Unsur Perselingkuhan Dalam Dwilogi novel “Saman”-“Larung” Karya Ayu Utami

“Saman” dan “Larung” adalah novel dengan tokoh-tokoh perempuan yang melakukan perlawanan terhadap norma-norma mapan yang telah ada. Bagi mereka, sistem kebudayaan dan konstruksi moral yang ada di dalam masyarakat sangat mengungkung kebebasan perempuan. Lembaga perkawinan, masalah keperawanan, adalah beberapa contoh di antaranya. Tidak ada keadilan gender di dalam semua itu. Dengan tokoh-tokoh seperti itu, maka perselingkuhan adalah unsur paling dominan yang terdapat dalam kedua novel ini.

Di dalam Supernova “Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”, perselingkuhan menjadi konflik yang krusial karena yang berselingkuh adalah tokoh perempuan. Masyarakat patriarkal menganggap laki-laki yang berselingkuh adalah laki-laki kurang ajar, tidak berperasaan, namun di satu sisi masih terselip rasa maaf karena perselingkuhan yang dilakukan lelaki dianggap sesuatu yang masih bisa diterima. Sedangkan perempuan yang berselingkuh dianggap perempuan hina, tak bermoral, tidak bertanggungjawab, bahkan kadang dianggap pelacur.

Laila Gagarina adalah seorang fotografer yang jatuh cinta kepada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang telah beristri. Laila begitu terobsesi dengan Sihar, ia sama sekali tak mempedulikan meskipun ia akan sulit mendapatkan lelaki itu sepenuhnya karena lembaga perkawinan yang mengikat Sihar. Ia juga tak mengambil pusing dengan dampak sosial yang akan diterimanya karena mengejar-ngejar suami orang. Ia hanya ingin bahagia sebagai perempuan dengan memperjuangkan rasa cintanya kepada Sihar. Di dalam masyarakat umum, standar nilai yang berlaku di kalangan perempuan, berhubungan dengan lelaki adalah dalam rangka mengejar sebuah ikatan resmi, kubutuhan ekonomi tercukupi, atau bisa juga urusan seks. Sosok Laila bertolak belakang dengan motivasi seperti itu:

“Jadi, apa sebetulnya yang kamu cari? Perkawinan bukan, seks bukan.”
“Aku cuma pingin sama-sama dia.”
“Laila, kalau kamu kencan dengan dia di sini, kamu pasti akan begituan, lho! Kamu sudah siap?”
“Enggak, enggak tahu...”
“Dia pasti minta. Kamu mau gimana?”
“Aku cuma pingin sama-sama dia. Aku capek menahan diri.” (Saman, 2002:145).

Terjadi perubahan perspektif tentang masalah seksualitas dan gender antara Laila remaja dan Laila dewasa. Waktu masih remaja Laila sangat membenci laki-laki, ia menganggap laki-laki lah sumber masalah bagi perempuan:
“Apa salah laki-laki?
Jawab Laila: sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka cuma menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian.” (Saman, 2002:148).

Laila remaja adalah perempuan yang bersikap berdasarkan perspektif yang terdapat dalam sistem nilai di lingkungan sekitarnya. Berasal dari keluarga Minang-Sunda, yang masih memegang nilai-nilai tradisi, sangat mempengaruhi sikap hidupnya. Artinya, belum ada kesadaran untuk memberontak akan sistem nilai tersebut. Cara pandangnya berubah ketika ia menemukan cinta pertamanya:

“Dia jatuh cinta pertama kali pada Wisanggeni, dengan demikian ia sendiri membatalkan lelaki sebagai penjahat. Waktu itu pemuda itu mahasiswa seminari yang ditugaskan membimbing rekoleksi tentang kesadaran sosial di SMP kami. Dan terbukti lelaki itu tidak menginginkan keperawanan.” (Saman, 2002:149-150).

Laila sendiri tidak mempunyai pacar. Kendala yang akan menghambat hubungannya dengan Sihar adalah kedua orangtuanya, yang sudah pasti tak menginginkan anak gadisnya berhubungan dengan pria yang sudah kawin. Tapi, Laila sama sekali tidak mempedulikan masalah perkawinan.

