Seksualitas Dalam Novel "Nayla" Karya Djenar Maesa Ayu

1. Seksualitas Remaja


Masa remaja adalah masa peralihan bagi seorang manusia, dari anak-anak menuju dewasa. Masa ini adalah masa yang rentan dengan konflik psikologis, karena manusia mengalami proses pembentukan diri, dan pencarian identitas dirinya. Di tengah situasi tersebut kepribadian manusia menjadi labil, mudah menerima berbagai bentuk pengaruh. Usia Remaja adalah 12 hingga 21 tahun. Di usia ini seksualitas mulai menampakkan eksistensinya secara penuh. Aktifitas reproduksi memasuki fungsinya yang maksimal, dan lawan jenis mulai memberikan daya tarik yang utuh. Hubungan dengan lawan jenis menjadi lebih matang dari sebelumnya.

Dijelaskan Ratna Eliyawati, pada saat ini juga remaja sudah mampu menghayati makna rangsangan seksual terlepas dari apakah rangsangan seksual tersebut berasal dari proses persentuhan hati dengan lawan jenis (sosio-erolik) atau akibat berfantasi (auto-erotik), (http://yudhim.blogspot.com)

Rata PenuhPara ahli psikologi mengatakan pada masa ini informasi yang benar tentang masalah seksualitas penting untuk diberikan, karena saat periode remaja rasa ingin tahu kita mengenai seksualitas sedang membumbung tinggi. Jika tidak mendapatkan informasi yang benar, remaja akan akan mencari sendiri informasi-informasi di luar yang bisa saja keliru, yang dapat berpengaruh pada kejiwaannya. Pendapat sebagian besar masyarakat yang mengatakan bahwa masalah seksualitas adalah hal alamiah yang akan diketahui dengan sendirinya ketika seseorang melakukan pernikahan harus segera dikikis. Terjadinya kasus aborsi, hamil di luar nikah atau penyakit kelamin adalah akibat dari kurangnya informasi mengenai seksualitas terhadap anak muda. Peran orangtua untuk pemberian informasi tersebut dalam hal ini sangat penting.

Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut (http://agoesramdhanie.wordpress.com/2008/12/19/psikologi-pendidikan-seks-pada-remaja).

Nayla, tokoh utama dalam novel ini adalah seorang perempuan yang melewati masa kecil hingga remaja dengan berbagai pengalaman pahit. Masa tersebut ia lewati dengan tekanan batin dan tekanan psikologis yang ia alami di lingkungan sekitarnya. Sejak kecil ibunya sering menusukkan peniti ke selangkangannya setiap kali Nayla ngompol di celana. Ia tak mengerti mengapa ibunya melakukan cara-cara seperti itu untuk menghukumnya. Padahal, Nayla mengharapkan ibunya memperlakukannya layaknya ibu-ibu lain memperlakukan anak mereka. Lahir dari keluarga broken home membuat Nayla berusaha mencari kebahagiaannya tanpa bantuan orang lain. Di usia yang rentan seperti itu Nayla tak mempunyai pegangan ketika ia tak mampu berdiri sendiri. Di tengah situasi psikologis yang sangat labil, Nayla berkenalan dengan Juli, seorang perempuan yang sama-sama bekerja dengannya di sebuah diskotek. Nayla bekerja sebagai juru lampu, dan Juli sebagai juru musik. Juli adalah seorang wanita yang memiliki sisi kelaki-lakian dalam dirinya. Ia seorang lesbian, dan dengan Juli Nayla seperti mendapatkan seorang sahabat sejati. Ia merasa mendapatkan kasih sayang yang tidak ia dapatkan dari ibunya:

“Tak pernah saya mencintai satupun laki-laki. Tidak sebagai ayah, tidak sebagai kekasih. Saya pernah belajar mencintai perempuan. Mencintai Ibu. Tapi sayangnya, Ibu tak pernah belajar mencintai saya. Ia lebih senang belajar mencintai kekasih-kekasihnya. Bersama Juli, saya merasakan kehangatan kasih yang pernah ingin saya berikan kepada Ibu” (2005:5).

