Setelah Pertemuan

Dengan mata
aku tlah mencintaimu
dengan hati
aku tlah mencintaimu
tapi bukan oleh mata dan hati
kau mencinta
sebab cintamu
adalah serentetan
angka-angka bisu


(untuk perempuan yang tak bisa kubeli dengan hati)

berperan mambao

with Cupes & Kent

Kata-Kata

Adakah puisi dicipta
untuk menaklukkan hati?
Adakah hati mencintai puisi?
“Mereka bukan pasangan romantis”
Kata hujan pada siang
Karena setiap pujangga menyimpan kesepian
dan baginya zaman berlinang membawa nista

Adakah puisi dicipta untuk hati?
Jangan kawinkan mereka
Sebelum langit diselimuti luka
Hingga hujan berganti airmata

2006


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Pelacurku

Pelacurku
Yang mencucup nafas dalam
Selembar sayang
Menikam wajah dengan senyum

Terbang, rindu malamku
Yang merekah oleh dosa
Dosamu yang lugu
Tersumpal helaian kertas berwarna

Merdu...
Nafas pelacurku
Mencambuk dunia
Sampai pagi ini
Kutemukan setetes airmata
Di atas bantal
Dan kau tersenyum di sofa
sambil menamainya nurani

Pelacurku
Penjajah yang ulung
Kukembarai bibirmu
Hingga bersimbah darah

Terbanglah..
Basuhi lidah-lidah pengkhotbah
Yang najis itu


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Sabda Akhir Zaman

Ketika nabi-nabi terpasung,

Berbahagialah jiwa-jiwa yang memuliakan
Tuhan dengan keringat lelah

Karena lidah adalah senjata
Bukan pangkal kemuliaan

2005


Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Episode X

Ketika sajak harus lahir atas nama airmata
ranting-ranting tumbuh di tepian
aku bersembunyi di balik akar
dan membiarkan anak haram
melintas membawa kepedihannya

Bagaimana dengan musim yang tak mencintai air?

Anak haram di sembelih
menebus dosa seorang pengkhianat
yang telah mengering
lalu meminta nisannya dibangun tanpa kata-kata sedih

Ketika sajak harus lahir atas nama cinta
Di manakah laut terdalam untuk membaringkan
hati yang t’lah membatu?

2006

Based On: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Kredo Pemuja Sepi

Cinta yang jernih selalu meningkahi jiwa
Karena mata perempuan
adalah sumur dangkal yang kabur
Telinga perempuan
adalah kembang puteri malu
di musim penghujan
Sepi yang sejuk
tempat yang selalu ia diami
Cinta jernih tak pernah tampak
karena perempuan
takut menyeberangi danau sepi
Ia datang dan pergi
persis lalat di atas kepalaku

2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Sajak Rindu Nan Lugu

Semisalkan zaman Shakespeare
Ku’ kan berlari menjemput rindu
Di depan rumahmu
Karena pasti kau mengeluh
Tak menemukan pak pos
Untuk membalas sayangku

Semisalkan kau mendahului hawa
Kan kutelanjangi hutan rimba
Tuk menimang mata air
Yang berlinang di tubuhmu
Karena kutahu kau tak kan menemukan
Merpati tuk membalas salamku

Tapi bukankah Shakespeare dan Hawa telah lama pergi?
tapi di sini aku masih termangu
Menunggu balasan sms darimu!

2006


Bsed on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Sajak Kekanak-Kanakan

Aku cinta damai
Tapi mereka tidak
Aku rindu damai
Namun mereka enggan
Aku haus damai
Sedang mereka benci
Lambat-lambat aku bahkan lupa
Damai pernah ada

2007

Setiap Bunga-bunga Gugur

Setiap bunga-bunga gugur
Berserak bangkai-bangkai
Tak termakamkan
Kisah-kisah anggun
Tak terungsikan
Badai-badai pasti menggelinding
Menyapu cerita airmata
Namun rindu yang terselip akan terbang
Membawa hantu-hantu
Yang lupa terbantai

2007

Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Air Mata Tuhan

Air mataTuhan mendidih
Lalu jatuh ke Bumi
Karena kompor bermerek dosa

Hati Tuhan tercabik
Darahnya membalut pertiwi
Oleh belati berukirkan dengki

Sabar Tuhan berhenti
Teriris angkuh yang enggan menepi
Menggeleparkan tsunami

Indonesia menangis
Di Natal sedih
Saat Aceh merintih
Karena jiwa-jiwa pergi
Tanpa sempat pamit

Kantong-kantong amal bernyanyi
Mengemis perih
Sayang nyawa tak bisa dibeli

Desember 2004


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

With Brother Sister

Kenangan pentas jalanan Teater Kronis, 2002

With Nano Riantiarno, Peksiminas Jambi 2008

Semua Tangisan

Di sini semua tangisan berkumpul
Tangisan kematian, tangisan kesunyian
Atau apalah nama tangis yang bersandar
Sepi, kabut, bisik-bisik, lalu gelap
Derap langkah berbunyi, lalu tua beriak-riak datar
Semua hati mengenang
Semua hati ingin membuang
Sekat gerigi tak mau lepas
Gesekannya pelan nan menyayat pekat
Birahi menggelincir dipeluh lelah
Siang-siang begini bulu-bulu beraksi ?
Nyanyian tubuh masih memanas, putih, lalu kelabu
Aku atau hati hati yang lain terkapar karang
Ingin pulang melepas malang
Kala belati semakin curam
Doa-doa tersungut entah kemana
Arah-arah culas enggan menabrak takdir

2004


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Rahasia Alam Biru

Aku terbit di alam biru
saat naluri mengunyah raga
Cinta berbondong memekik bising
di kesunyian selinting chimeng
Ada parauku yang bertahta di lorong itu
Wanita, irama dusta
Dicambukku terkapar mengemis
bayangan lalu
Rahasia t’lah muntah
memang seharusnya
Namun hanya gemeretak hujan
dan sebotol dry gin
yang bersaksi
Setiap hati lemah tak pasti

2003


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Sketpro Siang Bolong

Lagi...
Leraian menit tersembelih...
Pujangga, sungguh kaupun tak sanggup
Menyajakkan senyuman tadi

September 2005


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Yang Terlupa

Andai hati bisa dicumbu
telanjang mata
Kau yang tercantik
di dunia...

September 2005


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Khianati Saja

Jika benar aku mimpi indahmu
mengapa malam itu kita terbungkus batu?
Aku termangu oleh lidah beku
dan lirikan bulan
semakin membikin waktu kian lusuh

Pelatuk mana bisa meruntuh asa kelam
dari sulaman sejarah yang mengacum
deretan aksara berdarah

Kedua hati kita di antaranya

Begini saja,
khianati tautan senyum sore itu
agar bibir kita masih setia
merindu..

September 2005


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Bukan Pertemuan Romantis

(yang sebentar singgah)

Pada akhirnya,
Aku tak bisa berkata apa-apa

Juli 2006


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Sajak Lima Detik Saja

Sedetik lewat
Nafasku tertelan
Karam di tepi kesumat
Oleh binal kilau matamu

Dua detik lewat
Darahku mendesah
Mengalir tak tentu
Di pelupuk kutub auramu

Tiga detik lewat
Nafsuku terkapar
Tergelincuh malu
Di gerbang daun bibirmu

Empat detik lewat
Hasratku lelah
membujur lemah
teriris sabar yang angkuh

Lima detik lewat
Makiku membelandang
Diinjak tawar senyummu

2005

Tambio

Tambio di tepi jalan
Rekah dikibas asap knalpot
Matanya meliuk-liuk
bagai petir terjuntai menggosok jantung
o,ya, gayanya itu Sob,
jentikkan nafas-nafas liar yang gatal
menyeret Manado di ujung lelah
Tambio di tepi jalan
gesit mencari ayah
dan airmata yang dikandungnya
gundukan asa terendam lemong ikang

Tambio di atas mimbar
Merengkuh sepi dengan kata
Lidahnya melambai nakal
Sengatan bisa 24 karat
Lagaknya Sob, lagaknya itu
Gelitikkan jiwa-jiwa lapar
yang tlah beruban karena lupa
Tambio di atas mimbar
Merakit kebenaran
Kancing-kancing misteri yang tanggal
Lesat dalam dosa dan sia-sia

Tambio di dalam kantor
mengucap selamat pagi
angin hitam melenggok di kantongnya
lolongan anjing-anjing lapar
Tiada dirasa jeritan lambung yang sepi
mengendus di atas tanah yang tak dicintainya
Tambio di dalam kantor
Tusuk kerut menembus dada
Dan selusin liang mayat
Menjalar dari pantatnya

Tambio Sob, tambio!
Tambio di mana-mana!

Juli 2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Air Seni Peradaban

Tinta hitam yang tersaruk di pena mungilku
Tak bertaring ganas serigala
Melahap daging bisu
Dengan dendam pahlawan kesiangan

Ia bukan pelarian semu
Ketakberdayaan batin
Terjerambab undian pilu
Bukan pula sianida yang mampu
Melumpuh hama-hama berdasi
Di tepi linau keringat buruh

Ia adalah gumpalan nanah
Dari serpihan cermin carut-marut sejarah
Tetesan liur senyum manis
Sang perindu subuh
Yang merembesi nafas hijau
Dengan peluh lelah

Ia bukan menulis bara
Hanya menjahit sandal yang terputus
Untuk anak cucu

Tinta hitam yang tersaruk di pena mungilku
Adalah air seni peradaban

2005


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Cinta Adalah Masalah Lebih Dulu

Aku mencintaimu
Karena aku lebih dulu mengenalmu
Dan,
Terkuburlah perempuan-perempuan itu

2007


Based On: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Angkuh

Sombongkah decit mimpi
yang kuselip di sela pintu
peraduan kelopak wangimu
hingga setapak-setapak sesat
yang menggaris langit nafaspun
hilang nyawa

Sebilah pedang telah berlayar
mengepak gunung-gunung liar
dengan setandus senyum
atau dengus kata-kata gemulai

Namun gunung tetaplah gunung
hanya meletus oleh lambung yang kembung
Meski ajal bersabda
pada pucuk pena Majnun

November 2005


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Rumahku

Di sini dawai-dawai pernah terpetik
Dalam simfoni kasih sayang yang meleguh
Sungai-sungai yang selalu biru
Di atas ucap dan kilau mata ibu

Di sini senja tak pernah khianat
Manis rindu seikat hasrat
Memang janji-janji terkadang laknat

Di sini kepalsuan kerap melabuhkanku
Ke tepi pulau tanpa lagu syahdu
Jenggot ayah yang jatuh di dahiku
Lelahkan syair-syair kalbu

Di sini kini tinggalah begini
mentari datang dan pergi
serupa embun yang menggandeng sepiku

2005


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Atap Sunyi Temboan

Aku ingin punya jam sendiri
yang jarumnya tak berdetak sesuka hati
sebab langkah waktu hanyalah bintik jerawat
saat wajah hati menebar pesona semi

Puing-puing temaram batas senja
mendiami serabut indera
melahapnya di penghujung bilur-bilur mimpi

Aku ingat buah pelir yang tersesat
di antara jeruji nurani
saat Klabat menancap dengan keangkuhan

