Teater Kita, Teater Setengah Hati



(telah dimuat di Media Sulut, 6-7 November 2008)


Merunut periode tahun 2000-an, ada satu fenomena membanggakan melanda alam kesenian di Sulawesi Utara. Yakni membanjirnya kelompok teater dengan keaneka ragamannya masing-masing. Terlepas dari bermacam motivasi yang mendasarinya, hal ini tidak bisa dipungkiri adalah sebuah fenomena yang benar-benar mempunyai gaung. Dengan sedikit kesombongan subjektif saya berani mengatakan sumbangsih tempat saya menimba ilmu (bukan kuliah) Fakultas Sastra Unsrat bukan sesuatu yang “sedikit-sedikit”. Ini bisa dibuktikan dari beberapa penanda yang setidaknya bisa menjadi acuan pembuktian. Entah festival teater maupun pementasan-pementasan momentum lainnya. Tentu, tidak bisa tidak, anggapan ini akan menimbulkan pro dan kontra. Apakah itu dari pelaku seni yang cukup aktif sekarang ini atau mungkin para seniman-seniman veteran yang sebagian besar saat ini hanya meninggalkan memori nama besarnya. Tapi bukan itu yang ingin saya persoalkan dalam catatan singkat ini. Yang dipersoalkan adalah apakah benar hal ini adalah sebuah fenomena yang membanggakan?. Sebagian besar publik yang masih terjebak dalam paradigma orang Manado yang banyak keanehannya barangkali akan menjawab “Ya “. Itulah masalahnya, terlalu banyak keanehan yang diidap masyarakat kita. Jika Rendra punya semboyan klasik yang menjadi rujukan kelompok seninya yaitu “Kegagahan dalam kemiskinan”, maka kita di sini lebih cocok disebut “menggagahkan diri di tengah kemiskinan”. Entah kita sendiri yang tidak menyadari kemiskinan itu, atau parahnya, kemiskinan itu memang sengaja dibiarkan. Beberapa di antara kemiskinan itu adalah, miskin kritikus, miskin infrastruktur, miskin manajemen, miskin kesadaran, dan menurut saya yang paling akut adalah miskin kerendahan hati. Kenapa kerendahan hati? Karena tanpa itu niscaya sebuah perubahan akan tetap sebatas mimpi. Teater, yang oleh banyak seniman dipakai sebagai media mengkritik realitas sosial, dengan dentaman-dentaman peluru yang menghantui para aktor-aktris di panggung politik, secara ironi tak mempunyai pihak yang bisa menegur kesalahannya. Seniman bukanlah mahluk suci yang tak bisa disentuh dengan kritik. Dan tanpa kritik tak ada cermin untuk dijadikan acuan. Akibatnya banyak kelompok-kelompok teater yang sulit terlepas dari kemonotonannya. Kalaupun ada, kritik-kritik itu hanya terlontar melalui cemoohan sumbang antar sesama pelaku seni itu sendiri. Yang menurut saya, bukan bermaksud untuk saling membangun, melainkan hanya ingin mencari kesalahan agar ke”figur”annya sebagai seniman tak dikalahkan oleh seniman lain. Dan akhirnya saya berkesimpulan bahwa seniman-seniman kita tak ada bedanya dengan aktor dan aktris panggung politik di negeri ini. Hujat menghujat agar kediriannya bisa nampak ke permukaan.

Sejauh ini belum ada akademisi-akademisi yang sehari-harinya melahap ilmu tentang pengkajian karya seni, secara intens menulis kritik tentang bentuk atau isi pertunjukan seni yang sedang berkembang. Kemana saja perginya mereka? Tak perlu jauh-jauh mencari. Cukup menoleh ke dalam kantor-kantor instansi pemerintahan, di dalam ruang pembelajaran kuliah yang kaku, bahkan ada yang tersesat di etalase pertokoan atau gedung-gedung bank. Ditambah lagi dengan kecuekan media-media mainstream yang hanya gemar menulis tentang peristiwa-peristiwa seni, tanpa mau mengulasnya dalam kajian kritis. Lalu muncul pertanyaan besar, mengapa iklim berteater kita masih jauh dari harapan? Padahal sudah sejak beberapa dekade lampau daerah ini melahirkan pelaku-pelaku seni yang cukup intens di bidangnya. Saya pun sebagai generasi yang masih hijau sangat mengenal pendekar-pendekar veteran seni pertunjukan Sulawesi Utara yang kesaktiannya menyebar ke mana-mana. Namun kenapa justru nama besarnya yang menyebar, dan bukan semangat berteater yang mereka miliki?. Masalahnya sederhana, tak ada satupun dari mereka yang dengan sejati mencintai bidang yang mereka pilih ini. Kenapa?, karena budaya orang Manado yang cepat puas + cepat juga menyerah, serta suka cari gampang, masih terus berakar sampai sekarang. Potensi-potensi baru yang cukup matang secara artistik terus bermunculan. Namun sayangnya belum ada yang ingin berkorban membangun profesionalitas, kemandirian, agar seni pertunjukan di Sulawesi Utara tidak saja bisa menghidupi masyarakat dengan sajian-sajiannya, tapi juga bisa menghidupi diri sendiri.


