Kajian Modus dan Kala Dalam Novel “Hati Yang Damai” Karya NH. Dini

Oleh: Dean Joe Kalalo, SS



Pendahuluan

Salah satu unsur penelaahan karya sastra selain aspek semantik dan sintaksis, adalah aspek verbal. Modus dan Kala, yang akan menjadi pembahasan kali ini merupakan bagian dari aspek verbal yang menjadi ciri informasi dalam mengantar pembaca dari wacana ke dalam fiksi.
Todorov mengemukakan bahwa, modus adalah tingkat kehadiran peristiwa yang diceritakan dalam teks. Kategori modus membawa pembaca cukup dekat pada ragam bahasa melalui cerita dengan ujaran tokoh dan cerita tanpa ujaran tokoh (1990:26).
Lewat aspek kala, informasi hubungan antara wacana dan fiksi juga bisa didapati. Hubungan tersebut bisa diungkapkan secara simbolik maupun secara nyata dengan pernyataan frekuensi.
Penulisan ini akan membahas novel Hati Yang Damai karya NH. Dini melalui aspek modus dan kala tersebut.


A. Aspek Modus
Menurut Genette (dalam Okke Zaimar, 1990:91), modus adalah nama yang diberikan kepada berbagai bentuk verba yang digunakan untuk kurang lebih menegaskan hal yang dibicarakan dan untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang yang digunakan untuk menentukan kehadiran atau tindakan.
Analisis aspek modus dalam novel Hati Yang Damai, menggunakan teori Genette yang diterjemahkan oleh okke Zaimar. Menurutnya, aspek modus terdiri atas (1) kehadiran pemandang; (2) pandangan; (3) jarak pandang.
Analisis aspek modus ini akan mengacu pada pembagian tersebut.

1. Kehadiran Pemandang
1.1. Pemandang luar

Cerita dengan pemandang luar yaitu penceritanya tidak hadir dalam isi cerita, dengan kata lain ada objek yang menjadi fokus cerita, namun si pencerita tidak terlibat langsung di dalamnya. Kutipan berikut dapat menjadi contoh:

“Ia ditumbuhkan dengan cita dan semangat laki-laki dari bapaknya. Sampai ke masa dewasanya tak pernah ia bisa melepaskan diri dari suatu gambaran kemesraan yang bisa diberikan seorang ibu kepada anaknya. Ia berkata bahwa kadang-kadang ia berpikir sanggup melukis. Dia mau menjadi pelukis besar.” (1976:33).

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa penceritanya tidak hadir dalam isi cerita. Yang menjadi fokus cerita tersebut yakni suami dari tokoh utama atau sang pencerita, sedangkan kata-kata yang digarisbawahi adalah verba-verba yang menunjukkan tindakan dari tokoh terpusat.
Selanjutnya, kehadiran pemandang luar dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Lalu dia bercerita. Dia kini menjadi dokter di Angkatan Laut. Dia bertemu dengan suamiku dalam rapat perwira. Dia melihat potretku dan anak-anakku. Dan dia berjanji akan datang ke rumah.” (1976:49).”

Tampak dalam kutipan di atas bahwa sang pencerita tidak terlibat langsung dalam cerita tersebut. Verba-verba yang digarisbawahi, yaitu bercerita, bertemu, melihat, dan berjanji, menggambarkan tindakan atau kegiatan tokoh Nardi, sebagai objek terpusat dalam cerita.