Dua buah menara itu terlalu kering
untuk membasuh punggung langit
Kalau saja jemari mu di sini
biskuit itu tak kan segetir biji duku

Sementara senyum Tuhan tak lekang menari
di bilik-bilik ratap awan
Danau Tondano dalam sipu
Meretas masa lalu
Menjangkau nama-nama bisu
Atau asa yang melepuh

Tanah-tanah tak lagi sepi
berseri di kaki rerumputan bening
meski urat nadi meronta
pada pesisir keriput pemuja lelah
Dan mentari meninggi
Ujarnya romantis,
Jangan pergi!
Senyum tanggal, tapi aku tetap berpaling

Di atap sunyi Temboan
Waktuku tak bernyawa lagi

Oktober 2005


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Bayang Sesat

Pada malam tanpa bintang ini
harusnya aku tak ingat lagi belaian lidahmu
karena kedua bibirku tak lagi basah
oleh hasutan lamunan sepi

Namun angin enggan juga candai leraian detik
degup jam geram bisu
Benak tak kunjung lelah
jilati sekujur mimpi yang mengerang
di ambang pintu

Aku tersesat,.
bulan dan mentari berganti
sepolos runtuhan cemara di putik semi
dan semesta tak pernah peduli

Tak perlu cumbui hati
bila kelak kau hempas di penghujung hari
Bagai merpati,
kau tak pandai bertengger
di tebing hati

September 2005



Bebal

Kulukis
Siluet empedu
Di jantungmu
Kau tersenyum
Aku tertawa

31 Januari 2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Bangunlah Kekasih

Bangunlah kekasih
kukayuh doaku mencampakkan
pulas mimpimu
dan ladang-ladang tandus
mengapung di pucuk jemariku

Irislah kematian dalam benak
Hamili nafasku yang papa
Dan langit itu
di mana kau mengukir mimpi
kan terbit seuntai senyum putih
dalam alunan orkestra rindu

Bangunlah, jangan sayapmu patah
Di atas ranjang pengantin
Aku setia menunggu
Bila mungkin
Bibirmu tersingkap
meleburkan
bintang jatuh

Juli 2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Sajak Aku Dan Tetangga

Di depan rumah
Cuaca bercanda kasih
Kenapa hanya gitar saja yang mengalun?
Ke mana terbangnya hatiku?
Lalu kau tersenyum
Aku juga tersenyum
Namun kita sama-sama terbunuh
Karena tak tahu
Bagaimana harus memulai

2007


Based on: Kumpulan Puisi "jangan Malu Pada Sepi"

Pulau Cahaya

Di mana dia?
Pulau cahaya
yang sempat kucumbu
di tepian remah-remah malam
oleh persinggahan terakhir
nadiku menggigil dalam letih

Barangkali di sana ada tempat berlabuh?
yang lembayung dan awan
menari di atapnya
dan tak ada ombak
berdetak membawa badai

Kembara mimpi menitikkan dermaga yang ratap
Di jantungnya renyai batin
tetaskan birahi yang menyulut
getar risau masa silam
kapal pun siap berlayar
bila sesekali musim airmata menjemput

Mekarlah rerumput hijau
nyanyikan sebait pelangi
untuk mereka yang menaruh sajak
pada wangi ketulusan
sebab tiada lagi yang mendengar
selain kata-kata
Apakah jawab yang kita tunggu?
Atau serakan asa yang terbentur mimpi?

Mekarlah semua senyum
Meski musim selalu getir
Leburlah semua tangisan
Mungkin pulau itu muara terakhir

2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Balada Kuat Lemah

Saat manusia kuat menipu manusia lemah
kebisuanlah yang menggema
Saat manusia lemah mencoba menipu balik
senapanlah yang menggema
Kalau keduanya mencoba saling menipu?
Hm...
Sepertinya kau dapat ide lagi Komeng!!

2004

Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Yang Sisa

Ketika bulan menjadi kemarin
Ketika denyut hati menjadi dulu
Ketika rindu diganyang filsuf
Ketika perempuan tetaplah perempuan
Ketika,.......
..................
Aku lupa
Ketika diaryku
Sepi namamu

31 Januari 2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Episode

Ada bibirmu yang menggenang
Saat peluhku disenggama angin
Aroma yang meretak jantung
Memar dalam resah isyarat
Kau pun kukulum dengan tangisan

Belantara kesedihan yang rinai
Membaca perjalanan kita
Seperti enggan menimba kematian
Hanya mengintai, dan mengintai

Aku berkaca, terus berkaca
Sebelum cermin meledakkan perpisahan
Dan gelisahku tak jua sampai di usiamu

Lalu bumi mengalir mundur
Kita pun sama-sama lugu menghafal jejak
Belajar mendendangkan makian
dan lagu gurun, belajar mencintai luka-luka
bila peperangan melesat tak akan aku menyerah
sebab penantianku terlanjur menciumi darah
dan kisah-kisah tak lagi membunga

Tapi kita memang mesti pasrah menjinjing kekalahan
menyaksikan takdir mencabik warna-warna
hingga kita pun tahu, aroma kematian yang sebenarnya

2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Tak Sama

Dalam titian
udara tiba-tiba menjingga
kembali berkecipak oleh suara dinding
yang mengerut
Sepi menoleh,
Rupanya dinding hati

Jangan kirimkan kata
apalagi janji
karena dunia t’lah terkubur olehnya

Kirimkanlah sunset yang melembayung ungu
dalam palungan sunyimu
ataukah secercah ingatan
tlah menggetarkan deru nadimu?

Memang rindu tak pernah layu
namun zaman harus luruh
dan semua rasa kan terkubur
Tapi aku masih kerap terantuk
pada sebaris kata-kata
yang kau gerimiskan malam itu,
Matahari hari ini
tak pernah sama dengan kemarin

Januari 2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Perpisahan

Saat Desember terbenam
tengoklah jendela kamarmu
di sana tlah kulampirkan
sajak malam jingga
dan secangkir bir
yang melarutkan
kenangan kita

Saat embun baru merangkaki bumi
lihatlah jendela kamarmu
di sana seikat mawar terkapar letih
durinya menelurkan benih-benih
yang kan menyemai masa depan kita

Apa yang mungkin detik berikan?
Selain bayanganku yang beranjak tua
Dan penungguan yang kian berkarat

Tengoklah ke jendela
Jenguklah anak kita yang menangis
dalam jubah dendam
karena pintumu terlalu kejam
tuk menyambut nasibku

Juli 2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Aku Tak Membeli Langit

Aku tak membeli langit
agar ranum buahmu
merekah di mataku
Aku hanya mengikuti gerak waktu
Untuk mereguk setetes anggur
Dari bibirmu yang berlumut

Seikat janji tentang cinta
Terukir dalam nisan yang purba
Mengunci kehidupan dalam dekapan sepi
Seperti valentine kita
yang terbakar gemuruh kebencian
Dan daun-daun senantiasa
Bertebaran tanpa semi
nafas-nafas bertumbangan
tanpa restu nurani

Aku selalu gagal melukis air
di alismu
mungkin rindu hanya sebatas
hujan pagi hari

Cinta, kamuflase sepucuk letih
menuai kenangan
dan kembang basi

Sudahkah kau tahtai
dermaga hitam
yang melandai nakal
itu puteri?
Bintang-bintang mendesis,
hatimu seperti bayi
yang lupa dinamai

30 Januari 2007



Lagu Bunaken

Kekasih, semua orang mencintaimu
Semua mata meletakkan mimpi di wajahmu
Ketika nirwana menjauhi pandangan hati
Terurailah simfoni relung jiwa
Dari ranum tubuhmu
Rambutmu yang mekar
Mengayuh zaman yang selalu
Gagap mengeja cinta
Tapi apalah cinta dibanding dirimu?
Hanya sebilik ruang yang tak sanggup
Menyemai kebahagiaan
Kekasih, jangan kau menangis
Cukuplah kami yang menangis
biarkan luka di tubuhmu
menjadi goresan kenangan panjang yang rapuh
Tidurlah sayang, rebahkan pipimu di pundakku
Kusapu rambutmu sembari kau mencatat jejak
di dadaku
Taman yang lugu, bumi milikmu
Kecuplah, kecuplah gelisah hati kami
Jangan kau lelah mencumbu retina kami yang basah
Biarkan ia menetes, mempersunting darahmu
Yang tumpah
di sampul koran hari ini..

Kekasih, engkaulah bayi mungil
Yang tak dicintai bundamu


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

September

Sesuatu yang bukan biasa
menghamili detak pembuluh waktu
dan malam berkabut harap
semua tahu,
pagi tadi telah kucumbu secangkir kopi
sambil menahan punggung
pada dinding penungguan
mungkinkah kau tersenyum
atau mengucurkan titik darah
oleh belaian aksara lumpuh?
Kirimi aku surat yang baru
tanpa noda airmata
karena kota-kota bisu telah mekar
oleh api dendam
mungkinkah kau mawar yang setahun silam
kutanam di lembah sunyi tak bernama?
yang pasti wangi itu telah menelanjangi
kanvas hitam yang kupajang
dengan sentuhan sayang
dan malam ini,
kudapati namamu tertera di atasnya

24 September 2006


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Seperti Kupu-Kupu Dan Kekasihnya

Seperti kupu-kupu dan kekasihnya
Tuhan menyanyikan doa di atas bukit
dan mahkota durinya meneteskan puisi
Linangan rindu keabadian

Kidung-kidung memahat angkasa
letusan senyuman dandani biru lazuardi
antara darah dan udara
mengelucak sepi yang mendaki

Kepada waktu cinta mengelak dunia
Kepada hati lautan mengatasi jeda
Kepadamu airmtaNya tumpah

Angkatlah tarian kekasihku
kecuplah bilurku yang menggulirkan matahari
sebab liang kesunyian tlah sembunyikan rahimnya
untukmu yang mendambakan kepastian

Alangkah mesra hembusan nafas Tuhan
mengitari gemerisik pohon cemara
gemerlap hujan dibuai kedamaian

Alangkah hina decap hati manusia
Biaskan nista
Rampas lembar-lembar sejarah

Menangis sudah segala kemenangan
Ketika doa-doa layu di pembaringan
Terhanyut aksara diburu dendang
Yang tak santun mengumur cinta

Pada laut, tanah, dan udara
Setiap getar gelisah mengaduh
Untuk kesedihan dan sebuah tanya

Kenapa harus ada agama?
bila derai akhirnya cinta

Juli 2007


Perempuan

Perempuan
hanya puisi yang melamun
mendendang senja-senja
yang digadaikan maut

Seperti misteri musim salju
engkau,
hanya kemarau yang terlambat

Desahan terakhir
meringkuk dalam getir
selaknat mendung
di bibirmu

Semesta t’lah terjual
dalam birahi perempuan
sebagai mahkota
lautan dosa
Meski tangisan bersembunyi
di atap waktu
perempuan selalu takut berlayar
di kesunyian

Hanya keringat yang sama
peluh yang serupa
mengais jejak-jejak



Perempuan
mungkin kau tak pernah tahu
nuraniku jenuh
ziarahi gerbang vaginamu
yang pahit

30 Januari 2007

Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Dongeng Tua

Malaikat bersayap turun dari langit
menyaji sekuntum injil dan akad cinta
“Ini surat cinta terpanjang Tuhan yang paling romantis” ujarnya.
Bel berdentang mengiris kemarau
Sisa-sisa gemintang berjatuhan mewangi di atas bangkai
Malaikat kembali membawa salju dan sebaris pesan
“Surga tlah penuh, surga tlah penuh”
Manusia bersorak sorai
“Adakah nama kami di sana?”
Cuaca mendengkur, keringatnya melelehkan badai
Malaikat meniup tirai lautan
Dan sepasang cincinnya membuncah
Aku tlah bercerai, aku tlah bercerai, tolong..