Lewat kutipan tersebut kita bisa mendapatkan kesan bahwa, problem psikologis seseorang dapat mempengaruhi kehidupan seksualnya. Karena hidup tanpa mendapatkan kasih sayang dari sosok ayah, Nayla dikatakan tidak bisa mencintai laki-laki. Bersama Juli, Nayla merasakan kenyamanan dan tempat berlabuh dari tekanan yang terus menerus ia terima. Bahkan, ia merasa cemburu ketika melihat Juli bermesraan dengan kekasihnya.

Tekanan psikologis dalam dirinya semakin bertambah ketika ia secara paksa dimasukkan dalam rumah perawatan anak nakal dan narkotika. Nayla tidak pernah mengerti kenapa dirinya dimasukkan ke sana. Ibu memasukkan ia ke sana karena mendapati Nayla mabuk dan dipengaruhi obat-obatan terlarang. Padahal Nayla hanya mencoba mencari ketenangan dengan teman-temannya. Terjeblos di tempat itu bagi Nayla seperti keluar dari satu neraka dan masuk ke neraka lainnya. Di sana ia terpaksa menjalani rutinitas-rutinitas yang sedikitpun tak memberi pengaruh positif dalam dirinya:

“Pada saat berada di kamar tak ada yang diperbolehkan berbicara. Tak boleh melakukan aktifitas apa pun. Tampaknya mereka tak diperbolehkan berinteraksi dengan dunia luar. Tak boleh ada kertas. Tak ada pensil. Tak ada televisi. Tak ada majalah. Bahkan sendok garpu pun tak disediakan. Mereka menyantap makanan berkuah sekali pun dengan tangan. Tak ada kehidupan. Selain mematuhi peraturan.” (2005:15).

Nayla semakin merasa tersiksa, ia pun akhirnya memutuskan melarikan diri dari rumah perawatan tersebut. Tapi setelah itu, pengalaman hidup kelam Nayla justru semakin bertambah ketika ia berurusan dengan polisi:

“Kepala Nayla terjungkal ke belakang ketika seorang polisi yang sedang berdiri menjambak rambutnya.
“Kecil-kecil sok mau jadi preman kamu, ya! Ngapain jalan-jalan bawa senjata tajam?!”
“Bukan punya saya, Pak!”
“Eh, perek kecil! Temen kamu udah ngaku kalo itu senjata tajamnya dia. Jadi kamu jangan bohong!”
Nayla melirik ke arah Luna yang sedang diinterogasi di meja sebelah. Luna memberi kode supaya tidak mengaku.” (2005:73).

Di usianya yang ke empat belas tahun Nayla begitu terobsesi untuk bisa merasakan cinta. Rasa cinta baginya seolah menjadi sesuatu yang amat langka sejak kecil. Pengalaman-pengalaman pahit membuatnya ingin mandiri dan merasa benci ketika Juli memperlakukannya seperti seorang remaja yang harus dilindungi:

“Saya sering kesal setiap kali Juli bersikap ingin melindungi. Di matanya, saya hanyalah perempuan berumur empat belas tahun yang frustasi dan sedang mencari jati diri. Padahal saya mampu mencinta dan bercinta. Saya ingin belajar merasa. Tapi saya tak ingin memberi cinta saya kepada orang-orang yang tak semestinya menerima. Lebih baik saya memilih mencintai Juli ketimbang laki-laki yang menginginkan selaput dara saja” (2005:6).

Pengalaman traumatik membuat Nayla selalu curiga dan tidak mudah mempercayai orang lain. Meski, ia ingin sekali mencintai maupun dicintai oleh seseorang, dibutuhkan sebuah proses untuk meyakinkan Nayla bahwa orang tersebut pantas ia cintai. Baik Nayla maupun Juli merupakan tokoh yang oleh pengarang digambarkan sebagai sosok yang membenci laki-laki. Mereka menganggap laki-laki hanyalah mahluk berpikiran kerdil yang di otaknya cuma ada senggama belaka. Masalah seksualitas perempuan dalam novel ini tampak bersumber pada laki-laki. Sebuah bentuk perlawanan yang menyebabkan sosok lelaki menjadi unsur yang tidak penting dan tidak perlu dikaitkan dengan eksistensi perempuan. Tokoh-tokoh perempuan bergelut mencari kebahagiaan tanpa melibatkan lelaki sebagai bagian untuk memperoleh semua itu:

“Otak laki-laki memang kerdil. Senggama bagi mereka hanya berkisar di seputar kekuatan otot Vagina,” kata Juli.
Saya sependapat dengannya. Karena itu saya tak terlalu bangga ketika banyak tamu laki-laki dan juru musik yang lain mengaku tergila-gila pada saya. Mereka berlomba-lomba mendapatkan tubuh saya. Mereka pasti bangga jika berhasil merobek selaput dara saya. Bodoh. Mereka mengira saya perawan. Padahal hati saya yang perawan, bukan vagina saya. Meskipun usia saya masih sangat muda” (2005:5).

