Terorisme Dan Keteguhan Hati

Dekade 2000-an barangkali merupakan dekade bersejarah yang akan selalu dikenang semua fans, praktisi, maupun para ideolog terorisme. Pada dekade ini mereka begitu berjaya di Indonesia. Pada dekade inilah mereka begitu berhasil dari segi misi. Nyaris semua program dan agenda teror yang direncanakan berjalan mulus bagai jalan tol. Bahkan ada dua target lokasi teror, yang berhasil diluluhlantakkan hingga dua kali, Bali, dan hotel JW Mariot Jakarta. Indonesia patut malu bila mengingat kembali pepatah klasik itu, “Keledai pun tak akan jatuh dua kali pada lubang yang sama”.

Namun saya tak akan memusingkan keberhasilan program teror mereka yang mahadahsyat itu. Yang harus kita akui bersama bahwa, siapapun yang mampu menjalankan program sehebat itu, dengan presentase kegagalan hanya sepersekian persen, tentulah mereka adalah orang-orang yang “luar biasa”. Selain memiliki kemampuan teknis yang mumpuni, juga memiliki keberanian, integritas, loyalitas, dan pastinya, keteguhan hati. Sesuatu yang hampir mustahil ditemukan pada semua manusia yang lahir dari rahim kapitalisme. Iman, etika, prinsip, moral, idealisme, nyaris selalu oleng ketika berhadapan dengan kekuatan ekonomi.

Sisi ekonomi memang banyak juga berperan dalam misi-misi mereka, seperti membeli bahan-bahan untuk membuat bom, dan biaya operasional lain yang tak sedikit jumlahnya. Namun bagi mereka itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan prinsipil yang lebih besar. Berkompromi dengan kapitalisme, dan bukan menjadi budak kapitalisme. Bagi mereka memperjuangkan sebuah tujuan bukanlah wacana kosong, bukanlah retorika belaka. Mereka tak pernah menggembar-gemborkan visi misi mereka. Tak pernah ada teroris yang berkampanye sana-sini sebelum menjalankan program-programnya. Bertolak belakang dengan calon-calon pemimpin dalam Pilkada atau anggota dewan yang banyak mendongeng dengan janji-janji palsu. Sesuatu yang diam, namun memiliki daya hancur yang sangat kuat. Masyarakat hanya tercengang, ketika tiba-tiba program-program mereka telah terlaksana. Mereka sama sekali tak mengincar kekayaan, kekuasaan, atau ambisi-ambisi manusia kebanyakan di era konsemerisme kapitalis ini.

Banyak sampel yang bisa kita jadikan studi kasus mengenai keteguhan hati mereka. Salah satu yang paling fenomenal mungkin adalah serangan bunuh diri 11 September 2001 di gedung World Trade Center New York. Orang yang mampu menerobos tembok pertahanan Amerika Serikat dengan kekuatan intelejennya yang melegenda tentulah bukan orang yang dipungut dari pinggir jalan, dan dibodohi agar rela bunuh diri. Orang-orang tersebut bertahun-tahun disekolahkan, mempelajari seluk-beluk pertahanan Amerika, Pesawat boeing, dsb. Bayangkan saja, waktu dan tenaga rela dikorbankan selama bertahun-tahun. Belajar, mengorbankan kehidupan pribadi, keluarga, pekerjaan, kebahagiaan duniawi, untuk kemudian “mati” pada suatu saat nanti. Setiap manusia yang masih berpikiran waras, pasti menggeleng-gelengkan kepala membayangkan sebuah kesetiaan semacam itu.

Dalam melaksanakan program-program yang amat berbahaya sepeti itu tentu mengalami banyak sekali tantangan dan hambatannya. Namun mereka tetap setia karena memiliki keteguhan hati yang amat kuat. Semua dilakukan demi suatu “kebenaran” yang diyakini.

Saya kemudian berpikir, alangkah dahsyatnya jika keteguhan hati semacam itu diterapkan untuk memperjuangkan hal-hal lain. Di dalam hal pembangunan, politik, pemerintahan, kebudayaan, seni, ekonomi, dsb. Tak terbayangkan betapa besar dampak positif dan kekuatan yang akan kita peroleh nantinya.

Mungkin pemerintah perlu melakukan studi banding dengan para petinggi-petinggi teroris, mempelajari bagaimana kiat-kiat mereka dalam mendoktrin anak buahnya hingga memiliki keteguhan hati seperti itu. Agar kelak para elit pemerintahan kita bisa rela berkorban, mengesampingkan kepentingan pribadi, kebahagiaan duniawi, hawa nafsu, bahkan siap mati untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan negara.

Jika menurut kaum teroris mati demi agama adalah ibadah dan pasti masuk surga, bukankah bagi birokrat atau elit pemerintah mati untuk kepentingan rakyat dan orang banyak juga adalah ibadah dan pasti masuk surga?. Jika orang-orang seperti Amrozi, Noordin M Top, rela mati demi membela kepentingan yang diyakininya, apakah para elit negara, birokrat, politisi, anggota dewan mau melakukan hal yang sama, rela mati demi kepentingan rakyat?.

Dan bila semua kalangan masyarakat, baik birokrat, politisi, ekonom, seniman, budayawan, mau belajar untuk memiliki keteguhan hati seperti para teroris, niscaya tak akan adalah lagi Gayus Tambunan lain, elit-elit busuk lain, semua tujuan mulia pasti tercapai, dan semua penjara pasti sepi,..