Juli 2007


Based on: Kumpulan Puisi "Jangan Malu Pada Sepi"

Malam Minggu

MENJELANG subuh Amos melangkahkan kakinya untuk pulang. Noda kuning menempel pada baju putih yang baru dibelinya kemarin. Jalanan sudah sunyi. Hingga bunyi derap langkahnya bisa menerobos masuk ke dalam rumah orang. Wajahnya kusut. Sekusut rambutnya yang acak-acakkan. Tetapi perasaan hatinya tak sekalabu penampilan luar. Amos merasakan kegembiraan yang tak terukur. Sesekali ia tersenyum sendiri sambil menendang kaleng minuman di tengah jalan.
Pesta baru saja usai. Menikmati deru musik dugem di tengah gemerlap cahaya lampu bersama konco-konconya. Malam yang berseri nan mengesankan. Amos menengok isi dompetnya yang melompong, sambil berpikir bagaimana ia bisa kembali lagi ke sana.
Hari beranjak terang. Amos tersungkur letih pada sebuah kursi kayu depan rumahnya. Pikirannya ikut terbawa dengan suasana hati yang berbinar-binar. Ia bermimpi indah sebelum akhirnya dihentikan pukulan keras gagang sapu yang dihempaskan ayahnya. Amos terjaga dan untuk pertama kalinya terlambat memberi makan ternak yang telah sekian lama terbiasa dengan perlakuan manjanya.
Di luar kebiasaan hari itu wajah Amos berseri-seri. Semua pekerjaan yang dibebankan, ditunaikan dengan senyuman. Tidak ada nada sedih atau kata-kata keluh untuk menunda pekerjaan. Biasanya sang ayah memerlukan usaha ekstra keras dan kejam untuk mendisiplinkannya melakukan kewajiban. Kali ini tidak. Semua berjalan mulus dan seisi rumah ikut tersenyum juga. Di luar perkiraan, Jam dua belas siang Amos sudah rampung dengan kewajiban yang dibebankan. Waktu lowongpun menjadi lebih longgar. Ia lalu melancong ke rumah Ivan, karib kental sepenanggungan.
“Minggu depan torang kasana ulang ne chiks?
Karib dekatnya itu tersenyum simpul. ”sabar sob. Nongkrong di tampa bagitu perlu banya pluru wan”
“So itu mulai skarang torang musti rajin batabung. Anak muda rupa torang musti tahu gaya hidup modern sob. Ngana nimau dorang bilang kurang gaul to?”
Ivan tersenyum lagi. Menyadari sohib dekatnya tengah demam gaul, dan Amos pun telah mendeklarasikan Sabtu malam sebagai malam paling istimewa baginya. Menumbangkan keistimewaan malam tahun baru bahkan malam hari ulang tahunnya sendiri. Tak ada lagi dalam kamus berdiam-diam diri di rumah saat akhir pekan. Pokoknya ia harus ke tempat dugem. Dengan usaha apapun itu. Sudah tiga tahun ia pensiun dari status sebagai anak sekolah tingkat atas. Walau berpenghasilan di bawah rata-rata, sebetulnya kedua orangtuanya masih sanggup menebus kebutuhan-kebutuhan sekolah. Namun Amos lebih sering mampir ke tempat nongkrong daripada memanfaatkan peluang ini. Mereka memberhentikannya karena merasa penggodokan secara akademik merupakan metode yang kurang efektif bagi Amos. Sejak itu dirinya mempunyai satu kebiasaan primer yang rutin dijalani, nongkrong bersama “pengacara” alias para pengangguran banyak acara di gang. Berceloteh tanpa makna, bersenggang ria tanpa jeda, berhuangango tanpa lelah.
Meski ia juga tak lupa dengan kewajibannya sebagai seorang anak, sesekali membantu orang tua yang hanya menggantung hidup dengan usaha tak tetap. Ayahnya seorang buruh bangunan. Bekerja jika ada proyek yang kebetulan ditawarkan. Ibunya tidak jauh lebih baik dari itu, bertahun-tahun menjadi guru, profesi yang kelayakan penghasilannya masih terus diperjuangkan sampai sekarang. Amos adalah putra semata wayang hasil buah kasih mereka.
Jam dua belas malam seisi rumah sudah tenggelam dengan dengkuran masing-masing. Amos menghidupkan sebatang rokok sembari merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Isi kepalanya tengah bergerak kesana-kemari menyiasati bagaimana supaya akhir pekan nanti ia bisa menggaet cukup uang. Hasil tabungan selama beberapa bulan sudah habis hari sabtu kemarin.
Besok paginya ia mengkonsultasikan problem ini dengan ayahnya.
“Kita so beking keputusan mo cari penghasilan sandiri Pa. Kita nimau sepanjang hidop kurang bagantong trus pa ngoni” Tutur Amos simpatik. Sang ayah yang jarang sekali mendengar inisiatif dari Amos, tertegun. Ia memalingkan wajah sambil menatap putra tunggalnya penuh haru.
“Kalu ngana mau, ngana boleh bantu bantu pa Papa pe proyek di rumah sablah. Lumayan, satu hari ja dapa sampe dua puluh lima ribu”
“Asal nya baganggu kita pe karja di rumah no Pa”
Mulai hari itu Amos lebih lagi menaikkan semangatnya, dari semangat 45 menjadi 46. Secara gamblang bisa dibilang ia berubah drastis menjadi sosok pekerja keras. Dari pagi hingga sore keringatnya tak henti bercucuran mengangkat bahan-bahan berat. Kawan-kawan sekonconya yang memantau perubahan pada diri Amos kontan merasa kehilangan. Sohib kental kita berubah. Pikir mereka.
Seperti biasa pada akhir pekan Amos kembali bisa membusungkan dada. Hasil tabungannya selama sepekan cukup memuaskan. Ia merapikan diri di depan cermin. Menyisir rambut hitamnya bergaya klimis. Merasa sudah cukup fasung Amos bergegas menemui Ivan yang sudah sepuluh menit menunggu di depan rumah. Keduanya telah siap sedia menikmati pesta yang dinanti-nanti.
Di dalam pub kedua pria berpakaian stylis itu duduk sambil memangku kakinya. Dengan isyarat kecil Amos memesan bir. Tidak lama kemudian seorang pelayan wanita datang membawa minuman.
“Ngana boleh pesan minuman sampe puas. Pokoknya ini malam torang dua minum sampe mati” ujarnya sambil tersenyum bangga.
Setelah empat jam Amos tetap antusias menikmati setiap hiburan di klub malam itu. Tubuhnya meliuk-liuk tanpa pola yang jelas. Sementara Ivan sudah terkulai lemah di tempat duduk. Beberapa pengunjung lain yang sudah sama-sama mabuk mengajaknya menari. Amos tak pernah bosan meladeni. Ia berlari, mengelilingi seluruh penjuru pub dengan semangat yang kian memuncak.
Hari sudah terang ia tiba di rumah. Hatinya merasakan kepuasan yang sama. Ia terlelap lagi di kursi depan dengan wajah tersenyum. Ayahnya mulai merasakan perubahan terjadi pada diri Amos. Kemana saja ia setiap malam minggu?. Selain itu ia mulai bertanya-tanya kemana perginya uang hasil pekerjaannya selama ini?. Tapi sang ayah memutuskan tidak terlalu membatasi dan menanyakan hal itu padanya.
Beberapa minggu lewat proyek yang dijalankan ayahnya selesai. Siang itu sekumpulan anak-anak muda patah pinsil di sekitar gang sedang keasyikan duduk-duduk sambil ngobrol di warung tempat bagate. Berbagai jenis obrolan dibahas hangat bibir-bibir yang enggan berhenti bakarlota. Mulai pergunjingan mengenai sepakbola sampai saling unjuk gigi masalah perempuan. Atau ada juga yang menggebu-gebu membicarakan masa lalunya sebagai preman kelas kakap.
Amos duduk pada pojok paling kiri kursi panjang di warung. Raut mukanya tampak memelas. Gelas demi gelas Captikus mengalir terus di tenggorokannya. Keributan di warung sedikitpun tak mencuri perhatiannya.
“Murung-murung ini Sob?, santai kwa, samua da sanang-sanang Cuma ngana yang melamun” sapa Ivan mencoba menghibur kawan baiknya.
“Skarang atik so nintau bagimana mo dapa doi sandiri”
“Jang talalu pikir-pikir masalah tu dia, tetap musti ada jalang, oi to? Kalu ngana mau torang dua baku tamba doi kong sabantar manyabung ayang di kampung sablah, sapa tau mujur depe untung basar Chiks”
“Mar atik pe pluru kurang dua puluh ini”
“Sudah, gampang mo stel tu dia”
Amos dan Ivan meninggalkan warung, mencoba mengadu keburuntungan di tempat adu ayam. Setelah memasang taruhan pertama terlihat sedikit titik terang, ayam taruhan mereka melibas lawannya tanpa ampun. Merasa di atas angin Amos tak sungkan-sungkan mengucurkan sisa uangnya terus. Dan lagi-lagi si jago mereka menumbangkan lawannya. Modal yang mereka kucurkan menjadi berlipat-lipat jumlahnya. Amos sumringah. Sepertinya malam minggu besok ia bisa ke tempat dugem lagi. Namun, beberapa menit kemudian ia harus membuang jauh-jauh angan yang menguak. Sejumlah petugas berseragam secepat angin menggerebek tempat itu. Barangkali karena sedang terbuai dengan keuntungan yang baru diraup, Amos tidak cukup sigap untuk meloloskan diri. Sementara Ivan dan tukang judi lainnya sudah kabur dengan kecepatan maksimal. Amos dan beberapa orang yang kurang beruntung lainnya ditahan petugas. Mereka dikurung sementara di sel tahanan kepolisian setelah memperoleh pembinaan kejam oleh petugas yang haus menganiaya. Garis-garis wajah Amos yang sebelumnya enak dipandang kini dihuni gumpalan-gumpalan memar.
Di dalam sel yang lembab Amos tak tahan menahan sedih. Hatinya dirundung perasaan bersalah yang hebat. Ia tak henti membayangkan kekhawatiran yang sedang melanda orangtuanya di rumah. Rasa sepi ikut-ikutan membuatnya tambah stres. Setiap menit ia tak henti-hentinya berdoa. Meminta perlindungan dari Tuhan.
Keesokan pagi Amos merasakan tubuhnya semakin melemah. Ia tak sanggup lagi menggerakan tangan dan kaki. Terasa ada benda-benda kecil yang menggeliat di dalam otot-ototnya. Tak lama kemudian kedua orang tuanya datang. Berita musibah yang menimpa anak mereka terendus dari mulut Ivan tadi malam. Amos seperti tak mampu lagi menatap wajah mereka. Rasa malu benar-benar membuatnya ciut.
Meski sedikit marah, sang ayah tetap memperlakukannya dengan bijaksana. Kemarahan mereka dikalahkan oleh rasa prihatin dengan keadaan si buah hati. Kesehatannya memburuk drastis. Melalui sedikit pembicaraan dengan petugas yang disertai sejumlah uang sogokan, akhirnya Amos diizinkan dirawat di rumah sakit.
Dokter yang kelihatannya ramah itu memutuskan Amos harus dirawat selama beberapa hari. Kondisinya tak memungkinkan untuk menjalani rawat jalan.
“Bapak pe anak talalu lalah. Itu yang beking dia pe badang gampang diserang panyaki” kata dokter itu menjelaskan keadaan Amos.
Meski menanggung rasa tidak enak, ketika sedang sakit Amos mensyukuri banyak hal. Dalam kondisi tak berdaya ia diperlakukan istimewa. Ayah dan ibunya melipatgandakan perhatian dan kasih sayang yang biasa ia kecap hari-hari sebelumnya. Ia diperlakukan layaknya anak kecil. Segala keinginan yang mustahil diperoleh sehari-hari, bukan tidak mungkin digenggamnya kali ini. Maka bukan hal aneh bila kamar tempat ia dirawat kini dipenuhi bermacam benda serta makanan kegemaran Amos.
Sore itu seorang dokter cantik datang memeriksa perkembangan kondisinya.
“Bagimana kita pe kondisi skarang Dok?” Tanya Amos pada dokter.
“Ngana masih perlu banya istirahat. Mungkin sekitar satu minggu le baru boleh pulang”. Jawab dokter sambil tersenyum manis. “Kong kiapa dang ngana boleh dapa saki bagini, talalu banya bapontar kang?” lanjut dokter masih sambil tersenyum.
“Samua memang kita pe salah no Dok, kita talalu forser mo berusaha supaya boleh mo dapa doi sandiri”
“Artinya mo coba mandiri dang, bagus no kalu bagitu”
“Cuma kita so beking orangtua susah. Kong doi yang kita dapa nya pernah kita kase pa dorang, ini yang beking kita rasa bersalah”
“Ngana ja pake for apa so tu doi?”
“Itu no, kita Cuma pake bajalang deng tamang-tamang”
“So itu mulai skarang pergunakan bae-bae ngana pe doi for hal-hal yang berguna”
“Memang samua musti bagini dulu Dok, Tuhan kase hukuman supaya torang jadi sadar deng tu kesalahan”
“Awas jang Cuma sampe di mulu ne?” Ujar dokter sembari melangkah keluar dari kamar itu. Tapi sebelum dokter melewati pintu, Amos buru-buru berteriak, “Boleh mo tanya Dok?”
Dokter kaget lalu memalingkan wajahnya ke belakang, “mo tanya apa?”
“Skarang hari apa kang Dok?”
Dengan sigap dokter itu meraih agenda kecil di kantong bajunya, “em.. hari Sabtu”
Tiba-tiba Amos bangkit dari tempat tidurnya. “hari Sabtu Dok?, cilaka, butul hari Sabtu Dok?” Tanyanya lagi seperti tak percaya.
“Memangnya kiapa kalu hari Sabtu?”
“Dok,....ini malam kita musti kaluar dari sini Dok!”
“So mo kaluar?, blum boleh, ngana blum boleh ka mana-mana”
“Tolong Dok, Cuma ini malam jo, beso’ pagi nanti kita bale ulang ka mari” Bujuknya dengan wajah permohonan.
“Pokoknya nimbole” Bentak dokter yang mulai beranjak marah. Amos tetap tidak ambil peduli. Ia bersikeras mau keluar rumah sakit malam itu juga. Sambil menangis Amos terus berteriak tiada henti, “Dok... kase kaluar kita dari sini!”.


