Oleh:
Dean Joe Kalalo
Berbicara mengenai
problematika perteateran di Sulawesi Utara, mungkin sudah merupakan sesuatu yang
basi. Kenapa basi? Karena hal ini sudah seringkali dibahas, didiskusikan,
diperdebatkan di setiap forum pertemuan seniman, baik forum resmi, maupun forum
santai-santai sambil minum kopi atau Cap Tikus. Bahkan saya, bersama
kawan-kawan di Theater Club Manado, setiap kali berkumpul untuk sekadar
bersilahturahmi hampir selalu mengungkit-ungkit mengenai hal ini. Segala
kekurangan dikaji, berbagai solusi dirumuskan. Namun memang untuk merubah
sesuatu yang skalanya besar, tidak hanya membutuhkan dialog dan rencana-rencana,
tidak hanya membutuhkan keseriusan dalam berdiskusi, tapi juga keseriusan dalam
berbuat. Meskipun basi, saya tetap tergerak untuk mengulasnya dalam tulisan
ini, dengan harapan kebasian ini dapat menjadi refleksi bagi kalangan yang
lebih luas.
Lalu apa target yang
harus dicapai perteateran Sulawesi Utara paling tidak agar menapaki fase aman
untuk bisa survive secara
berkesinambungan. Saya sendiri berpendapat bahwa, iklim perteateran sudah bisa
dikatakan terbentuk apabila setiap seniman atau kelompok teater telah mampu
mewujudkan kemandirian. Kemandirian di sini memiliki makna, bahwa selain mampu
menghidupi peradaban, teater harus mampu menghidupi diri sendiri. Cara
menghidupi peradaban, ya tentu dengan pertunjukan-pertunjukan yang intens dan
berproses. Berproses dalam hal ini berarti harus lebih baik dari waktu ke
waktu. Untuk bisa menjadi lebih baik dari waktu ke waktu tentu harus ada evaluasi,
dialog atau diskusi di setiap pasca pertunjukan. Dialog ini tidak hanya hal-hal
seputar proses produksi atau teknis pertunjukan, tetapi juga menyangkut kualitas
pementasan secara keseluruhan, baik dalam hal komunikasi pertunjukan dengan
penonton, relevansi pentas dengan kondisi aktual, persoalan bentuk dan isi, dan
lain sebagainya. Hal ini paling tidak harus dilakukan antar sesama seniman,
jika apresiasi kritis dari para kritikus atau pelaku media memang sulit
diharapkan. Dan tentu saja, harus ditumbuhkan sikap kedewasaan dalam menerima
kritik, selama kritik yang disampaikan menyentuh unsur-unsur substansial dalam
pementasan. Ini penting, karena berdasarkan pengalaman, kritik seringkali
diterjemahkan sebagai sebuah sikap permusuhan, kecurigaan adanya kecemburuan,
atau adanya ketidaksenangan satu sama lain.
Memang kendala yang
dihadapi di daerah ini adalah minimnya peteater-peteater yang memiliki
referensi atau cakrawala ilmu perteateran yang memadai. Kebanyakan praktisi teater
di Sulut adalah praktisi otodidak yang hanya mengandalkan kemampuan intuitif
semata, sehingga dalam mengapresiasi sebuah pertunjukan hanya mengandalkan
asumsi-asumsi subjektif saja. Dan dialog pasca pentas pun hanya seputar
basa-basi yang tidak substansial. Kurangnya kesadaran memperluas cakrawala / wawasan
ilmu perteateran meyebabkan banyak pementasan secara konseptual jalan di
tempat, minim kebaruan yang inovatif, berputar-putar dengan gaya itu-itu saja. Padahal
stok seniman teater yang mumpuni di daerah ini cukup banyak, yang
mengindikasikan harapan bahwa persoalan krisis pertunjukan paling tidak bisa
teratasi, tinggal bagaimana menumbuhkan kesadaran kolektif dari mereka untuk
memperkaya wawasan perteaterannya. Di era di mana informasi dapat menyebar
secepat cahaya ke seluruh penjuru bumi seperti saat ini, serta bahan-bahan
pustaka bersileweran menganggur di rak perpustakaan atau toko buku, tentu tidak
ada alasan lain, selain kemalasan, yang menjadi kendala kurangnya kesadaran
untuk memperkaya wawasan ilmu perteateran.
Lalu bagaimana dengan
menghidupi diri sendiri?. Teater yang mandiri adalah teater yang bisa berdiri
sendiri dalam memproduksi pertunjukan-pertunjukannya. Artinya, campur tangan
pihak lain hanya sebatas pembantu atau sponsor, bukan penyelenggara utama. Bertolak
dari prinsip ini jelaslah, bahwa di dalam pentas proyek atau pentas festival
(lomba) tidak ada kemandirian. Pentas proyek bergantung dari pesanan para
pemilik proyek. Pentas lomba bergantung dari penyelenggara festival. Jika tidak
ada proyek atau festival, maka pertunjukan pun tidak ada. Setelah festival
Teater PATSU (Persatuan Artis Teater Sulawesi Utara) maupun Festival yang
diselenggarakan Taman Budaya tutup buku beberapa tahun lalu maka geliat
kelompok-kelompok teater yang begitu mewabah pada waktu itu pun ikut kandas.