1.2. Pemandang Dalam

Cerita dengan pemandang dalam yaitu pencerita hadir dalam isi cerita, ada obyek sebagai fokus cerita, dan pencerita atau pemandang turut serta berperan di dalam cerita tersebut. Kutipan berikut dapat menjadi contoh:

“Apakah sebenarnya yang telah kuberikan kepada Wija suamiku? Laki-laki itu mengecap hidup dengan perempuan yang memberinya keperawanan dan kesetiaan. Aku tidak mau dan tidak bisa menyalahkan diri mengapa kadang-kadang mengkhianatinya dengan pemikiran-pemikiran cinta kepada orang lain. Aku hanya mempunyai rasa wajib sebagai isteri. Dan aku hanya mempunyai bayangan ketakutan yang memburu setiap detik rasa sadarku.” (1976:11-12).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa penceritanya Si aku turut berperan dalam cerita tersebut. Sedangkan objek yang menjadi fokus cerita adalah tokoh Wija, suaminya. Kata-kata yang digarisbawahi adalah verba-verba yang menentukan kehadiran atau tindakan pemandang.
Kehadiran pemandang dalam dapat pula dilihat lewat kutipan berikut:

“Dan dia tidak berkata-kata lagi. Aku membuang pandang ke arah tempat yang terang, tempat tamu-tamu lain berdiri dan berdansa dengan musik moderen. Tiba-tiba dia berdiri. Ia memberikan tangannya kepadaku. Aku mengerti maksudnya. Tetapi aku hanya memandangnya dan menggelengkan kepala.” (1976:13).

Tampak pada kutipan di atas bahwa pemandang turut berperan atau terlibat langsung dalam cerita. Verba-verba yang menentukan tindakan pemandang yakni, membuang, memandangnya, dan menggelengkan.



2. Pandangan
2.1 Pemusatan Pandangan
2.1.1 Cerita dengan Pandangan Terpusat

Cerita dengan pandangan terpusat adalah cerita yang memberikan kualitas pada obyek cerita, hal ini ditandai dengan terdapatnya pengulangan kata atau penggunaan kata yang menggambarkan peristiwa berulang-ulang, untuk menekankan objeknya:

“Aku mempunyai suara yang bisa memikat mereka. Bahkan kadang-kadang aku memiliki keinsyafan yang berlebihan: suaraku bagus, aku bisa merebut cinta mereka. Tetapi hatiku yang lembut dan ragu selalu menggangguku dengan perasaan rendah diri yang telah tertanam dalam diriku. Dan aku surut. Aku kembali kepada diriku yang pendiam dan kekurangan cinta.” (1976:15).

Kata-kata yang digarisbawahi pada kutipan di atas menunjukkan kata-kata yang berulang, sehingga dengan demikian dapat menegaskan dan memberi kualitas pada objek yang menjadi fokus cerita, yaitu tokoh “Aku”.
Cerita dengan pandangan terpusat lainnya bisa dilihat dalam kutipan berikut:

“Hatiku tersinggung. Hatiku benar-benar luka. Sidik tidak pernah menciumku dengan kasar. Ia selalu sopan dan lembut. Tapi ia juga selalu membanggakan sahabat-sahabatnya kepadaku. Sidik sering bercerita tentang hidup mereka di kota tempatnya belajar. Hatiku kuncup oleh rasa yang telah mendarah daging dalam diriku.” (1976:17-18).

Pengulangan kata hatiku seperti yang digarisbawahi pada kutipan di atas, memberikan penegasan atau penekanan pada objek cerita. Dengan demikian, maka terdapatlah kualitas pada objek yang menjadi fokus cerita.

2.1.2 Cerita dengan Pandangan Menyebar

Cerita dengan pandangan menyebar yaitu, kisahan tidak terfokus pada satu objek yang pasti, tapi pada suatu situasi yang dialami oleh lebih dari satu objek. Kutipan berikut dapat menjadi contoh:

“Sore hari berikutnya aku sendirian di rumah. Kepala agak pusing. Anak-anakku dibawa Sus dan Medi ke komplek Utara, ke tempat kawan-kawan lainnya. Dari tempatku kelihatan mereka berkumpul di teras. Beberapa orang kelihatan bermain catur. Beberapa lagi nampak duduk-duduk di tangga dengan anak-anak kecil. Jarak antara komplek Utara dan Selatan cukup jauh. Masing-masing teras diterangi lampu yang cukup terang. Kadang-kadang kedengaran gelak mereka atau teriakan anak-anak yang diganggunya. Aku sudah biasa dengan keadaan demikian.” (1976:53).