Based On: Kumpulan Cerpen "He..Leh!?"

Awan Hitam Perlahan Berpendar

DI balik kaca gelap Honda CRV mengkilat Kaping bertanya pada lelaki berwibawa di sebelahnya, “Mengapa orang bisa menjadi gila Pa?”
Laki-laki berpakaian parlente yang sebelumnya hanya mengemudi sambil diam itu, sesaat menghentikan lamunan.
“Mengapa orang bisa gila Pa?” tanya Kaping lagi dengan polos.
Ayahnya tetap diam lantas mengeraskan volume radio yang sedang menyodorkan lagu-lagu top forty.
Kaping memalingkan wajahnya ke depan. Ia kembali melamun. Memikirkan lagi seorang pria tua yang sering mondar-mandir di depan sekolahnya setiap hari. Kembali lagi bergelut dengan sederet pertanyaan yang telah mengoyak-ngoyak pikirannya belakangan ini. “Bagaimana kalau seandainya dia itu ayahku?”, “bagaimana pula bila seandainya aku seperti itu kelak?”, “Atau misalkan ia ternyata adalah kakak kandung wali kelasku yang sering dibicarakan hilang setelah pergi ke luar kota”, “mungkin juga ia seorang prajurit kemerdekaan di masa perang dulu”
“Mau makan siang di mana?” Pertanyaan ayah membuat lamunannya terputus.
“Di rumah saja. Sekalian mau langsung istirahat”
Sesampai di rumah dua orang pembantu yang pendiam sudah menyiapkan berbagai jenis menu makan siang setaraf restoran mahal. Kaping duduk berhadapan dengan ayah bunda, mengunyah beberapa sendok nasi sambil menyimak sepasang lidah yang tengah berkutat dengan dunianya. Bisnis, arisan, dst..dst..
“Aku mengantuk, mau tidur siang dulu Ma”
“Jangan lupa jam tiga guru les bahasa kamu datang”
“Hm..”
Kaping menghamburkan tubuhnya di tempat tidur. Bantal guling dipeluknya erat-erat, laksana anak ayam yang menelusup ke dalam sayap induknya. Ruangan yang sejuk membuatnya segera terlelap.
“Teng tong”. Pembantu berlari kecil-kecil dari dapur ke pintu depan. Guru les berkaca mata menyambutnya dengan sunggingan khas. Sambil separuh merunduk ia mempersilahkannya masuk menunggu di ruang belajar.
“Ping, Ping, bangun Ping” bantal guling digerakkan pelan-pelan. Pembantu yang cukup santun itu tentu khawatir pengalaman buruk menerima tendangan nyasar setiap kali membangunkan si bos cilik kembali terulang.
“Memangnya jam berapa?, aku masih ngantuk”
“Nanti Bapak marah, gurunya sudah datang”
Dengan penuh keterpaksaan Kaping berusaha meregangkan otot-ototnya dan menguap panjang. “Iya aku ganti baju dulu”.
Setelah puas menatap senyum manis guru privat bahasa asing selama sejam penuh, Kaping bergegas ke ruangan tempat ia menonton televisi. Serial kartun favoritnya sedang memasuki episode tegang-tegangnya. Matanya tak menoleh kemana-mana. Duduk terlentang sembari mencicipi es krim Vanila di tangan kanannya. Meski kedua mata tampak sayu, Kaping tetap berusaha bertahan mengikuti perjalanan tokoh kartun favoritnya.
“Ping, papa kamu sudah menunggu di lapangan bulutangkis” tukang kebun memberi tahu. Ia berdiri dan pergi mengganti pakaian di kamar. Lantas menuju ke halaman samping rumah.
“Ayo Ping, yang bagus mainnya” sang ayah memberi semangat sembari tertawa. “pukul bolanya yang keras dong” sambung ibunya dari pinggir lapangan. Keringatnya bercucuran. Kaping tampak lelah. Wajahnya pucat karena kurang tidur. Toh ia masih tetap terus bermain dan tetap setia memasang wajah gembira.
Sehabis mandi, ia berbaring di atas tempat tidur tanpa memejamkan mata beningnya. Benaknya kembali diganggu oleh bayangan tentang pria tak lazim itu. Bagaimana mungkin orang bisa bertahan hidup dengan mengandalkan makanan yang dipungut dari jalanan selama berpuluh-puluh tahun?. Informasi yang ia dapatkan, kakek Topo telah berkeliaran di sekitar sekolah sejak orang tuanya masih kanak-kanak. Bukankah itu sekitar dua puluh tahun yang lalu?. Hidup di lingkungan hedonis membuat Kaping tetap tak habis pikir dengan kenyataan yang tengah menarik ulur isi otaknya. Ia juga berpikir apakah ada persoalan hidup yang begitu berat sampai-sampai membuat orang hilang kewarasannya. Seberat apakah beban kakek Topo? ia tercenung dan kembali melamun. Setelah tak sanggup menafsirkan, ia berdiri lalu menyorotkan pandangan pada deretan mainan koleksinya yang bertumpuk-tumpuk di sudut kamar. Matanya tertuju pada sebuah mobil remote control mahal pemberian salah satu rekan bisnis ayahnya pada perayaan ulang tahunnya beberapa minggu lalu. Ia meraih remote control itu lalu mengendalikan, hingga mobil itu mondar-mandir di setiap sudut-sudut kamar. Seketika tubuhnya terdiam. Sepenggal kecurigaan mendadak tumbuh dalam benaknya. Bukankah mobil ini tak lebih sama denganku? kalau saja ia benda hidup tentu ia pasti marah dikendalikan sesuka hati oleh pemiliknya. Aku memainkannya kesana-kemari di tempat yang mungkin saja tidak disenanginya. Sekitar sepuluh detik ia terdiam lagi. Memang tak ada bedanya. Ayah ibu mengatur secara utuh setiap gerak-gerikku setiap hari. Rasanya tak ada satupun yang luput. Semuanya atas persetujuan mereka, keluhnya dalam hati. Sesaat Kaping terngiang lagi dengan si kakek. Haruskah aku iri dengan kakek Topo? Ia bebas kemanapun sesuka hati, ia bebas melakukan apapun yang ia suka. Sementara aku, terkurung entah sampai kapan di penjara mewah ini. Kaping menghela nafasnya dalam-dalam. Aku ingin bebas, bisiknya.
Kali ini mata beningnya terpejam seiring malam yang kian menua.
Tepat pukul lima selepas subuh, Kaping sudah terjaga karena paksaan dua orang pembantu untuk menyiapkan diri ke sekolah. Segala sesuatu telah beres dan ia tinggal membawa diri pergi beraktifitas tepat sejam kemudian. Enam jam berikut supir keluarga bergegas menjemputnya di depan sekolah. Kaping biasanya menunggu sendiri di warung kecil pinggir jalan. Pak Abu sang pemilik warung sudah tidak asing lagi dengan si bocah. Segelas teh dingin biasanya langsung disuguhkan secara gratis untuk kawan kecilnya. Mereka bercakap-cakap layaknya kawan lama yang sedang berbagi cerita. Tanpa batasan apa-apa, tanpa peduli tiga puluh tahun perbedaan usia, tanpa memikirkan kesenjangan ekonomi, tanpa mengacuhkan waktu.
Konon, karena saking doyannya menghabiskan waktu di warung pak Abu, si supir yang menjemput merasa kesal minta ampun. Namun apa daya bila sang bos masih ingin berlama-lama. Menjelang sore, barulah si sopir merasa lega karena Kaping sudah berniat kembali ke rumah.
Pak Abu tersenyum kecil. Gigi kuningnya memancarkan rasa tahu akan kecerdasan bocah kecil yang sedang bercerita di sampingnya ini.
“Om tak tahu banyak, hanya saja pria itu sudah lama sekali berkeliaran disini. Meski kurang waras, ia tak pernah melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Mungkin ia orang gila paling pendiam yang pernah om tahu”
Kaping manggut-manggut.
“Apa kakek Topo punya keluarga?”
“Om juga tak tahu mengenai asal-usulnya”
“Di mana tempat biasanya kakek Topo jalan-jalan sore begini om?”
“Setelah suasana sekitar sekolah mulai sepi, setahu om, biasanya kakek Topo sering mangkal sekitar depan Mall”
Kaping bergegas menyerupai musang kecil mengayunkan langkah pendeknya. Supir yang menunggunya, sudah terlelap sejak dua jam yang lalu ditemani udara AC lantaran keenakan berbaring di kursi depan mobil. Ia berlari dan merasa kedua kakinya melepas ringan di udara, Tubuhnya melayang-layang di tengah keramaian kota. Orang-orang berhamburan sana-sini. Rantai-rantai yang selama ini membelenggu seperti tanggal. Sementara matanya terus menelusuri sosok yang dicari-cari. Sebentar-sebentar Kaping menghentikan langkah sebelum menentukan lokasi pencarian berikut. Satu dua letak pusat keramaian ia singgahi. Biru langit merekah mulai menenggelam, berganti kawanan awan yang beranjak menghitam, dan sore mencapai klimaks. Aktor-aktor panggung kota berbondong-bondong menyerobot tempat berteduh, Sebelum deras hujan menggapai tanah. Kaping mendengus, jas hujan yang tak luput menyertainya setiap hari, masih berdiam di belakang jok mobil. Ia menggigil kedinginan karena sekujur tubuh terimbas air menembus seragam sekolahnya. Kaping memikirkan orang tuanya yang mungkin khawatir karena ia belum juga menginjak lantai rumah sampai sesore ini. Sesaat ia membuang jauh anggapan itu. Terlalu dini bagi papa untuk tiba di rumah sekarang. Mama apalagi. Ia masih setia mengawasi minimarket hingga tutup jam delapan nanti.
“Supir. Ya. Mungkin saja pak Eswin menelepon orang tuanya. Huh,.. mudah-mudahan si pemalas itu masih juga terlelap hujan-hujan begini.”gumamnya.
Ini mungkin aksi nekat pertama yang ia lakukan, Masih berada di luar rumah saat sore telah meraja. Anehnya, tak ada perasaan takut sedikitpun yang menyelinap di hatinya. Saat ini, saat air menyisir miring di udara, di samping bangunan ini, hanya ketenangan yang ia rasakan.

