Biseksualitas Dalam Dwilogi Novel "Saman"-"Larung" Karya Ayu Utami

Sama halnya dengan lesbian, kaum biseksual atau psychosexually hermaphroditic dari kalangan perempuan juga sangat jarang kita temui. Kalaupun ada, mereka hanya ada terbatas dalam lingkungan pergaulan masyarakat hedonis yang identik dengan kehidupan malam. Di dalam pergaulan seperti itu hubungan heteroseksual adalah sesuatu yang sudah sangat biasa, bahkan mungkin membosankan. Keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru, menjadi dasar kuat merebaknya gaya hidup seks non heteroseksual.


Sebuah penelitian mengatakan, orientasi biseksual cenderung terdapat pada perempuan. Tetapi, seperti yang dikatakan Lisa Diamond, (http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2003/0627/kes2.html), orientasi seksual sesungguhnya merupakan sebuah fenomena yang jauh lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan. Orientasi ini sangat dipengaruhi oleh berbagai variasi emosi dan faktor fisik, terutama pada perempuan. Hal tersebut pula yang menyebabkan mengapa kecenderungan biseksual pada kebanyakan perempuan tidak tampak ke permukaan, dan hanya menemukan kebebasan eksistensinya di dalam lingkungan-lingkungan tertentu seperti dalam gaya hidup kehidupan malam kaum hedonis. Padahal perempuan memiliki orientasi seks jauh lebih kaya daripada lelaki.

Salah satu sahabat dekat Laila selain Yasmin adalah Shakuntala. Seorang perempuan bertubuh semampai yang juga seorang penari. Identitas Shakuntala sebagai seorang biseks langsung dipaparkan pengarang pada penggalan pertama ketika cerita memaparkan narasi tentang dirinya:

“Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak-perempuanku menyebutku sundal.
Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku. Aku tidak menghormati mereka.” (Saman, 2002:115).

Lewat kutipan yang sangat eksplisit tersebut langsung diketahui latar belakang kehidupan sang tokoh, dan permasalahan yang ia alami akibat dari perilaku seksualnya. Kepribadian Shakuntala dan kecenderungan seksual ganda yang dimilikinya juga dilukiskan pengarang lewat ciri khas berikut ini:

“Aku mahir merubah suaraku. Kadang aku ini kera Sugriwa dengan geram egresif maupun ingresif dalam trakhea. Kali lain aku adalah cangik yang suaranya yang klemak-klemek seperti kulit ketiaknya yang lembek. Ketika remaja aku selalu menari sebagai Arjuna dalam Wayang orang, dan gadis-gadis memujaku sebab tanpa sadar mereka tak menemukan sisa-sisa femininiti dalam diriku. Tapi aku juga Drupadi, yang memurubkan gairah pada kelima pandawa.” (Saman, 2002:117-118).

Lewat suara dan tariannya Shakuntala digambarkan memiliki sisi feminim maupun sisi maskulin.
Hampir sama dengan Laila, Shakuntala hidup di bawah didikan orangtua yang mempunyai standarisasi tertentu tentang bagaimana tingkah laku perempuan yang dianggap baik. Sejak kecil ia tidak merasa nyaman dengan pandangan orangtuanya mengenai pembagian etika lelaki dan perempuan. Seperti wewejang ayahnya tentang cinta yang dinasehatkan padanya berikut ini:

“Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit.” (Saman, 2002:120-121).

Nasehat ayahnya di atas adalah nasehat orangtua konservatif pada umumnya. Cara pandang seperti itu masih terus berkembang karena diwariskan turun-temurun. Setiap anak diharuskan untuk patuh terhadap orangtua, bagi yang melawan dianggap anak durhaka dan tak tahu diuntung. Sistem kepatuhan tanpa ada proses penyaringan inilah yang menyebabkan cara pandang ini terus berkembang. Dari orang tua ke anak, dan dari anak menyebar ke lingkungan pergaulan sosial. Di dalam diri Shakuntala terdapat keinginan untuk memberontak, tidak hanya ayahnya, ibunya memiliki perspektif yang tak jauh beda:

“Ibuku berkata, aku tak akan retak selama aku memelihara keperawananku. Aku terheran, bagaimana kurawat sesuatu yang aku belum punya? Ia memberitahu bahwa di antara kedua kakiku, ada tiga lubang. Jangan pernah kau sentuh yang tengah, sebab di situlah ia tersimpan. Kemudian hari kutahu, dan aku agak kecewa, bahwa ternyata bukan cuma aku saja yang sebenarnya istimewa. Semua anak perempuan sama saja. Mereka mungkin saja teko, cawan, piring, atau sendok sup, tetapi semuanya porselin. Sedangkan anak laki-laki? Mereka adalah gading: tak ada yang tak retak. Kelak, ketika dewasa, kutahu mereka juga daging.” (Saman, 2002:124).

Shakuntala merasa ada yang janggal dengan kodrat yang diberikan kepada wanita, di sana terdapat diskriminasi. Keperawanan hanya boleh diberikan kepada suami, tanpa harus menuntut sang suami menyerahkan hal yang sama. Doktrin tersebut tertanam ke dalam pikiran sampai ke alam bawah sadar. Hal ini yang menyebabkan perempuan merasa sakit ketika berhubungan seks untuk pertama kali, karena yang ada dalam benaknya adalah rasa takut ketimbang menikmati senggama.

Shakuntala adalah sosok yang memiliki kehidupan unik. Ia memiliki jiwa sebagai seorang seniman yang menikmati keindahan menurut tafsirannya sendiri. Kapan ia menyadari ada sisi kelaki-lakian dalam dirinya dan apa penyebabnya juga bagai misteri:

“Tetapi lelaki dalam diriku datang suatu hari. Tak ada yang memberi tahu dan ia tak memperkenalkan diri, tapi kutahu dia adalah diriku laki-laki. Ia muncul sejak usiaku amat muda, ketika itu aku menari baling-baling.” (Larung, 2002:133).

Sosok Shakuntala oleh pengarang dijadikan sebagai wujud metaforis dari jiwa manusia dengan dua dimensinya. Lelaki dan perempuan. Pembagian tersebut tidak hanya sebatas pada jenis kelamin yang dimiliki, tapi memiliki makna lebih di luar hal-hal fisik. Daya tarik kepribadian atau karisma, dan lain-lain. Laila, sahabatnya bisa secara spesifik merasakan unsur kelaki-kelakian dalam diri Shakuntala ketika Shakuntala mempertunjukan kemampuan menarinya yang bisa menampakkan dua kepribadian sekaligus:

“Lalu musik berhenti. Telah satu jam. Telah satu jam kami berdansa. Kami saling melepas pelukan. Saya melihat ia berkeringat. Ia mencopot kamejanya begitu saja seperti seorang lelaki menanggalkan pakaiannya yang telah basah. Dan tengkurap. Saya melihat otot punggungnya. Titik-titik peluh. Ia berbalik. Lalu saya menemukan wajah saya telah bersandar pada siku lehernya. Dan saya menangis. Sebab sesungguhnya saya tahu saya terluka oleh sikap Sihar. Sebab kini saya tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar. Hangat nafasnya terasa. Cahaya rendah.” (Larung, 2002:131-132).

Laila yang baru saja mengalami kekecawaan terhadap Sihar terhipnotis oleh daya tarik yang ditunjukkan Shakuntala lewat kemampuan menarinya, begitu terhipnotis hingga ia pun secara alamiah larut dalam pelukan sahabatnya itu. Ia melepaskan hasrat seksual dengannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang mengatakan, bahwa pada kaum perempuan, pengalaman atraksi seks tidak tergantung pada gen pasangannya saja, tapi juga terpengaruh oleh segala sesuatu di sekitarnya. Itulah yang dialami Laila, atraksi seksualnya dengan Shakuntala lebih dipengaruhi oleh faktor situasi yang mereka berdua lewati. Jadi, meski Laila memiliki orientasi seks normal, ia bisa saja mendapatkan kenikmatan seks dengan Shakuntala.

0 komentar:

Posting Komentar