Kutipan di atas tidak menunjukkan adanya objek terfokus, dengan kata lain pandangannya menyebar. Hal ini ditandai dengan kata-kata yang digarisbawahi. Contoh lain cerita dengan pandangan menyebar dapat dilihat lewat kutipan berikut:

“Aku membuka pintu muka dan keluar ke teras. Bulan di langit amat terang. Kelompok-kelompok hanggar pesawat dan deretan-deretan asrama kelihatan seperti kotak-kotak persegi dan panjang. Aku kemudian melihat iringan-iringan jip dan truk keluar dari hanggar sebelah Timur menuju ke landasan. Sebentar lagi aku melihat sebuah pesawat pengangkut Dakota ditarik oleh traktor juga menuju ke arah yang sama. Aku melihat beberapa orang memuatkan peti-peti dan barang lain. Dan cepat sekali tangga pesawat itu ditarik ke dalam. Baling-balingnya berputar satu-satu, yang kanan kemudian yang kiri.” (1976:56).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tidak ada objek terfokus secara pasti, tetapi pandangannya menyebar pada lebih dari satu objek sebagai fokus cerita, yaitu iring-iringan jip, truk, pesawat pengangkut Dakota, beberapa orang, tangga pesawat, dan baling-balingnya. Kata-kata yang digarisbawahi adalah objek dan verba yang menunjukkan pandangan yang menyebar.

2.2 Kedalaman Pandangan
Kedalaman pandangan dalam sebuah cerita terdiri dari cerita berfokus dalam dan cerita berfokus luar. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas kehadiran pemandang atau penceritaan objek yang dipandang atau diceritakan.

2.2.1 Cerita Berfokus dalam
Di dalam suatu cerita, pemandang atau pencerita dapat masuk ke dalam jiwa tokoh, dapat merasakan apa yang dirasakan tokoh, bahkan dapat menduga hal-hal yang dipikirkan tokoh, maka cerita yang demikian merupakan cerita berfokus dalam. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Dia biasa mengatakan itu kepadaku dengan gerak tangannya yang khusus. Aku mengerti apa sebenarnya yang ada dalam hatinya. Dia selalu gagal mendekati gadis yang dicintainya. Lalu dia menjadi penyindir terhadap hidup dan cinta. Tetapi dia mencintai anak-anakku. Dan aku merasakan sayangnya pula kepadaku.” (1976:29).

Tampak pada kutipan di atas, bahwa seolah-olah pemandang dapat menerka apa yang dirasakan oleh tokoh sebagai objek terpusat dalam cerita, dengan demikian kutipan di atas merupakan cerita berfokus dalam.
Kutipan cerita berfokus dalam, selanjutnya dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Mataku menengadah menatap langit-langit yang putih. Hatiku bergetar dan merasakan suatu kesakitan yang dalam. Aku tahu suamiku. Aku mengerti hati laki-laki yang selama lima tahun ini merebut perhatian dan setiaku. Ia terkulai memandangi langit seperti orang yang keheranan, aku mengulang cerita Wardi. Tidak. Suamiku tidak terkulai keheranan memandangi langit, aku pasti benar akan hal ini. Ia masih membawa kesedihan tersendiri yang ia sendiri tidak menyadarinya. Dia tidak mencintai ibunya, karena dia tidak mengenalnya, katanya. Tetapi hati manusianya yang lembut memberinya perasaan berdosa yang tajam.” (1976:33).

Tampak pada kutipan di atas, verba-verba yang digarisbawahi menunjukkan cerita berfokus dalam, yaitu pemandang dapat memasuki jiwa tokoh terpusat. Dalam kutipan tersebut tampak bahwa pemandang dapat mengetahui apa yang sedang dirasakan atau dipikirkan tokoh dalam cerita.