*
Rasanya hatiku gembira saat ini. Akhirnya hujan turun juga setelah hampir setahun, ya, mungkin setahun, Atau entahlah, waktu semakin mengabur untukku, kemarau menghampar angkuh di atas kota ini.
Mungkin asyik juga mandi hujan. Aku lupa kapan terakhir kali merasakan nikmatnya mandi. Ah, rasanya sama saja. Tubuhku tetap terasa nyaman tanpa jamahan air. Lagi pula, mandi hanya menghapuskan kotoran yang sekian lama menjadi sahabat kulitku.
Tapi aku kesal pada langit hari ini. Ia curang. Ia tak memberi tahuku kalau akan menurunkan hujan. Kalau ia memberi tahu, aku bisa mengumpulkan sisa-sisa makanan sebanyak mungkin. Hujan-hujan begini paling asyik makan banyak.
Tapi entahlah, akhir-akhir ini, orang-orang mulai enggan membuang makanannya. Kalau mereka bosan, mereka menyimpannya di rumah untuk dimakan lagi. Pasti begitu. Mereka semakin pelit. Mereka sama saja dengan istriku dulu. Ia perempuan terpelit yang pernah kukenal. Ia melarangku jalan-jalan mencari ketenangan, ia melarangku dekat dengan perempuan lain. Bahkan, ia melarangku bermain-main dengan anakku sendiri. Aku kesal setengah mati karena itu. Makanya kepalanya kubenturkan ke tembok untuk melampiaskan kekesalanku. Ia tak lagi cerewet sejak saat itu.
Tapi kesedihanku belum juga berakhir. Anak-anakku mulai menjauhiku. Mereka membenciku setengah mati. Padahal semua orang tahu aku sangat mencintai mereka. Sekarang, tak ada apapun yang kurasakan selain kebebasan. Tidak ada lagi belenggu yang menyebalkan. Orang-orang banyak membiarkanku jalan-jalan keseluruh penjuru kota. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari semua ini.
Aku gemar main-main depan sekolah, memergoki anak-anak SD bermain dengan keceriaan. Itu mengingatkanku dengan putra bungsuku dulu. Selesai sekolah, aku datang menjemputnya. Biasanya ia akan menyambutku manja sambil minta dibelikan es krim sebelum pulang. Sungguh lucu putraku itu. Bertahun-tahun aku tak melihat senyumnya yang polos. Polos dan menggemaskan.
Makanya sejak tadi, bocah berseragam SD yang sedang berdiri diujung sana, menarik perhatianku. Ia hanya berdiam diri sejak tadi. Mungkin ia kedinginan, karena dari tadi memeluk dada. Hampir dua jam ia berdiam di situ. Andai ia mengajakku berbincang untuk sekedar menemani, aku mau-mau saja.

*
Kedinginan semacam ini tak ubahnya penjahat alam yang memaksa setiap orang memilih menyamankan tubuh dan pikirannya di tempat tidur. Berani bertaruh, lebih dari tujuh puluh persen penghuni kota pasti sedang berada di tempat tidur sekarang. Dengan memeluk bantal, asyik juga memeluk boneka, dan tentunya orang-orang dewasa dengan pasangannya masing-masing, saling menghangatkan semua bagian tubuh mereka. Akan menyenangkan barangkali kalau aku pulang saja ke rumah sekarang. Pikirku tadi. Hidangan kesukaanku pasti akan langsung menyambut sebab telah menunggu sejak tadi. Setelah kenyang, betapa nyamannya tidur sore ini. Persetan dengan les, atau latihan bulutangkis. Aku mau istirahat.
Namun belum juga tiga langkah, niat tadi seketika terbuang begitu saja. Tak jauh dari tempatku berdiri, seseorang terlihat sedang menatapku. Sebuah tatapan yang rasanya tanpa kuketahui, telah mengintai gerak-gerikku sejak tadi. Ia melemparkan senyumannya. Barangkali sesuatu yang biasa bila siapapun menunjukan senyumannya kepada kita. Namun yang ini tentu lain, seperti sudah saling mengenal saja, sambil tersungging, Kakek Topo memandangku seolah mengetahui kalau aku sedang mencarinya.
Tetap saja awalnya aku malu untuk menghampiri. Rasanya janggal kalau langsung menyapa tanpa basa-basi. Kemudian kuputuskan membelikan sesuatu sebelum menghampirinya. Roti bagus juga pikirku. Hujan-hujan begini semua orang, tak terkecuali kakek Topo, tentu lapar.
“Makasih Dik, kau baik sekali. Kenapa memberiku roti Dik?”
“Aku lapar. Kuputuskan membeli dua saja, untuk kakek yang satunya” Jawab Kaping malu-malu.
Ia masih juga tersenyum meski mulutnya tersiksa karena melakukan dua pekerjaan sekaligus.
“Kau suka pantai dik?”
“Suka. Suka sekali kek, tapi aku jarang kesana, tak ada yang mau mengajakku”
“Sebentar lagi matahari terbenam. Kakek tak pernah melewatkan pemandangan yang menakjubkan itu. Kau mau ikut dik? Tanya kakek Topo sembari mengunyah bagian terakhir makanannya.
“Pantai belakang kek? Aku mau” Jawab Kaping seraya tersenyum.
Hujan telah mereda. Bebatuan tak lagi basah. Seragam bocah kecil itu sudah mengering terhisap suhu tubuhnya.
Kakek Topo menyandarkan tubuhnya di bongkahan batu menghadap langit. Tatapan itu menyimpan sejuta ambisi yang terpatah. Tersorot entah kemana, mungkin hamparan awan, bisa juga hawa langit yang pecah menggemas laut. Yang jelas bentangan Manado tua bagai kerucut beranak menggagahi ruang pandang mereka.
Ia masih juga tersenyum. Gumam Kaping sambil terus menatap sosok pria di sampingnya. Sementara suasana tetap sunyi seakan terpengaruh dengan sore yang kembali cerah.
“Semua orang punya hati”
Keheningan seketika memecah oleh kalimat tadi.
“Kenapa Kek?”
“Semua orang pasti punya hati kan?” Kalimat itu terulang lagi hanya kali ini dengan nada bertanya.
“Tentu saja Kek, semua orang tentu punya hati” Jawab Kaping polos.
“Tidak semua orang tahu menggunakannya. Sambung kakek Topo lalu menyelonjorkan posisi tubuh hingga kepalanya menyentuh batu.
“Hati-hati gunakan hatimu”
“Memangnya?” Tanya Kaping santai.
Kakek Topo meraih botol kecil dari tas kusamnya kemudian meneguk dalam-dalam isi botol kecil itu dengan penuh penghayatan.
“Penyalahgunaan hati bisa menimbulkan sakit penyakit yang sukar terobati” Lanjutnya.
“Mulanya memang iseng-iseng, tapi perempuan laknat itu meninggalkanku betulan. Lagi-lagi hanya karena masalah hati. Ia bilang aku telah menyakiti hatinya. Padahal tak sedikitpun hatiku bermaksud begitu. Semua memang karena hati”
Kaping terus mendengarkan kakek Topo bercerita dengan mulut separuh terbuka.
“Direktur sialan. Ia juga memberhentikanku karena katanya aku kurang memperhatikan hatinya. Aku melemparkan piring ke wajahnya. Ia memecatku saat itu juga. Aku semakin sedih saja”
Kakek Topo terus bercerita tanpa memperdulikan bocah di sebelahnya. Kaping tersenyum. Belum pernah perasaannya setenang ini.

*
Di ujung laut langit mulai menguning dengan nuansa kemerah-merahan pada porosnya. Gumpalan awan hitam yang mengatapi cuaca perlahan berpendar. Matahari tampak tengah siap-siap undur diri. Entah mengapa bibirku enggan berhenti tersenyum. Semakin matahari menenggelam, semakin membuatku ingin tersenyum lebih lama lagi. Tak ada sedih, tak ada belenggu, seisi bumi seperti mati. Kakek Topo yang sejak tadi begitu menantikan prosesi ini, terus berceloteh tanpa henti. Dengan kata-katanya sendiri, dengan keluh kesah yang hanya dimengerti sendiri. Aku tak peduli sambil terus membiarkan diri diperkosa langit. Menit-menit berlalu membujukku untuk enggan melangkah. Meninggalkan setiap desiran kebebasan. Aku memang ingin tetap disini. Tanpa teman, tanpa keluarga, hanya aku saja.