Secara implisit tergambar rasa sinis Nayla bahwa laki-laki hanya melihat perempuan untuk urusan fisik semata. Lelaki di matanya tidak pernah memusingkan perasaan perempuan. Ia menganggap tidak ada gunanya memberikan cinta kepada orang yang tidak mengerti perasaan perempuan. Baginya hanya Juli yang mengerti isi hatinya. Bila dilihat lebih jauh sesungguhnya akar dari permasalahan Nayla dan ibunya terletak pada ayahnya.

Masa remaja adalah masa di mana setiap manusia harusnya memperoleh pendidikan seks secara benar, baik mengenai peranan seks, fungsinya, serta hubungannya dengan masalah moral, etika, ataupun agama. Telah dipaparkan bahwa untuk urusan yang satu ini orangtua mempunyai peran yang sangat vital. Namun, semua itu tidak didapatkan Nayla. Hal ini menyebabkan dirinya bertindak sesuai dengan respon yang ia dapatkan dalam lingkungan sosialnya. Selain pendidikan secara langsung, sikap orangtua terhadap seksualitas juga berpengaruh terhadap sikap seksual seorang anak. Ibu Nayla adalah sosok berkarakter keras yang memiliki dendam terhadap lelaki. Ia mendidik Nayla seorang diri, karena suaminya meninggalkannya dengan alasan bahwa Nayla bukanlah anak dari benihnya. Rasa dendam terhadap suaminya itu berimbas pada perkembangan psikologi Nayla. Gadis itu dididik secara keras agar kelak tidak menjadi korban kesia-siaan lelaki.


2. Homoseksualitas

Homoseksualitas novel “Nayla” ditampilkan lewat unsur lesbian. Sama seperti kaum gay, pada masyarakat Indonesia lesbian juga belum mendapatkan kedudukan sosial yang sesuai sebagai manusia. Keberadaan mereka juga masih terkesan samar, mengingat kaum lesbian memiliki interaksi sosial tak seaktif kaum gay. Sesuai dengan karakteristiknya, bagaimanapun lelaki memiliki perilaku seksual lebih agresif daripada perempuan. Lesbian yang melakukan ‘coming out’ juga sangat minim, jika boleh dibilang tidak ada sama sekali. Untuk bisa mengidentifikasi mereka secara langsung juga sangat sulit, berbeda dengan gay yang ciri-cirinya bisa terlihat lewat pembawaan atau cara berbusana. Sedangkan perempuan yang memiliki ciri-ciri kelaki-lakian atau tomboi tidak bisa langsung divonis sebagai lesbian.

Bila melihat sejarah, citra buruk lesbian di Indonesia mulai terkonstruksi sejak masa organisasi wanita, Gerwani masih berkiprah. Citra gerwani yang kejam, melakukan praktek prostitusi dan berhubungan sesama jenis berpengaruh pada citra kaum lesbian secara keseluruhan. Tetapi, sesungguhnya jika kita coba mengkaji kembali sumber-sumber sejarah, yang terjadi di tubuh Gerwani bertolak belakang dengan stigma seperti itu. Dijelaskan Oryza Sativa bahwa:

“Konstruksi tersebut adalah perjalanan panjang yang muncul dari kombinasi: usaha untuk maju dan sejajar dengan lelaki serta tidak menelan mentah-mentah konsep kodrat dan dinamika politik Indonesia. Namun dengan beraneka alasan, tujuan-tujuan itu malah menjadi semacam bumerang yang dipicu oleh faktor eksternal yakni rezim Orde Baru” (http://sepocikopi.blogspot.com).