2.2.2 Cerita berfokus luar
Cerita berfokus luar yaitu ada tokoh atau objek sebagai fokus cerita, tetapi oleh pemandang hal tersebut dipandang dari luar. Artinya, perhatian pemandang terpusat pada satu tokoh atau objek, namun perkembangannya hanya tampak dari luar. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Dan kami terdiam kembali. Ia berdiri dan sekali lagi mengarahkan pandang ke udara sore yang semakin surut. Aku tiba-tiba ingat. Ia menunggu isterinya dengan pesawat terbang sore itu.” (1976:10).

Kutipan tersebut tampak hanya dipandang dari segi fisiknya saja, tidak sampai memasuki jiwa tokoh, sehingga jelaslah bahwa kutipan tersebut merupakan cerita berfokus luar. Contoh lain bisa dilihat lewat kutipan berikut:

“Malam itu dia mengantarku sampai ke pondokan. Dia tidak pernah menyebut namaku; dan aku juga tak sekali pun menyebut namanya. Aku telah dibawanya bermimpi. Dia berbicara dengan ringan dan lancar. Aku sendiri kurang bisa bergaul, tetapi aku senang kepada orang-orang yang bebas bicaranya dan bersikap sopan.” (1976:14).

Kutipan di atas tampak menunjukkan cerita berfokus luar. Tokoh atau objek “Dia”, oleh pemandang hanya dilihat dari luar saja, tanpa memasuki jiwa tokoh tersebut, hal ini diperjelas dengan kata verba yang digarisbawahi.


3. Jarak Pandang
3.1 Visi Jarak Dekat
Visi jarak dekat yaitu, pandangan si pemandang mencakup objek secara menyeluruh, seakan objek itu dilihat dari dekat. Dapat dicatat bahwa jarak dekat dapat mempertegas isi cerita, sehingga pemandang merasa bahwa cerita benar-benar terjadi (Okke Zaimar, 1990:103).
Berikut ini adalah kutipan yang mengungkapkan cerita visi jarak dekat:

“Perasaan panas tiba-tiba merangsang di dadaku. Aku takut. Aku tiba-tiba takut. Aku terdiam menengok ke kiri-kanan. Pendapa yang muram itu seperti menganga menunggui kami berdua. Ia mencari bibirku. Tapi aku mengelakkannya. Ia semakin erat merengkuhku. Ia menciumi leherku.”(1976:17).

Tampak dalam kutipan di atas, bahwa pandangan dari Si pemandang mencakup objek secara menyeluruh, objek terpusat dalam cerita diamati dari dekat, sehingga kegiatan atau tindakan dari objek tersebut nampak jelas dalam cerita.
Contoh lain bisa dilihat lewat kutipan berikut ini:

“Aku menatap matanya. Aku tiba-tiba menemukan sesuatu yang aneh di sana yang selama ini belum pernah kutemukan. Dan akupun terdiam. Kudengar ia mengeluh. Tangannya terangkat, lalu memberi isyarat tertentu kepadaku.” (1976:23).

Kutipan di atas menunjukkan cerita visi jarak dekat, yakni dapat dilihat bahwa pandangan si pemandang mencakup objek keseluruhan. Hal tersebut diperjelas dengan bentuk-bentuk verba yang digarisbawahi.



3.2 Visi Jarak Jauh
Pandangan jarak jauh yaitu, pemandang hanya melihat peristiwa yang berlangsung. Mungkin saja ia melihat hal lain, tetapi ia melihat obyek dari jarak jauh, jadi tidak sangat jelas; seringkali yang tampak tinggal gerakan, tindakan. Jauhnya jarak pandang itu menyebabkan pemandang merasa berada di tengah isi cerita. Hal itu juga akan tampak pada tindakan pencerita yang memberikan mandatnya untuk bercerita kepada tokoh (Okke Zaimar, 1990:103).
Cerita visi jarak jauh dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Aku kembali ke Jakarta beberapa hari kemudian. Ada hal-hal yang kudengar. Pendaratan sudah dilakukan di Padang. Aku bertanya-tanya di mana suamiku sekarang. Beberapa orang mengatakan, bahwa sebagian regu dipindahkan berpangkalan di Palembang, sebagian lagi masih di Medan”