Based on: Kumpulan Cerpen "He..Leh!?"

Lupa

IA hanya memutuskan pulang waktu itu. Ia tak tahu kepulangannya ke rumah terasa cepat atau lambat. Ia juga tak tahu apakah mendapatkan sesuatu yang baru dari hari kemarin, ketika kakinya akan menyentuh lantai rumah itu lagi. Rokok mild di tengah apitan kedua jarinya mulai terasa membosankan. Demi mengenyahkan rasa penat, tak ada cara lain kecuali terus membiarkan gerombolan nikotin tadi tetap setia membombardir mulut dan paru-parunya.
Hari ini, Vian enggan kuliah. Entahlah, menyimak rentetan doktrin dosen-dosen yang menganggap dirinya lebih pintar dari semua mahasiswa, membuat rasa stresnya makin terpuruk pada titik terparah. Semakin bertambah parah ketika Vian mengingat-ingat lagi perangai mereka yang tak beda jauh dengan tokoh kartun. Sok lucu dengan kebenaran masing-masing. Angkuh bak diktaktor fasisme. Tak pernah hirau dengan pemikiran-pemikiran baru. Dan yang paling menyebalkan, memberlakukan pungli untuk sesuatu yang antah berantah. Itulah sebait kenyataan yang ia simpan tentang sosok agung para pendidik itu.
Separuh harinya mati tak berkutik di tempat billiar. Bukannya kehilangan aktivitas, Vian berpikir barangkali di tempat itu ia bisa mendikte waktu yang kian bertambah usang. Kabar yang santer berkembang, waktu memang kian betambah usang dan semakin usang sampai hari ini. Siapa yang bisa mengendalikan waktu?. Tak ada selain waktu itu sendiri. Sebetulnya ia lelaki yang bersemangat, selalu menggebu-gebu setiap melakukan sesuatu. Namun seperti yang kerap digosipkan, titik jenuh memang gemar berkhianat. Mengutak-atik bola-bola billiar cukup membunuh kepenatannya, setidaknya untuk saat ini.
Orang-orang berlalu-lalang sambil satu atau dua dari mereka memandangnya sepintas dengan mimik wajah beragam jenis. Seorang remaja pria dengan style norak menatap Vian dengan raut sinis. Ia hanya menatapnya sekilas sambil membayangkan tong sampah secara refleks. Selesai menyeberang Zebra cross perempatan lampu merah, seorang wanita menjelang tua menatapnya dengan garis wajah penuh curiga, Vian tak mampu menafsirkan, seperti ketika seorang kakek yang mungkin tanpa sengaja menyiku pipinya dan kemudian pergi dengan tanpa kesan bersalah sedikitpun. Ia hanya terus berjalan menyusuri pusat kota, menoleh pada gedung-gedung megah, sembari memikirkan diri sendiri.
Vian tahu perutnya lapar sejak tadi. Tentu bukan karena gengsi bila ia belum makan sampai sesore ini, apalagi berniat diet untuk mengurangi berat badannya yang di bawah standar. Uangnya habis sejak tadi siang. Sialnya, musibah ini baru ia sadari sore itu. Sebuah logam lima ratus dan tiga buah logam seratus secara sah menyatakan ia kurang memenuhi syarat untuk menggunakan fasilitas angkutan kota. Satu-satunya sarana yang bisa membawanya tiba di rumah.
Tak ada cara lain, ia terus melanjutkan jalan-jalannya menyusuri pusat kota sambil berdoa dalam hati agar ada uang logam seratusan yang tercecer di sudut-sudut trotoar. Setiap orang memandangnya dengan aneh, ada yang terlihat heran ketika Vian menyusuri pinggir-pinggir toko dengan pandangan mata ke bawah, ada yang tertawa kecil ketika melihat raut kebingungan di wajahnya. Setiap orang mempunyai reaksi tersendiri terhadap orang-orang sekitar. Setiap pribadi senantiasa menampilkan kesan-kesan khusus yang tak akan dimengerti bahkan oleh diri sendiri.
Doa Vian terkabul dua jam kemudian setelah kedua kakinya melahap dua kilo perjalanan. Hanya ada perasaan geli di hatinya ketika menemukan sekeping logam seratus pada sudut antara selokan dan trotoar. Menggelikan karena kepingan logam itu mampu membuatnya gembira, sedangkan ratusan ribu pemberian orang tua datang dan pergi tanpa kesan apa-apa.
Dugaannya benar. Rumah yang ia tinggalkan pagi tadi makin hening. Hening dari keceriaan, hening perhatian, hening senyuman, hening kedamaian, dan yang paling utama, rumah itu benar-benar hening jiwa. Yang ia temui hanyalah mayat-mayat bergerak yang secara rakus melahap kebutuhan pribadi sambil sesekali menyapanya dengan angkuh, apa kabar Vian?.
Vian makin tak mengerti. Ia makin tak mengerti di tengah kemengertiannya. Ia mengerti bahwa ia memiliki keluarga, ia mengerti bahwa ia memiliki sahabat-sahabat, ia mengerti bahwa kata dosen kerja keras itu penting, ia mengerti bahwa ia tak sendiri, ia mengerti bahwa bla..bla..bla...
Dan tuan mengertipun bingung.....
Tak ada aktivitas lain, musik langsung menjadi hiburan andalan di tengah kepenatannya. Suara bising Jonatan Davies membahana dalam lelah tidurnya. Ia larut dalam kenyenyakan.
Jam enam sore Vian terjaga karena telepon berdering lumayan berisik. Vian masih setengah sadar ketika mengangkat gagang telepon. Dadanya bergetar kencang ketika mendengar suara itu. Suara yang sudah lama ia kenal namun kini seperti terasa asing di telinganya.
“Iya, jam sembilan, nanti datang” Ayahnya menelepon.
Ia kemudian sadar telah melupakan sesuatu. Hari ini ayahnya berulang tahun. Belum juga sepuluh menit, seorang teman menelepon mengundang datang pada pesta pertunangannya. Vian akhirnya memutuskan memilih penelepon pertama. Bagaimanapun sesekali aku harus menengok seseorang yang membuatku ada di dunia ini. Kata Vian kepada cermin.
Setelah memilah-milah sekitar dua puluh detik, kaos tua nyaris kusam dengan gambar Jim Morison menjadi baju pilihan untuk dipakainya. Karena menimbang sepatu Conversenya yang tengah di ambang kehancuran, Vian memilih sandal jepit saja sebagai pengalas kaki. Sama sekali tak mengusiknya kalau yang akan hadir kepesta ulang tahun ayahnya nanti adalah pejabat-pejabat pemegang kendali di daerah ini.
Beberapa tahun lalu ia masih merasakan indahnya saat-saat seperti ini. Saat-saat berkumpul dengan keluarga, saat-saat semuanya mengumbar senyum meski tak ada satupun hal yang lucu. Saat satu sama lain saling memuji meski tak ada satupun hal yang membanggakan. Saat semuanya masih merasa lebih di tengah kekurangannya. Itulah yang terjadi di setiap reuni-reuni keluarga. Sekarang ia hanya tertawa geli mengingat kejadian-kejadian tadi.
Jam sembilan tepat, suasana sangat ramai ketika ia tiba di rumah sang ayah. Ia segera menggenggam tangannya, kemudian mengecup pipinya. Sang ayah hanya menyambutnya dengan senyuman kecil, dan segera berlalu menyibukkan diri dengan tamu-tamu yang ada. Vian duduk menyendiri di sudut ruangan rumah. Memperhatikan satu persatu setiap wajah-wajah angkuh pada setiap aktivitas mereka.
Detik-detik tercerabut dari sang waktu. Suasana hatinya perlahan membenam pada sebuah keterasingan aneh, yang telah mengintainya sejak beberapa waktu lalu. Ia tak lagi merasa berada dalam lingkungan keluarga. Kehadirannya di tempat ini seperti sebuah kunjungan besuk di sebuah Rumah sakit jiwa, yang pasien-pasiennya adalah orang-orang yang telah lama ia kenal. Vian kembali bergelut bingung. Beberapa saat yang lalu ia masih merasa memiliki ikatan batin dengan tempat ini, masih merasa di rumah sendiri. Entah kekecewaan atau kebosanan Vian menyesal telah memilih ke sini dan mengabaikan ajakan kepesta pertunangan temannya.
Sejak orang tuanya berpisah ia seakan lupa dengan kata “pulang”. Sebuah kata yang kaya akan kenyamanan sebuah rumah. Sebuah kata yang dulu sering ia ucapkan kepada teman-temannya setelah selesai sekolah, “woi pulang ah”, kata yang sering ia sebut saat merasa lelah dengan aktivitas seharian, “pulang dulu ya”. Kata itu selalu terasa nikmat diucapkan. Karena setelah mengucapkan kata itu, bayangan yang ada di kepala adalah nikmatnya masakan ibu, hangatnya senyuman ayah, dan cerianya canda tawa keluarga yang selalu menyapa ketika ia “pulang” ke rumah tercinta.
Sekarang semua itu hanya ia temukan di pagi hari ketika matahari mengusirnya dari mimpi. Rasa tenang itu cuma menyapa melalui teriakan-teriakan sumbang saat alkohol berlagak protagonis di setiap sel-sel otaknya. Memang cuma itu.
Ayah, aku pulang. Kalimat itu hanya terucap di kepala, dan Vian pergi berlalu. Tanpa sepengetahuan siapapun, hanya angin yang melihat, hanya kilau gemintang yang tahu. Jalan yang tersorot remang-remang bulan di depan rumah tetap sunyi memikul langkah pelan lelaki kurus itu.


Based on: Kumpulan Cerpen "He..Leh!?"

