Musik Lahir Dari Ketidakpuasan

Semua orang suka musik, Pasti. Tak terhitung alasan yang bisa dibenarkan mengapa kita semua menyukai salah satu bentuk seni paling agung yang diberikan Tuhan ini. Ada yang hanya sekadar suka, ada pula yang memvonisnya sebagai hobi, bahkan ada yang sampai rela menghabiskan bahtera hidupnya hanya untuk berkarya di bidang ini. Manusia memang secara alamiah menyukai keindahan. Media paling awal yang dapat merangsang naluri ini adalah musik. Bahkan, seorang bayi sudah dapat menikmati musik sejak masih dalam kandungan.

Perkembangan musik dunia memasuki puncak kemegahannya pada dekade 60-an. Sejak saat itu musik tidak saja hanya sekadar sebuah karya estetis yang menghibur, melainkan tersulap menjadi sebuah industri mengesankan yang mendobrak paradigma konvensional pada waktu itu. Ditandai dengan kemunculan The Beatles, supergrup paling fenomenal yang pernah ada. Musik bahkan menjadi senjata untuk meruntuhkan nilai-nilai tradisi yang dianggap konservatif dan tidak relevan lagi dengan kehidupan yang telah memasuki era modern. Musisi-musisi yang semula diremehkan keberadaannya karena dinilai sebagai profesi yang tidak mensejahterakan, saat itu mulai mendapat tempat terhormat dimata dunia. Tanpa mengesampingkan sang raja Rock and roll ‘Elvis’, Dalam hal ini kita patut berterimakasih pada The Beatles, empat pemuda asal liverpool yang nekat menuruti kata hati sebagai wujud pencurahan ekspresi terlarang pada masanya.

John Lennon pada masa kecilnya bahkan pernah berucap, ibuku akan memungut kembali puisi-puisi laguku yang ia buang ketempat sampah, setelah aku populer nanti. Sebuah pernyataan yang bagi saya jauh dari kesan lelucon bila melihat kepopuleran John Lennon beberapa tahun setelahnya. Orang tua-orang tua pada waktu itu selalu ingin menyekolahkan anaknya setinggi mungkin dengan harapan kelak bisa menjadi Dokter, BisnisMan, pengacara atau profesi-profesi lain yang mampu menghidupi dan meningkatkan nama baik keluarga. Tentu saja ibunya mencak-mencak melihat John Lennon cilik enggan sekolah dan lebih memilih berdiam diri dikamar sambil menulis lirik-lirik lagu. Namun pilihan yang berani serta kejeniusannya membuat karyanya terus abadi sampai saat ini.

Ya, berani menentukan pilihan. Dalam bidang apa pun setiap revolusi memerlukan orang-orang yang berani menentukan pilihannya. Dari kancah negeri sendiri masih teringat bagaimana Koes Plus dipenjarakan oleh presiden Soekarno lantaran jenis musik yang dibawakan dianggap terlalu kebarat-baratan. Benarkah seni ada batasnya ?

Memang benar kata-kata adalah senjata yang lebih menyayat ketimbang pisau belati. Dengan kata-kata dalam lirik lagunya tercatat sejumlah musisi tanah air diberangus oleh kaum penguasa. Sebut saja Iwan Fals atau Ebiet G Ade. Padahal mereka hanya mencoba jujur dalam berkreatifitas. Ketakutan tak jarang menimbulkan perilaku yang munafik. Dan penguasa adalah sumber ketakutan paling horor pada waktu itu.

Demam The Beatles memunculkan motivasi untuk timbulnya kelompok-kelompok musik yang mempunyai titik berangkat serupa, yaitu ketidakpuasan dengan apa yang sudah ada. Maka lahirlah The Doors, Rolling Stone, The Who, dan lainnya, untuk ikut memberanikan diri mengambil bagian dalam industri ini. Remaja-remaja saat itu mengalami imbas besar-besaran yang berpengaruh pada perubahan gaya hidup. Mereka seperti teracuni dengan tren musik yang berkembang karena kelompok-kelompok musik tersebut tidak hanya merefleksikan karya-karya mereka, melainkan menawarkan sebuah lifestyle baru yang segera mewabah dikalangan anak muda karena dianggap mengaspirasikan hasrat mereka yang lama terpendam. Imbas negatifnya, berbagai jenis narkoba merajalela, free seks sana-sini, semangat memberontak seperti terlecut dan mereka menuntut kebebasan seluas-luasnya. Nama-nama seperti Jimi hendrix, Janis joplin, Led zeppelin, bisa dikatakan sebagai avant garde dalam euforia ini. Setiap pertunjukan yang disuguhkan, tak luput dari bumbu-bumbu yang telah disebutkan diatas.