Hubungan Laila dan Sihar meskipun bertentangan dengan hukum negara dan hukum agama mengandung sesuatu yang paradoks. Ada semacam nilai yang masih dipegang Laila sebagai perempuan, yang bisa disebabkan beban moralnya terhadap orangtua. Meski, telah beberapa kali bercumbu dengan Sihar, Laila masih menjaga keperawanannya:

“Di perjalanan pulang dia bilang, sebaiknya kita tak usah berkencan lagi (saya tidak menyangka). “Saya sudah punya istri.”
Saya menjawab, saya tak punya pacar, tetapi punya orangtua.
“Kamu tidak sendiri, saya juga berdosa.”
Ia membalas, bukan itu persoalannya. “Orang yang sudah kawin, tidak bisa tidak begitu.”
Saya mengerti. Meskipun masih perawan.” (Saman, 2002:4).

Laki-laki yang memutuskan berselingkuh biasanya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan kepuasan yang tak lagi ia rasakan bersama istrinya. Kepuasan itu bisa berupa kepuasan seks, kasih sayang, dan lain sebagainya. Namun, dalam hal ini meskipun hanya sebagai pasangan selingkuh, Sihar menghormati Laila, walau pun di satu sisi ia ingin berhubungan seks dengan perempuan itu, ia tak memaksa Laila menyerahkan keperawanannya. Mereka pun menggunakan cara lain (selain senggama) untuk memuaskan hasrat seksual keduanya.

Ketika mengetahui Sihar mendapatkan tugas perusahan untuk berangkat ke Amerika, Laila memutuskan untuk menyusulnya. Di negara ini Laila merasakan suasana yang berbeda. Kendala-kendala yang menghambat hubungannya dengan Sihar terasa seperti hilang. Di sini ia merasakan kebebasan yang tak didapatkan sebelumnya. Bahkan, kali ini ia berangan-angan untuk menyerahkan keperawanannya kepada lelaki itu:

“Dia akan terheran dan bertanya, dari mana kini saya mendapat keberanian itu. Juga dari teman-teman? Saya akan katakan, kita ini seperti burung yang bermigrasi ke musim kawin. Sihar, umurku sudah tiga puluh. Dan kita di New York. Beribu-ribu mil dari Jakarta. Tak ada orangtua, tak ada istri. Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan, barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tak ada yang perlu ditangisi. Bukankah kita saling mencintai? Atau pernah saling mencintai? Apakah Tuhan memerintahkan lelaki dan perempuan untuk mencintai ketika mereka kawin? Rasanya tidak. (Saman, 2002:29-30).

Di sini kita bisa mendapatkan perbedaan kondisi dalam dua kebudayaan yang berbeda, yang bisa mempengaruhi sikap seseorang. Ketika berpindah ke lain tempat yang memiliki kultur yang berbeda, yang menjunjung tinggi kebebasan manusia, terjadi perubahan sikap pada diri Laila. Laila yang sebelumnya hati-hati dalam melakukan hubungan terlalu jauh dengan Sihar, kini merasa dirinya terlepas bagaikan seekor burung. Sebelumnya, ketika bercumbu dengan Sihar, meski tetap menjaga keperawanannya, Laila merasa telah berdosa. Karena ia masih berada di bawah aturan sistem nilai yang berlaku di Indonesia. Tetapi, kini situasinya menjadi lain:

“Setelah itu, Sayang, kita tertidur. Dan ketika terbangun, kita begitu bahagia. Sebab ternyata kita tidak berdosa. Meskipun saya tak lagi perawan.” (Saman, 2002:30).

Laila tidak lagi memusingkan masalah keperawanannya. Karena di Amerika, orang sama sekali tidak mempedulikan apakah perempuan masih perawan atau tidak, dan status pernikahan juga tidak terlalu penting di sini. Laila telah membayangkan bagaimana ia akan mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan Sihar tanpa ada halangan.
Akan tetapi, ia harus membuang jauh keinginannya itu. Ternyata Sihar datang ke Amerika bersama istrinya. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam pada diri Laila. Selama di sana pun Sihar tak pernah memberikan kabar, atau membuat janji untuk bertemu dengannya. Apa sesungguhnya motivasi Sihar untuk mengencani Laila menjadi tanda tanya besar bagi perempuan itu. Apakah Sihar benar-benar mencintainya? Namun, bagaimanapun sebagai kepala rumah tangga ia mempunyai beban dan tanggung jawab lain yang harus diprioritaskan? Ataukah ia hanya menganggap Laila sebagai selingan untuk mengisi kekosongan di waktu senggang. Tapi, nyatanya Laila akhirnya tidak lagi memusingkan masalah itu. Ia hanya memikirkan perasaannya sendiri, dan bagaimana agar ia bisa berkencan lagi dengan Sihar. Ada sebuah kenyataan ironi di dalam hubungan mereka. Dari sikap Sihar yang selalu menghindar, tidak memaksa Laila untuk melakukan senggama dengannya waktu di hotel, dan menyeret Laila pada sebuah ketidakpastian, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Sihar adalah tipe laki-laki yang tidak terlalu memusingkan masalah keperawanan. Istrinya sebagai seorang janda beranak satu, semakin mempertegas hal itu. Sedangkan Laila, adalah perempuan yang begitu protektif dengan keperawanannya. Usaha protektif tersebut harusnya membuat Laila menjadi perempuan yang istimewa, sebab laki-laki pada umumnya mengincar keperawanan dari pasangannya. Namun, Laila Justru sebaliknya, ia terombang-ambing oleh rasa cintanya kepada laki-laki yang telah beristri.