Kuda

SETELAH melalui bujukan berulang-kali, mau juga Stella dibonceng Alfa. Sebelumnya ia bersikeras dengan pendirian, tidak ingin dibonceng sampai kapanpun. Pendiriannya sudah kukuh bak tiang garam. Perkiraan yang paling mungkin, Stella masih dihantui teror berwujud opini bernada mengumpat yang nanti akan terlontar dari mulut teman-temannya. Jika sudah menyangkut masalah harga diri, ia memang tak mengenal kompromi.
Alfa sendiri adalah pemuda, yang melalui perjuangan tak kenal lelah, berhasil menundukkan hati Stella. Usahanya merengkuh buah mimpi ini bisa disejajarkan dengan kegigihan Andriy Shevchenko menggiring Ukraina ke pentas piala dunia. Sifat yang angkuh, serta image sebagai bunga paling wangi di kampus, membuat naluri Alfa sebagai seorang laki-laki tertantang. Ia bukannya tanpa saingan. Lawan-lawan mainnya cukup tangguh dan mumpuni di bidangnya. Dengan sebuah sedan Ford Focus berwarna metalik, Utu jelas merupakan saingan paling berbahaya. Berkali-kali wanita-wanita cantik terjerat hanya dengan sekali jelingan mata. Leo, meski dengan isi kantong melimpah ruah, Alfa tidak terlalu menganggapnya sebagai musuh yang harus diwaspadai. Bentuk wajah yang lebih layak jual, adalah landasan keyakinan yang membumbung itu. Begitulah, ia begitu percaya diri, meski hanya bermodalkan sandal jepit, dan kelebihan fisik yang sedikit bisa dipertanggungjawabkan.
Berbagai pertarungan sengit dilalui keduanya. Berbagai usaha dan metodepun diterapkan. Walhasil, seperti dongeng-dongeng klise dalam Film Indonesia, bulan lalu akhirnya Stella menegaskan pilihannya untuk Alfa. Selain dinilai mempunyai kejujuran dan perhatian yang membuatnya merasa nyaman sebagai perempuan, Alfa juga lebih lihai merebut simpati kedua orangtuanya yang telah dikenal banyak orang, garang. Tak terhitung arjuna-arjuna yang segera membalikkan badan setelah baru saja menginjak ambang pintu rumah karena tak tahan dengan uji mental yang disodorkan sang ayah.
“Aku memang tak mampu memberikan apa-apa Stell, namun segepok cinta di hatiku akan membawa sesuatu yang berarti” ucap Alfa bak aktor Bollywood di sebuah kursi kusam bioskop tua saat mereka tengah asyik menghayati film ‘Buruan cium gue’.
Stella hanya diam. Hingga apa yang dirasanya masih sebuah misteri tak terpecahkan bagi Alfa. Namun saat gadis sexy itu diam lagi ketika Alfa dengan gamblang mengecup pipi kanannya, misteri itu terpecah sudah.
Hari-hari mereka lewati seolah tak ada lagi pasangan kekasih lain di atas Bumi ini. Alfa pernah suatu waktu mengabaikan ujian tengah semesternya gara-gara tak tahan dengan ajakan puitis yang dilayangkan Stella lewat sms. “yank, jemput aku di depan kantin”
Entah ada angin apa yang menerjang, kelanggengan itu ternyata tidak berumur panjang. Kemesraan itu memudar ketika sabtu sore itu Alfa menjeput Stella untuk kencan seperti biasa. Senyum Stella berhenti di ambang pintu. Kegirangannya tercekat. Matanya membeliak, menganggap apa yang ada di hadapannya sesuatu yang sukar ditelaah. Sementara Alfa hanya menyunggingkan senyum seakan semuanya wajar-wajar saja.
“Kita berangkat yank” ujar Alfa mesra seraya memarkir kudanya di dekat pagar.
Wajah Stella menjelma nanar. Bibirnya yang beku tak mampu menerjemahkan kecamuk rasa yang bergejolak di dalam dada. Stella beringsut kembali ke kamar tidurnya dengan hati terbelah. Bantal guling dipeluknya erat-erat. Air matanya bercucur sepanjang malam.
Gundah gulana itu kemudian diceritakannya kepada ibunda keesokan hari.
“Semuanya sudah berakhir Ma, aku tak mau menjalin hubungan dengan orang gila!” tukasnya dengan nada kekalahan.
Ibunda memaku di tempat duduknya.
“Ia benar-benar menjemputku kemarin dengan seekor kuda!”
Dengan kebingungan seperti itu tak ada pilihan lain bagi Bunda selain diam lagi.
“Setiap malam minggu kalian kencan kan?”
“Biasanya naik angkot”
“Hmm.. semuanya harus ditilik dulu, tak ada keanehan tanpa pangkal pemicu” wajah bunda kali ini serupa ilmuwan tengah menganalisa suatu masalah.
“Aku mencintai dia apa adanya. Kami telah sepakat untuk saling menerima lebih kurang masing-masing dengan lapang dada. Hanya saja aku tak sudi diperlakukan begini”
“Tunggu dulu” ibunda menyela. “Beberapa minggu terakhir setiap kali ke pasar, mama pernah sesekali mendapati orang-orang yang memarkir kudanya di sekitar area pusat perbelanjaan. Barangkali saja menunggang kuda sedang ngetrend saat ini”
Stella mengeringkan matanya yang basah dengan lengan atas kameja. “bukan hanya di pasar saja Mam, di sekitar Mall mulai juga terlihat beberapa kuda yang diikat. Bahkan di kampus kami ada juga beberapa mahasiswa yang mulai menggunakan hewan menjijikan itu sebagai sarana untuk mengantar mereka kemana-mana”
“Kalau memang sedang ngetrend, Mama pikir tidak ada salahnya jika Alfa terseret dalam arus perkembangan zaman”
“Apanya yang perkembangan zaman?. Sekarang zamannya Laptop, Handphone, Handycam, mobil, menunggang kuda sama juga kembali lagi ke zamannya King Arthur” keluh Stella semakin pedih. Bosan mengunyah rasa pahit, Stella mencoba menghibur diri dengan jalan-jalan ke toko buku. Mengharapkan siapa tahu komik serial cantik sudah keluar edisi terbaru.
Alfa terhimpit perasaan gelisah di dalam kamar. Ia tak pernah memperkirakan akibatnya bisa semengecewakan ini. Rasa cinta yang dengan tulus ia pupuk, lambat-lambat memudar bak remahan roti tawar. Ia tak tahan memaki-maki diri sendiri, bahkan sesekali mengumpat tak karuan dengan menyebut-nyebut nama Stella. Setelah seluruh emosi luruh, Alfa meraih kertas dan pulpen mengukirkan permohonan maafnya dalam bentuk surat. Ia sadar percuma memaki-maki gadis itu. Toh akhirnya ia tak akan sanggup membencinya juga. Hatinya terlalu rapuh jika sebuah masalah sudah melibatkan nama Stella.
Joni, teman baik Alfa menyampaikan surat itu kepada Stella Di perpustakaan. Sisa kemarahan dua hari lalu membuatnya tak bergairah untuk segera memeriksa isinya. Ia menyelip di antara diktat-diktat mata kuliah. Abad milenium begini masih saja ada orang yang menyampaikan permohonan maafnya lewat surat. Kata-kata tidak lagi merdu di telinga tapi menjadi onggokan sampah yang menggelikan. Pikirnya dalam hati.
Kini segala sesuatu tak berarti. Waktu bergulir dan Stella tetap kukuh menghempas satu-persatu memori-memori manis yang terlanjur menancap indah di kepala. Cinta saja tidak cukup. Di era modern hal agung itu tak lagi menempati urutan pertama sebagai karya yang membahagiakan. Banyak karya-karya baru mengiring perkembangan zaman, dan ternyata lebih difavoritkan manusia.
Alfa bukanlah tipe yang lekas luluh. Gagal menerima tanggapan tak membuatnya menyerah. Berhelai-helai kertas yang dibanjiri kata-kata puitis terlayang di tangan Stella setiap hari. Sebetulnya banyak sekali yang menyayangkan ambruknya jalinan kasih mereka. Alfa dan Stella telah menjadi simbol keserasian dua sejoli yang harmonis dan menjadi panutan orang-orang sekitar.
“Begitulah hidup, penuh misteri tak terpecahkan” tandas Joni, salah satu pihak yang menyesalkan tragedi ini.
Pada saat yang bersamaan setiap surat kabar dan televisi berbondong-bondong mempergunjingkan sebuah trend baru yang mewabah di tengah masyarakat belakangan ini. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Kuda dikaji dari berbagai sisi. Mulai dari latar belakang hingga akibat yang akan ditimbulkannya. Mendadak hewan berkaki empat itu menjadi lebih populer daripada presiden sekalipun. Kehebohan ini memaksa para pakar dari berbagai bidang ikut pasang komentar. Dan semakin merambat menjadi bahan pembicaraan setiap jenis orang.
Keanehan itu ternyata menular menjadi berbagai keanehan yang lain. Pasar-pasar mulai sepi. Orang-orang kebanyakan lebih cenderung menghabiskan waktunya di rumah. Membuat kebun kecil sendiri yang ditanami kebutuhan-kebutuhan pokok. Kecuali mereka yang standar ekonominya berlebih, tetap bertahan dengan pola hidup sebelumnya. Tindakan-tindakan bertemakan kriminalitas beredar di sana-sini. Perampokan, pembunuhan, bahkan jenis perkoasaan yang aneh-aneh semakin merebak. Seorang ayah memperkosa anak kandungnya sendiri. Manula delapan puluh tahunan menggagahi bocah perempuan berumur lima tahun. Para ahli dan pakar yang memegang kendali kehabisan akal dan kebingungan. Agar tak tampak tolol terpaksa mesti mencari sosok kambing hitamnya. Media penyiaran untuk masyarakat dituduh semakin tak terkendali, membiarkan artis-artis hiburan terlampau leluasa bereksplorasi. Mereka akhirnya dituding sebagai sumber pemancing birahi yang paling membahayakan. Tak ada cara lain, keluwesan seperti itu mesti dibungkam. Kemudian hukum yang dipersalahkan. Dinilai terlalu renggang mengawasi moral masyarakat. Dengan diperbaharuinya peraturan diharapkan semua golongan terpuaskan.
Semua orang boleh gempar. Alfa yang tengah diperdayai cinta, tak mengambil pusing dengan situasi tersebut. Ia merasa mesti lebih membuktikan lagi kapasitasnya sebagai lelaki sejati. Rupanya usaha ini menemui titik terang. Entah kasihan atau merasa jenuh, Stella meneleponnya minta bertemu hari itu.
“Setelah diendap-endap rasanya tindakanku memang rese, aku minta maaf karena sudah menganggap remeh hubungan suci kita hanya karena alasan sepele” Tutur Stella menyesal. Alfa tak kuat menahan haru dan menangis tersedu. Sepanjang hari hanya dihabiskan mereka dengan kemesraan untuk melepas rindu. Kali ini Stella tak lagi menolak menaiki kuda peliharaan Alfa.
Sesampai di rumah Alfa berbaring di kamarnya dan menghela nafas panjang. Mensyukuri masa-masa sulit yang telah lewat. Ia menoleh pada kalender kecil yang tergantung di dinding. Ia tersenyum ketika menyadari zaman tidak muda lagi.


Based on: Kumpulan Cerpen "He..Leh!?"

