang terjadi di lapangan hal tersebut dapat dibenarkan. Laki-laki kaya sering memanfaatkan kekayaannya untuk memperoleh wanita cantik dan menarik supaya ia bisa memperoleh kepuasan sempurna secara seksual. Wanita pun sebaliknya, sering memanfaatkan kecantikannya untuk memikat hati pria-pria yang mapan secara ekonomi. Ditinjau dari sudut pandang sosiokultural pembagian kebutuhan tersebut sarat dengan politik budaya patriarkal, yang tidak memperhitungkan eksistensi perempuan.

Perselingkuhan dalam Supernova “Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh” memiliki dimensi tersendiri, karena pihak yang telah menikah adalah sosok perempuan. Bertolak belakang dengan kasus-kasus yang biasa terjadi di masyarakat, di mana kebanyakan hal tersebut dilakukan oleh pria yang telah menikah. Kasus tersebut identik dengan prinsip budaya patriarkal, laki-laki yang mapan meski telah berkeluarga bisa leluasa memperoleh pasangan selingkuh yang diinginkannya, dan perempuan mau saja dijadikan selingkuh asalkan laki-laki yang telah menikah tersebut memiliki kekayaan.

Pada umumnya perselingkuhan dapat dibagi menjadi dua tipe, Pertama, perselingkuhan dengan keterlibatan emosional yang rendah. Kedua, perselingkuhan dengan keterlibatan emosional yang tinggi dan mendalam (http://www.geocities.com/dien_99/data1/sebab.html). Sifat yang membedakan kedua tipe ini adalah perasaan yang dimiliki kedua pihak. Tipe pertama relatif hanya menitikberatkan pada kecocokan seksual. Sedangkan tipe kedua, selain kecocokan seksual, terdapat juga kecocokan kepribadian, dan kecocokan pemikiran atau ideologi. Frekuensi pertemuan bukanlah faktor penentu yang membedakan kedua tipe ini.

Perselingkuhan dalam novel ini termasuk pada tipe yang kedua. Rana, adalah pihak yang melakukan selingkuh. Sementara Ferre, pasangan selingkuhnya adalah lelaki yang tidak mempunyai pasangan. Pengarang dengan sengaja membuat perselingkuhan tersebut menjadi konflik yang unik. Faktor-faktor umum penyebab perselingkuhan seperti masalah ekonomi, kurang komunikasi, kurang kasih sayang, komitmen keluarga, tidak terdapat dalam novel ini. Suami Rana yaitu Arwin, adalah pria mapan dengan latarbelakang keluarga baik-baik. Arwin dengan tulus selalu memperhatikan kebutuhan Rana dan keharmonisan hubungan mereka seperti terdapat dalam kutipan berikut:

“Arwin memandangi istrinya yang sedang menunduk menghadapi piring, menunggu saat-saat tepat untuk mulai berbicara.
“Rana...,” panggilnya lembut.
“Ya, Mas?”
“Kamu kok jadi pendiam sih akhir-akhir ini? Ada masalah yang bisa aku bantu?”
Rana menunduk lagi. Ya, Mas. Aku jatuh cinta dengan pria lain. Bisakah kita kembali ke masa lalu dan tidak perlu menikah?
“Kalau Mas ada salah sama kamu, bilang saja. Jangan dipendam-pendam. Komunikasi di antara kita harus dijaga tetap lancar,” dengan lebih lembut Arwin berkata.
“Mas Arwin nggak ada salah apa-apa, kok?.” Itulah satu-satunya kesalahanmu, Mas.
“Kamu sehat-sehat, kan? Kapan terakhir kali check-up ke dokter?” (2001:40).

Kalimat-kalimat yang bergaris miring dalam kutipan di atas adalah ungkapan isi hati Rana. Lewat kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Arwin sangat sayang dan perhatian pada istrinya. Jadi, bisa dikatakan bahwa apa yang dibutuhkan Rana pada seorang lelaki, semuanya ada dalam diri Arwin, kecuali satu, cinta. Bagi masyarakat modern dewasa ini alasan Rana mungkin terlalu naif. Tetapi, itulah sisi yang coba diangkat pengarang, di tengah arus budaya kapitalis yang semakin dahsyat dewasa ini, di mana segala sesuatu diukur dengan materi Dewi Lestari menyisipkan sesuatu yang menjadi nilai hakiki manusia yakni cinta. Meski, demi merebut cinta tersebut banyak hal yang harus dikorbankan, perkawinan, perasaan suami, orangtua, dan lain-lain.

Namun, seperti dijelaskan sebelumnya, keputusan Rana menikahi Arwin memang lebih banyak dipengaruhi orangtuanya. Karena sejak kecil gerak-geriknya dikendalikan penuh oleh orangtua. Ia tak mempunyai kebebasan menentukan pilihan hidupnya sendiri. Sebelumnya ia merasa nyaman-nyaman saja hidup di bawah aturan seperti itu. Tetapi, setelah bertemu dengan Ferre ia baru menyadari bahwa ia telah dikungkung begitu jauh, dan ia pun menemukan cintanya.
Dapat dilihat bahwa kisah cinta Rana dan Ferre mengandung beragam konflik. Konflik terbesar tentu dialami tokoh Rana, ia harus bergelut dengan pertentangan batin, moral, agama, institusi, dan lain-lain, seperti yang tampak dalam kutipan berikut ini:

“Ikatan saya banyak. Bukan hanya pernikahan dua orang, tapi saya juga menikah dengan keluarganya. Dengan segenap lapisan sosialnya. Saya tidak seperti kamu yang punya banyak kebebasan. Kamu tidak bisa membandingkan...”
Re memutar tubuh Rana, menatapnya lurus-lurus. “Saya tidak membandingkan, karena saya tahu persis pembandingan tidak akan membawa kita ke mana-mana. Tapi saya bisa melihat kamu memilikinya. Kekuatan untuk mendobrak. Membebaskan diri kamu sendiri.”
“Mendobrak apa? Moralitas? Norma sosial? Kita hidup di dalamnya, Re. Saya cuma ingin mencoba realistis...” (2001:85).