Kutipan di atas menggambarkan cerita pandangan jarak jauh. Hal ini tampak pada kata-kata yang digarisbawahi. Tampak pada kata-kata yang digarisbawahi tersebut, bahwa pencerita memandang objek hanya dari jarak jauh, tidak dekat dengan obyek yang dipandangnya.
Contoh lain dari cerita visi jarak jauh dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Dua hari kemudian mereka diketemukan. Beberapa hilang dan beberapa diketemukan terbakar. Dan Suwandi kembali ke lingkungan landasan dan asrama kami dengan bendera merah putih diselubungkan di atas petinya. Ia dijaga berganti-ganti oleh kawannya, diletakkan dilingkungan hanggar di landasan yang bertentangan dengan kompleksku.” (1976:58).


Kutipan di atas menunjukkan visi jarak jauh, di mana pemandang hanya melihat gerakan atau tindakan dari objek terpusat. Jauhnya jarak pandang tersebut menyebabkan pemandang merasa berada di tengah isi cerita.


B. Aspek Kala
Todorov berpendapat bahwa aspek kala merupakan unsur bahasa yang menjadi ciri informasi dan dapat menghubungkan dunia wacana dengan dunia fiksi (1985:27-31). Ia membagi aspek kala dalam tiga jenis hubungan yaitu : hubungan berdasarkan urutan waktu, tempo dan frekuensi.

1. Urutan Waktu
Urutan waktu yang ada dalam wacana tidak pernah sama atau tidak sejajar dengan waktu dalam fiksi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan antara dua jalur waktu, yaitu waktu dalam wacana yang memiliki satu dimensi dan waktu dalam fiksi yang mempunyai dimensi jamak. Perbedaan ini menyebabkan dua anakroni, yaitu retropeksi yaitu cerita yang menceritakan kembali apa yang terjadi sebelumnya atau dengan kalimat lain penyimpangan ke masa lalu peristiwa dan pengalaman tokoh, sedangkan prospeksi yaitu cerita yang akan terjadi sudah diceritakan terlebih dahulu dalam wacana. Anakroni intern yaitu apabila bagian cerita yang menceritakan terjadinya dua peristiwa dalam kurun waktu yang bersamaan.
Urutan waktu yang terdapat dalam novel “Hati Yang Damai” dianalisis sebagai berikut:

1.1 Waktu Fiksi
Waktu fiksi adalah waktu ketika berlangsungnya peristiwa yang diceritakan dalam alur cerita. Waktu fiksi dapat dijumpai dalam kutipan berikut ini:

“Dan kami terdiam kembali. Ia berdiri dan sekali lagi mengarahkan pandang ke udara sore yang semakin surut. Aku tiba-tiba ingat. Ia menunggu isterinya dengan pesawat terbang sore itu.” (1976:10).

Kata-kata udara sore yang semakin surut yang digarisbawahi merupakan waktu fiksi karena kata-kata tersebut mengingatkan pada peristiwa di mana tokoh Sidik yang menunggu isterinya dengan pesawat terbang.
Selanjutnya, waktu fiksi terdapat pada kutipan di bawah ini:

“Setelah dewasa, aku menemukan seseorang yang aku harapkan akan menjadi pangeran hatiku yang baik. Sidik, ia penggitar yang berwajah pucat. Kami berdua sering berlatih bersama dalam kumpulan musik pelajar di kotaku.” (1976:15).

Kata setelah dewasa merupakan penanda waktu yang menunjukkan terjadinya peristiwa pertemuan antara tokoh “Aku” dengan tokoh “Sidik”.