Sikap setengah hati Sihar, membuat kebimbangan besar di dalam hati Laila. Kebimbangan yang akhirnya melahirkan keraguan. Ia sebelumnya begitu menggebu-gebu untuk bisa bercumbu dengan lelaki itu, sampai ia pun menyusul Sihar ke Amerika. Namun, di sana kesempatan itu tak kunjung datang karena keberadaan istri Sihar. Akan tetapi, keraguan tadi justru muncul setelah istrinya kembali ke Indonesia dan peluang melakukan selingkuh terbuka begitu lebar:

“Istrimu sudah pulang?”
“Udah.” “Kamu mau ke sini?”
“Memang kamu mau saya ke situ?”
“Laila, saya kan menelepon kamu,” “Tapi, kalau ke sini, kamu jangan menginap di staff house. Kita cari hotel.”
“Kenapa?”
“Nggak begitu enak aja.”
“Kalau saya di hotel, kamu sibuk training di staff house, kamu tak selalu bisa menengok saya, untuk apa saya ke sana?”
“Saya usahakan menengok kamu tiap sore.”
“Saya lihat dulu saya bisa apa tidak.”
Pembicaraan telepon dengannya tak pernah diakhiri oleh kecupan.” (Larung, 2002:127-128).

Pembicaraan tersebut mengindikasikan ketidakjelasan sikap Sihar, dan Laila pun merasa ia tidak terlalu dibutuhkan oleh lelaki itu. Ini merupakan ironi karena sebelumnya Laila bahkan tak menuntut Sihar untuk mencintainya. Terjadi perubahan sikap di dalam dirinya setelah ia melewati proses bersama Sihar. Obsesi Laila pada lelaki itu seolah mencapai titik antiklimaks.

Tokoh lain yang melakukan selingkuh dalam dwilogi “Saman”-“Larung” adalah Yasmin Moningka, seorang pengacara yang juga salah satu sahabat dekat Laila sejak masih kecil. Meski, telah menikah dengan Lukas Hadi, Yasmin melakukan hubungan gelap dengan Athanasius Wisanggeni atau Romo Wis, yang kemudian berganti nama menjadi Saman saat menjalani status buronan. Kasus perselingkuhan Yasmin dan Saman memiliki banyak persamaan dengan Ferre dan Rana dalam Supernova “Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”. Di dalam konteks Yasmin, konflik moral yang ditonjolkan lebih kompleks karena Saman adalah seorang pastor. Yasmin berkutat dengan konflik batin dan sosial yang berhubungan dengan status perkawinannya. Sedangkan Saman berkutat dengan konflik aturan agama, yang mengharuskan ia sebagai pastor untuk hidup selibat.

Tetapi, di dalam novel “Saman” kondisi tersebut tidak ditonjolkan sebagai konflik utama dalam cerita. Saman lebih sibuk mengurusi pelariannya ke Amerika atas kasus tuduhan penghasutan. Sedangkan Yasmin, bersama teman-temannya membantu Saman dalam proses pelarian itu. Agak berbeda dengan novel Supernova “Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”, Latar belakang dan status Ferre ataupun Rana menjadi konflik yang dominan di dalam cerita. Yasmin dan Saman melakukan hubungan intim yang pertama kali dengan tanpa beban:

“Namun, tanpa kupahami, akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak kecil: terbenam di dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus. Tubuh kami berhimpit. Gemetar, selesai sebelum mulai, seperti tak sempat mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak peduli, ia menggandengku ke kamar. Aku tak tahu bagaimana aku akhirnya melakukannya. Ketika usai aku menjadi begitu malu. Namun ada perasaan lega yang luar biasa sehingga aku terlelap.” (Saman, 2002:177).