Beruntunglah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) sampai saat ini masih
secara rutin setiap tahun menggelar Festival Teater Remaja (FTR) dan Festival
Seni Pemuda GMIM (FSPG) di mana teater adalah salah satu cabang yang dilombakan.
Saya tak bisa membayangkan andaikan FTR dan FSPG suatu waktu tidak lagi
dilaksanakan, maka para praktisi teater yang tidak memiliki kesadaran
kemandirian ini akan menjelma menjadi sekumpulan orang-orang terlantar yang
kehilangan panggung.
Di daerah ini orang
yang menggemari serta terlibat dalam aktifitas teater tak terhitung jumlahnya,
bahkan sebagian di antaranya telah memilih untuk mengabdikan hidupnya untuk “panggung
sandiwara”, dengan tidak menekuni pekerjaan lain di luar teater. Tapi sangat
disayangkan, sangat sedikit yang memiliki kesadaran untuk membangun kemandirian
dan profesionalitas. Teater dipandang hanya sebatas ruang untuk mengekspresikan
diri, ruang untuk menampung minat semata. Mereka merasa sudah puas dengan
rutinitas pentas dalam skala yang itu-itu saja. Teater tidak hanya sekedar
menjalani proses latihan lalu kemudian pentas. Untuk membangun iklim dibutuhkan
visi, dibutuhkan prinsip berkesenian (untuk apa saya berteater, apa yang akan
saya perjuangkan). Di samping urusan konsep dan estetika, urusan ideologi merupakan
roh sebuah kelompok teater. Roh yang membuatnya senantiasa hidup, senantiasa
berproses dan berkembang, tidak seperti mesin yang bergerak dengan pola-pola
yang sama dari waktu ke waktu. Kelompok teater yang sejak awal dibentuk tanpa
didasari visi dan ideologi, adalah teater yang dilahirkan untuk mati. Kita tidak
perlu berharap banyak, karena ia akan gugur pada waktunya tanpa menorehkan
sesuatu yang berarti. Seperti kata Proverbs, di mana tidak ada visi, di situ orang-orang binasa.
Tetapi perlu diingat,
visi dan ideologi saja tidak cukup, perlu ada usaha kerja keras untuk
memperjuangkannya. Perlu ada sasaran-sasaran yang dieksekusi secara bertahap untuk
mewujudkannya. Bagi saya tidak ada salahnya jika setiap kelompok teater memakai
metode yang dipakai pemerintahan, di mana ada target jangka pendek, jangka
menengah maupun jangka panjang. Target ini kemudian disusun dalam bentuk
rencana kerja tertulis. Misalnya dalam kurun waktu lima tahun sudah berhasil
merangkul penonton / penikmat tetap, dalam jumlah tertentu, yang stabil di setiap pementasan
produksi yang dilaksanakan secara rutin, dengan harga tiket yang cukup
memuaskan. Atau dalam kurun waktu 20 tahun sudah berhasil mempunyai gedung
pertunjukan sendiri yang cukup representatif, sehingga tidak lagi bergantung
pada gedung milik pemerintah atau gedung lain yang sudah tidak memadai dan strategis,
dipungut uang sewa pula.
Setiap kelompok teater
tentunya memiliki target yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.
Agar target ini bisa dicapai dengan baik harus ada evaluasi, misalnya setiap
tiga bulan sekali, melihat apa saja tantangan
yang dapat menghambat tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan, untuk
kemudian disolusikan bersama. Teater harus mengalami kemajuan dari waktu ke
waktu, tidak boleh jalan di tempat. Baik dari segi pencapaian artistik,
perluasan dan peningkatan kuantitas penonton, kemantapan infrastruktur,
kemantapan apresiasi, dan lainnya. Seniman teater tidak boleh terjebak dalam
zona nyaman antara hidup dan mati. Jika klub sepak bola atau sebuah grup band
rock and roll memiliki ribuan penggemar fanatik yang selalu memenuhi stadion
atau arena konser, tanpa perlu “dibujuk” atau dipengaruhi sedemian rupa, maka
pada suatu waktu kita berharap teater di Sulawesi Utara memiliki ribuan
penggemar fanatik yang tanpa merasa rugi membeli tiket untuk menonton
pertunjukan teater. Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Jika klub sepak
bola dan grup musik bisa, kenapa grup teater tidak?. Selama ini harus diakui
teater belum bisa mencuri hati publik secara luas, meskipun potensi dan
kemungkinan untuk itu bagi saya sangat terbuka lebar.