1.2 Waktu Wacana
Waktu wacana adalah urutan waktu yang dipakai untuk menceritakan suatu proses terjadinya peristiwa dalam cerita melalui wacana. Waktu wacana dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Aku tahu pasti itu. Mas Jat adalah kakakku yang tertua. Dia sebelas tahun lebih tua dariku. Kemudian berurutan enam kakakku lainnya yang kini tersebar ke penjuru kota dan pulau yang berjauhan.” (1976:45).

Waktu wacana yang ditemui dalam cerita terdapat pada kata-kata sebelas tahun lebih tua, yang menceritakan jarak usia tokoh “Aku” dengan “Mas Jat” kakaknya.
Waktu wacana lainnya terdapat dalam kutipan berikut:

“Sore itu aku sudah gelisah menunggunya. Anakku tak sabar lagi untuk berangkat. Aku berjanji membawanya ke bioskop dengan Sidik. Ketika lonceng penjagaan berdentang tujuh kali, aku sudah berputus asa.” (1976:48).

Waktu wacana dalam kutipan di atas terdapat pada kata-kata sore itu dan ketika lonceng penjagaan berdentang tujuh kali, yang menerangkan tokoh “Aku” yang menunggu hingga putus asa.


1.3 Retrospeksi
Retrospeksi adalah bagian alur yang menyimak ke masa lalu peristiwa dan pengalaman tokoh. Kutipan berikut dapat menjadi contoh:

“Nardi yang dulu selalu kaku pandangnya, yang seolah-olah akan canggung menghadapi hidup masyarakat di depannya, kini ia datang lagi dengan surat suamiku. Sikapnya ringan dan mengerti seperti Wija.” (1976:50).

Retrospeksi di atas tampak pada bagian yang menceritakan sikap tokoh Nardi di masa lalu.
Contoh lain bisa disimak dalam kutipan berikut:

“Tiba-tiba suatu perasaan mesra membersit dari hatiku. Wija. Aku teringat surat-suratnya. Aku teringat semua perbuatannya dan semua perkataannya kepadaku. Dia mencintaiku, dia amat mencintaiku. Aku berdoa supaya dia kembali kepadaku, kepada anak-anakku.” (1976:64).

Retrospeksi dalam kutipan di atas terdapat ketika tokoh “Aku” teringat akan perlakuan suaminya kepada dirinya di masa lalu.

1.4 Prospeksi
Prospeksi adalah penyimpangan dalam alur cerita dengan cara lebih dahulu mengemukakan peristiwa yang akan terjadi kemudian, atau disebut juga antisipasi.
Kutipan berikut dapat menjadi contoh:

“Aku tidak memulainya. Salahkah aku kalau aku juga mencintai orang yang dicintai kawanku sendiri? Aku tidak bisa melupakan, Dati. Kau harus memberiku kepastian. Aku akan mempunyai kedudukan lebih baik dari Sidik jika lulus nanti. Kita bisa minta tempat ke lain pulau. Kau ingin ke Kalimantan, bukan?” bujuknya, dan tangannya kasar meraba mukaku.” (1976:17).

Prospeksi di atas tampak pada ucapan tokoh Nardi yang mengatakan tentang kondisi masa depannya jika lulus nanti, dan rencana yang akan dilakukannya bersama Dati.
Contoh lain terdapat dalam kutipan berikut:

“Ada sesuatu yang hancur dalam dirinya. Dia parah. Dia berjalan seperti dengan langkahnya yang berat untuk pulang kembali ke rumah tua di ujung jalan kampungnya. Di sana ia tidak lagi akan menjumpai laki-laki berambut putih yang biasa duduk di teras. Ia tidak lagi akan mendengar ketawa parau yang ria dari bapaknya yang selama ini menyambut kedatangannya kalau berlibur.” (1976:34-35).

Prospeksi dalam kutipan di atas tampak ketika tokoh Wija kembali menuju rumah tua di kampungnya, dan situasi yang akan dialaminya nanti jika tiba di sana.