Saman sendiri adalah seorang pelayan Tuhan yang memilki jiwa sosial tinggi. Ia juga terlibat dalam organisasi yang oleh pemerintah dianggap kiri. Keinginannya untuk turun langsung membantu permasalahan yang ada di dalam masyarakat begitu besar. Ia jenuh dengan segala aturan gereja dan hirarki organisasi yang membatasi ruang geraknya. Teguran pun disematkan padanya karena sering mengabaikan tugas parokial:

“Wis terdiam. Lalu ia meminta maaf. “Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu.” Ia ingin mengatakan, rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyaman dan makan rantangan lezat yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia dapat diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon diberi kesempatan melakukan itu.” (Saman, 2002:81-82).

Sikap Saman adalah bentuk perlawanan terhadap tubuh organisasi gereja yang baginya terlalu sibuk mengurusi urusan internal, dan sangat sedikit memberikan perhatian langsung terhadap masalah-masalah masyarakat secara luas. Ketika ia melarikan diri dari Indonesia, ia mengundurkan diri dari segala aktifitas pastoral, dan lebih aktif dengan LSM yang memberi perhatian terhadap masalah-masalah sosial.
Kekecewaannya terhadap gereja serta perkenalannya dengan Yasmin membuat hidup Saman berubah. Ia mulai meragukan kebenaran-kebenaran yang selama ini ia yakini:

“Yasmin,
Aku tak tahu lagi apakah masih ada dosa.
Seks terlalu indah. Barangkali karena itu Tuhan begitu cemburu sehingga Ia menyuruh Musa merajam orang-orang yang berzinah?
Tetapi perempuan selalu disesah dengan lebih bergairah. Ke manakah pria yang bersetubuh dengan wanita yang dibawa orang-orang Farisi untuk dilempari batu di luar gerbang Yerusalem?
Aku mencintai kamu. Aku mencintai kamu.
Aku tidak ingin kamu dihukum.” (Saman, 2002:183-184).

Saman menyadari bahwa apa yang dilakukannya bersama Yasmin adalah dosa di mata agama. Tapi, sesuatu yang ia rasakan bersama perempuan itu memiliki kekuatan yang terlalu besar, dan akhirnya ia pun menyerah. Ia terjabak pada dilema antara harus menjalankan hidup selibat, dan mengetahui bahwa persetubuhan adalah sesuatu yang indah. Meski, di satu sisi ia juga masih merindukan kehidupannya yang dulu sebagai seorang yang hidup menahan diri dari segala nafsu. Baginya seks adalah sesuatu yang sukar untuk ditafsirkan, yang membuat dirinya terjebak dalam kebingungan, dan semua itu disebabkan oleh seorang perempuan bersuami bernama Yasmin. Ketika jarak memisahkan mereka, komunikasi pun terjalin lewat email. Bahkan, karena membaca surat-surat Yasmin, Saman sampai terangsang dan melakukan masturbasi. Yasmin pun tak bisa melupakan Saman hingga ia terkena apa yang dinamakan aloerotisme:

“Saman,
Aku terkena aloerotisme. Bersetubuh dengan Lukas tetapi membayangkan kamu. Ia bertanya-tanya, kenapa sekarang aku semakin sering minta agar lampu dimatikan. Sebab yang aku bayangkan adalah wajah kamu, tubuh kamu.” (Saman, 2002:194).

Akan tetapi kepuasan seksual di mata Yasmin bukan hanya sebatas hubungan kelamin saja. Ia mempunyai pandangan sendiri tentang makna sebuah kepuasan seksual:
“Saman,
Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.” (Saman, 2002:195).

Sama halnya dengan tokoh-tokoh perempuan lain dalam dwilogi novel ini, sikap Yasmin adalah perlawanan atas ketidakadilan. Laki-laki mempunyai kebebasan untuk memanjakan keliaran imajinasi seksualnya tanpa harus memusingkan efek moral di luar dirinya. Sedangkan perempuan terjebak dalam hegemoni budaya patriarki yang merepresi kebebasannya untuk menikmati nilai estetika seksualitas. Sebagai perempuan, Yasmin ingin kembali pada memori tentang naluri purbanya, dan baginya semua perempuan selama ini mengingkari insting alamiahnya karena dipasung oleh pengaruh di luar dirinya. Dengan Saman ia seolah menemukan kembali naluri itu dan bebas melampiaskannya:

“Bertahun-tahun aku hidup dengan fantasi itu, tanpa pernah mewujudkannya. Hingga hari aku bertemu kamu lagi. Kamu membangkitkan kembali khayal kanak-kanakku yang lama kukhianati. Tanpa kamu ketahui terlepaskanlah keperempuananku yang telah dipenjarakan hampir dua puluh tahun. Kini ia datang dengan memori purbanya. Seakan-akan ingatan primitif dari masa oral, ketika tubuhku belum diracuni oleh kekuatan luar yang mengagung-agungkan fallus dan memitoskan kesucian wanita. Ia datang dengan agresivitas yang murni, polos, inosen, yaitu dorongan untuk memakan, menghisap, mengconsume, mengexploit, memasukkan ke dalam dirinya benda-benda yang menarik hatinya. Juga kelamin laki-laki.” (Larung, 2002:161-162).