Di Sulawesi Utara
sendiri teater masih dianggap cabang seni kelas ke sekian jika dibandingkan
dengan musik atau film yang memiliki penikmat fanatik dari berbagai kalangan. Hampir
setiap hari orang berbondong-bondong ke bioskop, dengan enteng mengeluarkan
50.000 rupiah untuk menonton sebuah film. Sedangkan rata-rata harga tiket
pentas produksi teater di Sulut sejauh ini berkisar antara 10.000-15.000. Itu
pun penonton yang datang hanya sebatas jaringan antar sesama kelompok teater.
Bertolak dari kenyataan ini, maka kunci agar sebuah kelompok teater dapat
menghidupi diri sendiri adalah dengan menciptakan penonton. Penonton yang
dimaksud bukan sekedar penonton biasa yang datang ke gedung pertunjukan karena
diajak teman atau dirayu tim pemasaran produksi, tetapi penonton tetap yang datang
secara terus-menerus dengan loyal.
Oleh sebab itu teater
harus menjadi magnet, harus menjadi produk istimewa yang selalu
dinanti-nantikan, seakan-akan menonton teater sudah menjadi kebutuhan, sudah
menjadi gaya hidup bagi masyarakat luas. Usaha untuk menciptakan penonton
bukanlah sesuatu yang mudah yang bisa diwujudkan dalam waktu singkat. Perlu
strategi tersendiri, perlu kerja keras secara terus-menerus, perlu mengusahakan
pementasan produksi secara reguler. Misalnya setiap satu bulan atau dua minggu
sekali digelar pementasan teater. Produksi reguler ini tidak boleh timbul
tenggelam, harus stabil agar kebiasaan menonton teater lambat laun membudaya. Maka
dari itu, selain menerapkan asas-asas manajemen, sebuah pentas produksi teater juga
harus memadai secara kualitas, aktual secara ide, membumi secara kultural, berbobot
secara artistik, mampu mewakili masyarakat, sehingga dapat menjawab kebutuhan
mereka, merefleksikan memori aktual mereka, mencerminkan dan menjawab kegelisahan-kegelisahan
yang dirasakan oleh mereka.
Memang keuntungan
secara finansial tidak akan langsung diperoleh dalam waktu singkat. Upaya merangkul
penonton sebanyak-banyaknya dan meningkatkan harga tiket pertunjukan pada taraf
yang pantas bukan pekerjaan satu dua tahun saja. Pada awal berdirinya pun
Teater Koma, teater yang menjadi besar karena berhasil menciptakan kemandirian
melalui pementasan produksi, tidak memperoleh keuntungan sama sekali secara
finansial bahkan kerap merugi. Butuh bertahun-tahun bagi Teater Koma untuk
berada pada tahap dimana mereka dapat melaksanakan pentas produksi selama dua
minggu berturut-turut dengan naskah yang sama, dengan jumlah penonton yang
tetap stabil setiap hari dan dengan harga tiket yang jauh mengalahkan harga
tiket bioskop Studio 21. Agar dapat mencapai tahap seperti ini dibutuhkan
pekerja-pekerja seni yang betul-betul total dan seyogyanya tidak memiliki
profesi atau pekerjaan lain di luar seni pertunjukan. Karena membangun iklim
bukanlah pekerjaan part time yang
bisa dilakukan setengah-setengah. Membangun iklim adalah pengabdian secara
menyeluruh. Untuk itu Teater Sulawesi Utara membutuhkan, dalam bahasa Radhar
Panca Dahana, pekerja-pekerja yang
memiliki “kekhusyukkan kreatif”, dedikasi, loyalitas, atau sikap berkesenian
yang menganggap teater sebagai satu disiplin yang ketat dan perlu diperjuangkan
(Homo Theatricus, 2001:5).
Seperti sudah
disinggung sebelumnya, praktisi teater yang secara total mengabdikan hidup
untuk teater dengan tidak menekuni profesi lain di daerah ini sebetulnya cukup
banyak. Sungguh sayang jika akhirnya totalitas mereka menjadi mubazir karena
tidak ditunjang dengan visi yang tepat. Dan ujung-ujungnya mereka hanya
berputar-putar pada lingkaran setan, kemudian menjadi tua tanpa menjadi
apa-apa, tanpa menghasilkan apa-apa, tanpa meninggalkan apa-apa. Dengan visi yang
tepat dan jelas, maka peteater-peteater seperti ini akan menjadi kekuatan
kolektif yang luar biasa untuk membangkitkan perteateran di Sulawesi Utara. Dengan
manajemen yang baik, dengan eksistensi yang konsisten, maka publik penikmat
teater akan terbentuk, dan teater pun dapat menghidupi diri sendiri, sehingga
para seniman tidak perlu mencari pekerjaan lain untuk menopang hidupnya. Apakah
ini sebuah utopia?, rasanya tidak. ini adalah sebuah idealisme yang telah
terbukti secara empiris.