1.5 Anakroni Intern
Anakroni intern adalah urutan cerita yang menceritakan dua peristiwa dalam waktu bersamaan.
Kutipan berikut dapat menjadi contoh:

“Tahun berikutnya kawan-kawanku tersebar menuruti kemauan sendiri ke kota-kota sekolah tinggi. Aku tidak meninggalkan kota kelahiranku. Ibuku tidak mengharapkan aku menjadi perempuan sekolahan.” (1976:16).

Kutipan di atas menceritakan tentang dua peristiwa yang terjadi bersamaan. Peristiwa yang pertama yaitu ketika teman-teman tokoh “Aku” melanjutkan sekolah tinggi di luar kota, sedangkan peristiwa yang lainnya menceritakan bagaimana tokoh “Aku” di saat yang bersamaan justru hanya menetap di kota kelahirannya.

2. Tempo
Tempo atau segi lamanya berlangsung adalah perbandingan antara waktu yang dianggap sebagai waktu cerita (waktu berlangsungnya peristiwa yang dikemukakan) dengan waktu wacana (waktu yang diperlukan untuk membaca wacana yang mengemukakan peristiwa itu).

2.1 Pause Atau Perhentian Waktu
Pause atau perhentian waktu terjadi apabila waktu penceritaan wacana tidak mengemukakan waktu cerita fiksi sedikitpun, hal ini terdapat pada kasus deskripsi, pemikiran tentang hal-hal yang umum dan lain-lain, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini:

“Setelah Wija lahir, ayah perempuan itu meninggal. Seseorang yang mengganti kedudukan majikan di perusahan itulah yang kemudian menyebabkan kebahagiaan mereka lenyap.” (1976:36).

Perhentian waktu pada kutipan di atas ditandai dengan kata yang digarisbawahi, yaitu kata kemudian.

2.2 Elips Atau Peniadaan Suatu Periode
Elips atau peniadaan suatu periode terjadi apabila tidak ada suatu bagian pun dalam waktu wacana (waktu penceritaan) yang mengemukakan waktu yang berlangsung dalam fiksi (waktu cerita). Kutipan berikut dapat menjadi contoh:

“Aku tidak sadar, entah sudah berapa hari, oleh kabar hilangnya suamiku. Segala bayangan bisa menggangguku. Dan aku melihat ke sampingku. Segala sesuatunya kelihatan bekas ditiduri.” (1976:62).

Pada kutipan di atas kata yang digarisbawahi adalah kasus elips, yang menunjukkan waktu wacana dan tidak mengemukakan waktu dalam fiksi.

2.3 Persesuaian Sempurna
Persesuaian sempurna dapat terjadi dalam pemakaian kalimat langsung yang menunjukkan realitas fiktif ke dalam wacana. Persesuaian sempurna dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Dan kau? Juga berpikir menurut perasaan hati?”
Suaranya mengejek.
“Mengapa tidak? Dengan perasaan itu aku menemukan kebuntuan. Tetapi kebuntuan itu malahan membikinku berpikir sewajarnya.” (1976:7).


2.4 Pengembangan dan Pemadatan Waktu
Pengembangan waktu terjadi apabila penggunaan waktu penceritaan (wacana) lebih panjang dari cerita. Hal ini dapat ditemukan dengan cara menghitung jumlah kata yang digunakan dalam wacana yang menceritakan peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Cara ini juga dapat memudahkan perhitungan waktu penceritaan seandainya terjadi dua peristiwa atau lebih dalam waktu yang bersamaan.
Sedangkan Pemadatan waktu terjadi apabila penggunaan penceritaan lebih singkat daripada waktu cerita, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

“Asti dalam perjalanan kembali dari Puncak. Ke Bogor, setelah dua hari di sana dengan seorang laki-laki pejabat tinggi. Aku tidak tahu, atau aku tidak berani menerka mengapa mereka berdua ada di Puncak.” (1976:44).

Kata dua hari di sana pada kutipan di atas menandakan pemadatan waktu.