Perlombaan Teater Sulawesi Utara, yang banyak melahirkan kelompok teater dadakan


Salah satu contoh kasus bahwa seniman kita doyan “cari gampang” bisa dilihat dari membanjirnya kelompok-kelompok teater saat diadakannya festival perlombaan. Memang tidak ada salahnya diadakan perlombaan-perlombaan yang kerap melahirkan kelompok-kelompok teater kagetan ini, juga bukan suatu dosa jika setiap kelompok teater itu begitu antusias menampilkan pertunjukannya. Toh tak perlu susah payah, tinggal mengumpulkan beberapa pemain, latihan beberapa hari, dan siap unjuk gigi. Mendaftar pun tak perlu repot-repot merogoh kocek, siapapun bisa tampil asal punya konsep untuk dipentaskan. Dan asyiknya lagi, jutaan rupiah siap menanti jika beruntung, atau sajian yang ditampilkan, menarik minat juri. Uang dan pengakuan disandang sang pemenang. Setelah itu selesai. Apresiasi berhenti, aktivitas berteater terlelap, dan tiba-tiba bangun lagi jika ada proyek, momentum, dan perlombaan tahun berikutnya. Sementara ide-ide baru tentang konsep pertunjukan tak henti mengalir, kita terperosok pada rutinitas yang itu-itu saja. Layaknya manusia, semakin dewasa ia, maka semakin terampil pula secara mandiri mencukupi kebutuhan jasmani dan rohaninya. Tapi rupanya teater kita memang belum cukup dewasa meski dari segi usia tidak bisa dikatakan muda lagi. Mengapa kita tidak mencoba mandiri dengan secara intens menelurkan pentas produksi yang termanajemen dengan rapi?. Bermacam apologi serta ketakutan segera menghantui. Ketakutan akan sepinya penonton, kerugian secara ekonomi, kerugian energi dan waktu, serta ketakutan-ketakutan lain untuk menutupi kemalasan kita mengangkat harga diri teater.

Bila mencoba menilik kembali, pada tahun 80-an pernah beberapa kali diadakan pentas produksi oleh praktisi-praktisi teater yang cukup aktif waktu itu. Namun tradisi itu tenggelam begitu saja seiring bergulirnya waktu. Semangat setengah hati yang mengundang rasa geram generasi yang terbit di masa sekarang. Himbauan saya, janganlah terlalu lama kita menyumpah serapahi tokoh-tokoh tua itu. Marilah dengan penuh kerendahan hati kita kembali membangun dari awal usaha ini. Dengan secara bersama-sama menutupi lubang-lubang yang diwariskan mereka. Di satu sisi kita menyumpah serapahi, di sisi lain indikasi kita akan kembali terjun ke jurang yang dilompati sesepuh-sesepuh itu, nyaris menjadi kenyataan. Dan akhirnya kita sendiri yang nantinya akan ketiban sumpah serapah oleh generasi-generasi yang akan datang.
Sesungguhnya sekitar tahun 2004, berlokasi di gedung Pingkan Matindas naskah “Episode Ungu Seorang Penyair” karya Aripank yang disutradarai Vick Chenorre, meskipun sederhana, sempat mengisi kekosongan pentas produksi kita. Namun setelah itu lagi-lagi produksi teater kita diterpa keheningan. Ibarat terapi penyembuhan, pengobatan yang terputus-putus tidak akan mampu menghilangkan sebuah penyakit. Untuk mencapai hasil yang maksimal, setiap pengobatan mesti dilakukan secara intens dan teratur. Karena itu pementasan produksi secara reguler adalah kewajiban yang harus menjadi tanggungjawab kita semua sebagai pelaku seni teater. Memang ada sedikit titik cerah ketika beberapa waktu lalu diselenggarakan beberapa pementasan produksi di gedung Pingkan Matindas. Meski memang terkesan hanya sebatas memanfaatkan momentum karena berbarengaan dengan Festival Bunaken. Untuk ke depan, masalah ini harus menjadi tanggungjawab kita bersama. Agar nantinya Manado tidak hanya dikenal dengan perempuannya yang cantik-cantik tapi blo’on, atau kota yang Cuma tau bagaya, tapi juga bisa dikenal sebagai kota seni dan budaya, yang adalah ciri khas utama sebuah kota pariwisata. Sudah selaknyalah pula pemerintah menaruh perhatian pada kemajuan seni pertunjukan, bila memang cita-cita menjadikan Manado sebagai kota pariwisata dunia bukan sebatas wacana yang main-main. Kalu turis mo datang ka Manado Cuma mo lia mall-mall pe pai, dorang bilang beking lalah. Karna pa dorang pe negara tu mall-mall jao lebe pai kasiang...
Saya sedikit cemburu, dengan Teater Koma, salah satu teater besar Indonesia, yang tak perlu khawatir pertunjukan produksinya sepi penonton. Karena masyarakat sudah terlanjur menaruh percaya akan nilai atau gizi yang akan dilahapnya ketika menonton pertunjukan teater yang mereka suguhkan. Sehingga mereka terus datang, dan datang lagi. Kepercayaan seperti itu beberapa tahun ke depan bisa kita dapatkan. Asal kita secara serius bersedia berkorban, tanpa menyerah, dan tidak angin-anginan. Boleh kira-kira? Agaknya sih......

2 komentar:

Witho 2 Juli 2009 pukul 05.41  

Sikaaaat...
So ada e...

Anonim 18 Agustus 2010 pukul 07.44  

good job

Posting Komentar