Pink Floyd, grup besar beraliran progresif rock, mewajibkan setiap penonton yang menyaksikan konser mereka untuk mengkonsumsi ganja terlebih dahulu, Agar dapat menikmati betul setiap lagu yang mereka suguhkan. Atau pentolan-pentolan The Beatles yang membagikan secara gratis LSD, sebuah jenis obat bius, saat konser mereka berlangsung. Hal-hal tadi hanya sebagian kecil dari kenakalan-kenakalan mereka. Belum lagi Jim Morison, bintang maha besar grup The Doors yang bermasturbasi ria di atas panggung. Keusilannya ini bahkan menghantarkan Morison berurusan dengan kepolisian. Ia kemudian mendekam dibalik terali besi karena perbuatan ini. Musik khususnya Rock and roll adalah sesuatu yang mempunyai daya magis tinggi. Bagaikan bola-bola api yang memporak-porandakan segala bentuk yang sifatnya normatif.

Rock and roll menuju ke tahap lebih garang pada era 80-an. Tampaknya Rolling stone, Deep purple, Led zeppelin, di masa puncak mereka, cukup berhasil memanas-manasi anak-anak muda yang masih hijau untuk melestarikan lantunan hingar-bingar mereka. Tidak hanya itu, seolah kurang puas oleh pendahulunya, pewaris-pewaris ini semakin liar berkarya dengan komposisi musik yang lebih menggetarkan telinga. Pada masa ini eksplorasi teknik gitar semakin menjadi-jadi. Muncullah grup-grup baru dengan gitaris-gitaris handal. Angus Young bersama AC DC, Joe Satriani, Steve Vai, Kirk Hammet, hingga Paul Gilbert bersama Mr Big, semuanya secara gagah berkreasi dengan mengatasnamakan panji Hard rock dan Heavy metal.
Boleh dibilang inilah masa klimaks dari perjalanan mengeksplorasi kegilaan musik rock hingga tahap tertinggi. Banyak aliran-aliran baru bermunculan. Death metal, grind core, thrash, dengan aksi-aksi panggung yang semakin gahar.

Tapi apakah rock selalu butuh teknik ?. Ternyata tidak.
Jenuh dengan liukan-liukan melodi yang menyayat, seorang remaja berlatar belakang suram asal Seattle merasa terusik. Bermodalkan kemauan keras serta dua orang teman yang berjiwa serupa, Kurt Cobain mengibarkan aliran baru. Ia mendirikan sebuah band yang akhirnya menjadi kelompok musik terbesar setelah dekade 80-an, Nirvana.

Tren kembali berubah. Kurt berhasil memberi pengaruh kepada semua orang bahwa dengan komposisi yang simpel, musik rock masih bisa menggigit. Dengan hanya mengandalkan 3 kord, grunge merajalela. Rasanya banyak rocker-rocker sebelumnya merasa sakit hati dengan pengkhianatan Nirvana. Tidak sedikit juga yang merasa mempunyai pegangan baru. Pearl Jam, Alice in Chains, Sound Garden ikut ambil bagian di dalamnya. Nuansa-nuansa pemberontakan yang terkandung pada lagu-lagu mereka menjadi panutan generasi muda pada waktu itu. Hingga pada saat ia meninggalpun (1994), pengaruh cita rasa musik Kurt cobain terus mewabah. Unsur alternative yang kental tak urung membuat band-band seperti Smashing Pumpkins, Stone Temple Pilots, hingga Creed masih mewarisi karakter yang dibangun band-band asal Seattle tadi.

Di sisi lain, timbul keinginan musisi-musisi generasi baru untuk menggabungkan musik Rock dengan unsur-unsur yang lain. Setelah Kurt, Band-band lebih memfokuskan diri bagaimana memberikan sound efek yang bagus pada lagu mereka, Dan tidak lagi terlalu memikirkan teknik permainan gitar yang menonjol. Perubahan lain yang signifikan, mereka semakin tenang di atas panggung. Jingkrak-jingkrakan mulai dikurangi takarannya pada setiap aksi panggung. Generasi ini memunculkan aliran Nu metal dan berkembang menjadi Modern Rock. Band-band macam Korn, Limp Bizkit, RATM, memberikan unsur Hip-hop pada karakter Rock mereka. Atau Blink, Green Day, hingga Simple Plan yang lebih memilih mengeksplorasi unsur Punk. Perkembangan selanjutnya ? kita nantikan saja.


Dimuat dalam Buletin Bengkel Musik edisi 1, September 2005.

0 komentar:

Posting Komentar