Saman yang hidup dalam kesendiriannya, dengan ketaatannya terhadap agama mampu dilumpuhkan Yasmin dengan naluri primitifnya. Di situlah letak kepuasan Yasmin terhadap Saman. Penaklukan atas keangkuhan soliternya. Hal tersebut juga yang menyebabkan Yasmin sangat tergila-gila kepada Saman dan bukan lelaki lain, termasuk suaminya sendiri. Dari sini bisa dilihat bahwa perselingkuhan yang dilakukan Yasmin selain disebabkan oleh alasan emosional dan seksual, juga merupakan wujud pemberontakan.

Berbeda dengan Laila dan Yasmin, perselingkuhan tokoh Cokorda Gita Magaresa tidak menjadi unsur penting di dalam dwilogi novel ini. Namun, Cok adalah tokoh perempuan yang paling membangkang dengan segala aturan yang ada di sekitarnya. Dialah sosok yang paling liar di antara teman-temannya, Laila, Yasmin, dan Shakuntala. Sejak remaja ia mempunyai kebiasaan gonta-ganti pacar. Meski, Shakuntala adalah orang pertama yang kehilangan keperawanan di antara mereka berempat, tetapi Cok yang lebih dulu melakukannya atas dasar keinginan dan kepuasan:

“Paling tidak, aku bisa menyombong bahwa akulah satu-satunya dari kami berempat yang pertama kali melakukan hubungan seks karena sadar dan suka. Shakuntala menghabisi keperawanannya lebih karena pemberontakan. Dia tidak menikmatinya. Laila masih suci-hama sampai sekarang. Dan Yasmin berbuat karena keterusan.” (Larung, 2002:86).

Karena keberanian Cok untuk membangkang dan melakukan seks bebas, ia dipindahkan dari sekolahnya di Jakarta ke Bali, dengan alasan pergaulan di Jakarta sudah rusak. Kedua orangtuanya menemukan kondom di dalam tasnya. Apa yang dialami Cok merupakan resiko sosial yang harus diterimanya ketika ia melanggar sistem nilai yang berlaku. Hal ini yang menyebabkan mengapa Laila begitu takut untuk melepaskan keperawanannya, keberanian pada dirinya nanti timbul ketika ia berada jauh dari Indonesia.

Cok melakukan selingkuh dengan seorang tentara, Brigjen. Rusdyan Wardhana. Sama halnya dengan pacar-pacarnya yang lain, dengan lelaki ini ia juga tak merasakan ketergantungan emosional. Di dalam setiap hubungan Cok selalu mengincar kepuasan-kepuasan lain di luar rasa cinta: seksual, kepentingan bisnis, dan lain-lain. Tetapi, sama halnya dengan perselingkuhan-perselingkuhan lain dalam dwilogi novel ini, tidak ada motivasi ekonomi yang mendasarinya. Cok adalah seorang pengusaha yang mengelola sebuah hotel miliknya sendiri.
Meski, perilaku seksual Laila dan Yasmin adalah pemberontakan, tapi hubungan mereka masih dilandasi dengan unsur perasaan yang mendalam, berbeda dengan Cok:

“Bagus, elu udah putus dari laki orang itu. Carilah bujangan, Cok. Jangan lakor. Bahaya.”
Masa?
“Lihat aja kasus Laila. Aku rasa dia dimain-mainkan saja oleh Sihar. Dijadikan selingan. Selingkuhan ringan.”
Lho, justru lakor itu aman, Min. Mereka nggak posesif karena punya keluarga. Bujangan cenderung mau menguasai kita. Dengan lakor, kita bisa putus dengan gampang.” (Larung, 2002:89).

Kutipan di atas bisa dilihat kalau Cok adalah perempuan yang tidak ingin terikat dengan laki-laki. Ia ingin bebas menikmati apapun tanpa ada sebuah ikatan. Ia pun tak akan menuntut lebih atau memaksakan setiap lelaki memberikan apa yang ia harapkan seperti yang dialami Laila. Cok adalah tipe perempuan yang mampu memerdekakan dirinya dari laki-laki.

1 komentar:

Anonim 7 Januari 2014 pukul 20.30  

ndi kontol e ki

Posting Komentar