3. Frekuensi
Frekuensi adalah cara mengemukakan peristiwa di dalam wacana, tergantung pada jumlah peristiwa dan jumlah wacana. Secara teoritis frekuensi dapat dibedakan atas cerita tunggalan, cerita rangkapan dan cerita pengulangan.

3.1 Cerita Tunggalan
Cerita tunggalan adalah sebuah wacana tunggal yang hanya mengemukakan suatu peristiwa saja. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut:

“Kami berdua terbaring sehabis menjelajah perjalanan yang seakan-akan tak akan tercapaikan ujungnya. Tubuhnya hangat terasa amat dekat.” (1976:27).

Kutipan di atas memperlihatkan suatu peristiwa ketika dua tokoh berbaring setelah menjelajah sebuah perjalanan yang seolah tak berujung.

3.2 Cerita Rangkapan
Cerita rangkapan adalah suatu peristiwa yang sama di dalam beberapa wacana. Cerita rangkapan pada cerita dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Matanya hitam dan dalam mencengkamku. Aku mengeluh mengelakkannya.” (1976:8).

“Aku menentang matanya. Tetapi cepat aku membuang pandang ke udara terbuka. Di matanya aku melihat segalanya. Dan aku tidak mempunyai cukup keberanian untuk menentangnya.” (1976:8).

3.3 Cerita Pengulangan
Cerita pengulangan adalah cerita yang mengemukakan peristiwa yang diulang-ulang dalam satu wacana, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

“Aku tidak tahu berapa lama tertidur. Setiap kali aku sadar aku melihat bayangan-bayangan yang tidak tampak jelas mukanya. Samar-samar kudengar suara isteri kapten di samping rumahku membujuk anak-anakku.” (1976:33).

Cerita pengulangan dalam kutipan di atas ditandai dengan kata setiap kali.



Kesimpulan:
- Untuk menampilkan kehadiran pemandang, pandangan dan jarak, pengarang menekankan objek sebagai pusat pengisahan atau penceritaan, dengan menggunakan berbagai bentuk verba untuk menegaskan hal yang diceritakan lewat lakuan atau tindakan tokoh.
- Untuk menyampaikan cerita, pengarang menggunakan gaya bahasa akuan yang berperan sebagai pencerita serba tahu, dan dalam menampilkan tokoh tertentu serta kedalaman pandangan, pencerita menggunakan gaya bahasa diaan untuk menyampaikan tindakan dan perasaan tokoh itu.
- Dalam menyampaikan cerita pengarang menggunakan ujaran langsung maupun tak langsung. Dengan menggunakan dua ujaran tersebut, pembaca dapat mengetahui objek yang menjadi fokus cerita, siapa yang berbicara dan siapa yang bertindak sebagai pemandang.
- Adanya ketidaksejajaran waktu wacana dan waktu fiksi dalam cerita diperlihatkan dengan penggunaan kata-kata seperti, udara sore yang semakin surut, setelah dewasa, dan sebelas tahun lebih tua.
- Ketidaksejajaran waktu wacana dengan waktu fiksi menimbulkan anakroni, yakni prospeksi dan retrospeksi. Dalam novel Hati Yang Damai juga terdapat anakroni intern atau dua peristiwa bersamaan waktu, yang diungkapkan pengarang tanpa menggunakan kata yang menghubungkan dua peristiwa tersebut: Tahun berikutnya kawan-kawanku tersebar menuruti kemauan sendiri ke kota-kota sekolah tinggi. Aku tidak meninggalkan kota kelahiranku.
- Perhentian waktu atau pause dalam cerita ditandai dengan penggunaan kata kemudian, dengan tidak mencantumkan waktu wacana. Sedangkan elips bisa ditemukan lewat penggunaan kata-kata entah sudah berapa hari. Persesuaian sempurna dengan penggunaan kalimat langsung juga terdapat dalam cerita.





Daftar Pustaka

Todorov, Tzvetan.1985. Tata Sastra. Jakarta : Djembatan
Zaimar, Okke. 1990. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta :
Intermesa

0 komentar:

Posting Komentar