Rezim Orde Baru yang terkenal dengan sifat feodalismenya, dengan tujuan-tujuan politis memanipulasi perjuangan kaum Gerwani sebagai gerakan negatif di mata masyarakat. Manipulasi tersebut berkaitan dengan ideologi yang dipegang organisasi ini, yang menurut pemerintahan Orde Baru dapat mengancam stabilitas negara. Konstruksi moral yang dibangun terus berlaku dan masih dirasakan sampai saat ini.

Di dalam novel “Nayla” terdapat dua tokoh dengan tipikal invert berbeda. Juli dan Nayla. Tidak dijelaskan latar belakang mengapa Juli menjadi lesbian. Ia digambarkan telah memiliki orientasi seksual ke sesama jenis sejak masih remaja:

“Saya memperhatikan Juli. Perawakan dan sikap Juli tak ubahnya seorang laki-laki. Ia memang pencinta sesama jenis. Tapi kelainannya bukan faktor genetis. Keluarganya normal-normal saja, akunya. Normal dalam pengertian, bukan pencinta sesama jenisnya. Tapi Juli mempunyai karisma. Banyak tamu perempuan tergila-gila padanya. Yang laki-laki pun tak jarang ingin menaklukkannya. Pasti enak meniduri perawan, pikir mereka. Padahal sebagai sahabatnya, saya tahu Juli sudah tidak perawan. Semenjak remaja ia suka memasukkan benda-benda ke dalam vaginanya sambil membayangkan perempuan yang ia idamkan. Sekarang pun dengan kekasihnya yang seorang model mereka sering bercinta dengan cara saling memasuki vagina satu sama lain dengan jari mereka” (2005:4-5).

Melalui kutipan tersebut kita bisa mendapat kesan bahwa Juli adalah perempuan yang masuk dalam kategori absolutely inverted. Kesan itu diperkuat karena di dalam novel tidak dijelaskan apakah dirinya menyukai, atau pernah menjalin hubungan dengan lelaki.

Sedangkan Nayla termasuk dalam kategori psychosexually hermaphroditic, atau seorang biseksual. Sebelumnya Nayla adalah seorang perempuan yang mempunyai orientasi seks normal. Karakter invertnya muncul akibat adanya konflik psikologi yang mempengaruhi kejiwaannya. Perkenalannya dengan Juli menjadi faktor penting yang mempengaruhi proses peralihan tersebut. Dengan Juli ia merasakan kasih sayang dan rasa nyaman yang tidak ia peroleh dari kedua orangtuanya. Karena sejak kecil sangat jarang merasakan kasih sayang seperti itu, cinta Nayla kepada Juli menjadi berlebihan. Hal ini disebabkan oleh perasaan takut kehilangan akan perlakuan dan rasa nyaman yang jarang ia dapati tersebut. Bahkan, ia memutuskan menjadikan Juli sebagai kekasihnya. Di sini kita bisa melihat bahwa Perilaku invert Nayla lebih cenderung bersifat emosional daripada seksual. Ketika hubungannya dengan Juli berakhir, dampaknya dalam diri Nayla terasa begitu besar:

“Akhirnya Juli pergi. Kembali, saya sendiri. Tak pernah saya bayangkan akan merasa sangat kehilangan seperti ini walaupun secara moril materiil saya sudah mempersiapkan diri” (2005:104).

Selain menjalin hubungan dengan Juli, Nayla juga berhubungan dengan laki-laki pengunjung diskotek yang tertarik padanya. Akan tetapi, dengan mereka Nayla tidak pernah mendapatkan kepuasan seperti yang ia dapatkan ketika berhubungan seks dengan Juli. Ia lebih menikmati ketika melihat semua laki-laki itu berada di bawah cengkramannya, ketika mereka semua mengemis ingin mendapatkannya. Nayla merasa senang karena ia merasa bisa memperbudak kaum lelaki.

2 komentar:

Anonim 19 September 2014 pukul 00.50  

nice ulasannya, makasih :)

Unknown 8 Januari 2017 pukul 10.07  

Jual Obat Penenang Pikiran , obat Anti Depresi , Obat Antidepresan Seperti:

Happy Five Erimin h5
Dumolid 5mg
Riklona 2mg
Alprazolam 1mg

Info Lengkap Kunjungi Wabsite Kami
www.klinikzolam.com

Posting Komentar