Perselingkuhan bagaimanapun di dalam masyarakat Indonesia memang dianggap haram, amoral, dan melawan hukum. Tetapi, di satu sisi rasa cinta tulus yang mereka punyai adalah sesuatu yang hakiki, menyangkut kebahagiaan mereka sebagai manusia, seperti dalam lanjutan kutipan tadi:

“Tidakkah kamu menyakiti dirimu sendiri dengan menempatkannya demikian? Apa yang jahat di sini, Rana? Jahatkah saya mencintai kamu mati-matian? Begitu amoralkah semua perasaan ini?”
Rana mendapatkan dirinya dalam dilema yang sama, lagi dan lagi. Ia lelah.” (2001:86).

Di dalam hal ini pengarang mencoba menjelaskan bahwa sistem yang terdapat dalam masyarakat, baik sistem hukum, agama, sosial, kadang menjadi penghambat bagi setiap orang dalam menempuh sebuah nilai yang substansial.
Satu hal yang di luar dugaan, ketika mengetahui istrinya menjalin hubungan gelap dengan lelaki lain, tidak ada setitik pun amarah meluap dalam diri Arwin. Karena begitu besar cintanya kepada Rana, Arwin pasrah asalkan istrinya bisa merasakan kebahagiaan. Suasana hati Arwin tampak dalam kutipan berikut ini:

“Tak ada kebencian yang bisa ia keruk dari dalam hatinya untuk Rana. Tidak juga untuk pria itu. Yang ada hanyalah kebencian pada dirinya sendiri.
Ya, aku memang tidak pernah pantas memilikinya. Bertahun-tahun aku tahu itu, tapi aku diam saja. Egois. Tidak pernah satu detik pun aku mampu membuat Rana bersinar bahagia seperti itu. Aku pikir aku telah seluruhnya mencintai, padahal aku hanyalah batu penghalang bagi kebahagiaannya. Maafkan aku Rana. Hanya sebeginilah kemampuanku. Andaikan aku bisa berbuat lebih...”(2001:113).

Ketabahan dan kerelaan tokoh Arwin memiliki nilai filosofis yang mendalam, bahwa kadang perselingkuhan ternyata tidak butuh sebab, tidak butuh alasan, terjadi begitu saja ketika hal tersebut sudah menyangkut masalah cinta dan kebahagiaan individu manusia. Ketabahan seperti itu sudah sangat jarang, atau bahkan tidak mungkin sama sekali ditemukan dalam masyarakat sekarang ini. Arwin pun merelakan istrinya menentukan pilihannya sendiri. Ia tak ingin menghalang-halangi kebahagiaan istrinya. Baginya cinta seharusnya membebaskan:

“Lama aku berusaha menyangkal kenyataan ini, tapi sekarang tidak lagi. Kamu memang pantas mendapatkan yang lebih. Maafkan aku tidak pernah menjadi sosok yang kamu inginkan. Tidak menjadikan pernikahan ini seperti apa yang kau impikan. Tapi aku teramat mencintaimu, istriku...atau bukan. Kamu tetap Rana Yang kupuja. Dan aku yakin tidak akan ada yang melebihi perasaan ini. Andaikan saja kamu tahu.” (2001:161).

Ketabahan ini pula yang menimbulkan hikmah besar pada Arwin, yang membuat Rana melihat Arwin sebagai sosok yang baru, yang mengerti arti cinta sesungguhnya. Rana begitu tersentuh dengan kerelaan suaminya:

“Ada satu makna yang secara aneh terungkap: cinta yang membebaskan. Ternyata Arwin yang punya itu. Bukan dirinya, bahkan bukan pula kekasihnya.
Giliran Arwin yang terenyak ketika istrinya malah menghambur jatuh, mendekapnya erat-erat. Rasanya itu bukanlah pelukan perpisahan, melainkan sebaliknya, pelukan seseorang yang kembali.” (2001:162).

Kisah cinta yang dialami Rana dengan Ferre seolah terkesan mencapai titik antiklimaks. Namun, itulah klimaks yang sesungguhnya ketika Rana mulai belajar mengerti makna cinta yang sebenarnya di saat ia mengkhinati suaminya. Ia pun akhirnya kembali ke dalam pelukan sang suami yang mencintainya tanpa menuntut Rana membalas cintanya. Ini justru terjadi ketika Rana sudah mendapatkan kebebasan untuk bahagia bersama Ferre. Secara implisit pengarang coba menyampaikan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini, semuanya serba relatif, penuh dengan kemungkinan-kemungkinan, termasuk masalah cinta.

0 komentar:

Posting Komentar