Stevly Tak Mau Sekolah

ENTAH sejenis perasaan apa yang sering mengusikku tatkala sedang melamun sendiri akhir-akhir ini. Di usiaku yang sebulan lalu baru saja menginjak sepuluh tahun, aku seringkali menyalahkan diri sendiri. Mungkin ini hanya sekedar perasaan saja. Kata ayah, rata-rata anak seusiaku sangat gemar berimajinasi dan berpikir hal-hal di luar kewajaran. Bisa saja ia benar. Tapi aku bukannya sedang menghayali keperkasaan Saint Seiya meluluhlantakkan musuh-musuhnya. Atau berandai-andai layaknya Songoku yang bisa terbang sana sini mencari bola naga. Jawaban itu tetap tak mampu meyakinkan aku sepenuhnya. Perasaan bersalah ini tentu aneh sebab:
Pertama, dari empat kakak adik (aku anak paling bungsu) semuanya rata-rata pernah, bahkan sering melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang tua. Kemarin saja Wesly di tampar ayah gara-gara ketahuan mencuri uang dari kantong seragam kerjanya. Aku patut berbangga karena tidak sekalipun tega melakukan hal-hal seperti itu. Kedua, (masih perbandingan dengan kakak-kakakku), aku satu-satunya yang tega mengembalikan separuh uang jajan karena merasa berlebihan dan tidak mau merepotkan orang tua yang hanya berpredikat sebagai pegawai negeri biasa. Konon, mama terharu setengah mati dengan aksiku ini. Ketiga, dari delapan belas murid laki-laki di kelasku, minus aku tentu, pernah mencicipi terik matahari selama berjam-jam lantaran tidak tahan dengan peraturan sekolah. Saking patuhnya, pak Fredy enggan mengalihkan posisi ketua kelas dua semester berturut-turut dari tanggungjawabku. Aku menerima dengan lapang dada dan tetap rendah hati seperti yang sudah menjadi ciri khasku.
Selain ketiga alasan di atas, masih ada seabrek lagi kebanggaan yang jika kuceritakan semua nanti akan mengkhianati kapasitas cerpen ini. Pastilah ada yang janggal bila seorang anak kecil yang dengar-dengaran seperti aku dikejar-kejar perasaan bersalah. Namun itulah yang terjadi. Belakangan ini, hatiku dibuat gelisah karenanya.
Berawal, ah, aku lupa kapan tepatnya. Kesibukan bermain membuatku tidak ambil pusing masalah waktu. Suatu siang saat pulang sekolah, saat itulah aku diserang segumpal perasaan bersalah yang hebat itu. Aku sendiri merasa sulit untuk menuturkannya dalam bahasa yang gamblang. Yang jelas sejenis perasaan sesal, resah, gelisah mungkin, sesuatu yang bagai menuding diri sendiri tak berguna, menebas kesadaran yang selama ini bertumbuh lebat di kepalaku. Aku tiba-tiba bertanya pada diri sendiri, untuk apa seharian menghabiskan waktu di sekolah?. Ah bercanda kau. Tudingku pada diri sendiri waktu itu. Sayangnya hatiku sepertinya serius. Barangkali sebagian orang akan menganggapku mengada-ada. Dan bila kukeluhkan, mereka tidak mengacuhkannya. Tapi bagiku ini penting. Tiada yang lebih buruk di dunia ini selain melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Dari salah satu film perang yang kutonton, Hitler saja mempunyai dasar pemikiran atas kekejamannya. Sekarang aku baru saja naik kelas lima, sebelum lebih dan lebih lagi, sebelum enam, SMP, SMA, universitas, hingga istilah-istilah lain yang masih terlalu jauh dari pemahamanku, harusnya hal ini diselidiki sejak dini. Ada tiga jawaban dari tiga orang berbeda latar belakang yang pada awalnya sempat mengurangi rasa penasaranku.
Aris yang pertama. Ia teman sekelasku. Katanya ia rajin ke sekolah karena diiming-imingi orang tua dengan bermacam mainan yang berbeda setiap semesternya. Memang pada umumnya begitu. Mainan adalah motivasi utama setiap anak-anak, tak terkecuali aku sih, dalam memenuhi tuntutan orang tua. Kalau untuk itu, bukankah orang tua bisa membelikannya tanpa harus repot-repot anaknya sekolah? Jawaban tadi tidak mengena di hati. Yang kedua kakak tertuaku, tak ada salahnya mengharapkan jawaban bijak dari yang tersulung pikirku. Aku ingin sekolah sampai capek, supaya dapat kerja yang banyak duitnya. Tukasnya lantang. Kalau begitu orang yang sudah kaya tidak perlu repot-repot sekolah dong!. Lalu mengapa si Jenry yang rumahnya bertingkat tiga dan bermobil mewah dengan jumlah yang sama, masih juga kesekolah dengan cerianya?. Kalau kakakku jadi dia, pasti hanya tidur-tiduran di rumah. Barangkali opini ketiga ini ada benarnya juga. Wali kelasku yang memberi tahu. Tuntutlah ilmu setinggi langit, supaya berguna bagi nusa dan bangsa. Kira-kira setengah jam menafsirkan, kemudian aku tidak mempedulikan lagi pernyataan itu. Banyak pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang tidak mengenyam bangku sekolah di masa lalu, Tetap saja mereka dikenang karena dianggap berguna bagi negara.
Hari demi hari berlalu tanpa sedikitpun mengurangi rasa penasaranku dengan masalah yang satu ini. Orang-orang pasti terbahak jika kukatakan hampir frustasi lantaran terus-menerus memikirkannya. Sebuah masalah pribadi. Ya, aku menyebutnya sebagai masalah pribadi. Karena tidak semua anak seusiaku mengalaminya. “Bocah ingusan sok tahu. Frustasi ni ye...Biasa jo”. Demikian olokan yang pasti kuterima. Teman-teman lain ada yang menyindir, jangan sok dewasa deh! Ini gara-gara kebanyakan nonton sinetronnya ketimbang serial anak. Begitulah, mereka sekejam itu padaku. Aku hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Yang terpenting bagiku saat ini adalah bagaimana menemukan arti sekolah yang sebenar-benarnya. Tekadku sudah benar-benar bulat, selama belum kutemukan arti tersebut, aku akan mogok ke sekolah mulai sekarang. Semua resiko sudah siap kuterima. Amukan papa, yang pasti marah besar, teriakan mama, sampai kakak-kakakku yang paling kurang melototkan mata mereka untuk menakut-nakuti, atau nilai-nilai raporku yang pasti anjlok. Demi sesuatu yang hakiki semuanya harus kutanggung.
Seharusnya mereka tidak asing lagi dengan aksi-aksi di luar kewajaran yang belakangan ini lumayan aktif kulakukan. Tapi aku mampunyai alasan yang kuat melakukannya dan pada akhirnya mama papa mengakui kalau mereka yang salah. Mereka tahu betul aku tak akan sampai tega melawan tanpa alasan yang jelas.
Sebulan yang lalu karena sakit hati tak diizinkan ikut les piano, aku sampai tidak pulang kerumah selama tiga hari!, Iya, tiga hari! semuanya langsung kebakaran jenggot bingung mencariku. Tapi bujukan nenek begitu ampuhnya hingga memaksaku untuk pulang. Nenek memang selalu kompak denganku. Ia tidak memberi tahu papa selama aku mengungsi di rumahnya. “Biar mereka tahu mengekang minat anak adalah sesuatu yang salah” begitu jawabnya saat kutanya kenapa ia mendukungku. Tujuh hari berselang aku melakukan aksi yang sedikit lebih sopan, mengurung diri dua hari penuh di dalam kamar. Meski marah besar, mama sampai menangis membujukku keluar kamar lantaran khawatir aku kelaparan. Entah mengapa mama menganggap aku sebodoh itu. Sebelum menjalankan misi, tak kurang selusin roti kuboyong kekamarku. Di tambah dengan beraneka ragam snack dan minuman ringan tentu saja aku betah di kamar selama dua hari. Semua itu lagi-lagi karena mereka tidak mengizinkan aku bermain sepak bola dengan teman-teman sekolah. Sedangkan mereka tahu sendiri aku begitu tergila-gila dengan olah-raga ini.
Mereka sebetulnya baik padaku. Apalagi mama. Ia Tak pernah luput memperhatikan kebutuhan-kebutuhanku. Namun ya itu! kadang mereka terlanjur mengada-ada mengatur segala keinginanku untuk memajukan potensi diri. Dengan alasan yang itu lah, ini lah, semuanya di luar rasio.
Tapi kali ini tak seorangpun bisa membujukku kesekolah sebelum ada yang betul-betul memberikan jawaban memuaskan mengenai maksud aktifitas itu. Sekarang jam sepuluh. Tak terasa tiga jam sudah hal ini merampas pekerjaan pikiran di otakku. Suara ribut-ribut di ruang keluarga sudah tidak terdengar lagi. Barangkali semuanya sudah tidur. Yang terdengar tinggal sayup-sayup suara Televisi yang menandakan ayah sedang melakukan kebiasaan nontonnya sampai tengah malam. Jendela itu kubiarkan terbuka. Sinar bulan menyusup celah-celah dedaunan kemudian menyambar ruang tidurku dengan cahayanya yang tanggung. Purnama begitu kentara ketika lampu kumatikan. Satu dua bintang mencoba mencuri perhatianku lewat kemilaunya yang lucu. Aku tak peduli sambil merangkul boneka anjing di samping dan kemudian terlelap.
Bisikan-bisikan aneh mulai dapat kucium dari percakapan mama dan papa di luar.
“Dia mungkin sakit”
“Ah, barangkali cuma kelelahan latihan bola kemarin sore”
Kebiasaanku mengunci kamar sebelum tidur, membuat mereka sulit meraba apa yang terjadi.
“Sudah setengah tujuh Stevly, nanti terlambat” mama berteriak.
Aku tak bergeming. Dentuman pintu dan teriakan mama semakin tak terkendali menyayat telinga.“Stevly bangun cepat, kamu sakit ?”
Aku bangkit sayu. Gegas Membuka pintu kemudian berlalu kekamar mandi. Bilasan air sanggup menjernihkan peluh jiwa dan raga. Mama sudah di depan kamar mandi begitu aku keluar.
“Anak mama mau bikin aksi lagi ya” mimik yang kulihat jauh dari kesan marah.
“Tidak kesekolah sayang? lagi marah sama mama?” sikap itu selalu menyentuh hati.
“Tidak, aku memang tak mau kesekolah Ma” jawabku.
“Mengapa tak mau?”
“Aku tak mau lagi kesekolah” kalimat tadi membias ketelinga ayah. Mama menatapku bingung. “Aku tak mau lagi membuang waktu berjam-jam di sekolah mulai sekarang. Sebaiknya Mama daftarkan saja namaku di tempat les piano itu. Aku tak mau mempelajari sesuatu yang sia-sia. Aku ingin les piano saja. Itu memuaskan keinginanku”.
“Kamu bisa les piano sambil terus sekolah” ayah menyambung dari tempat duduknya.
“Mau jadi apa kamu kalau tak mau sekolah, orang yang tidak sekolah hanya akan menjadi sampah masyarakat”
“Sampah masyarakat itu apa, Pa ?”
“Orang-orang yang tak berguna dan cuma membuat bumi ini tambah sesak. Seperti preman-preman yang suka bikin onar itu. Atau pengemis yang cuma tahu meminta-minta tanpa mau bekerja keras. Papa bisa menyekolahkan kalian semua karena berhasil menyelesaikan sekolah dengan baik, sehingga mendapatkan pekerjaan yang lumayan baik pula. Mestinya kamu bersyukur, eh malah sok jago mau berhenti sekolah”.
“Jadi sekolah cuma untuk orang miskin Pa?”
“Semua orang harus sekolah supaya menjadi pintar.”
“Terus kalau sudah pintar?”
“Ya supaya kamu bisa menghasilkan uang yang banyak”
“Jadi guru yang mengajar di sekolah pintar-pintar semua dong”
“Ya iya mereka pintar-pintar semua”
“Mengapa gajinya sedikit? katanya orang pintar bisa menghasilkan banyak uang”
Aku tahu papa tergeragap meski ia mencoba meniadakan kesan itu.
“Sudah jangan banyak tanya, pokoknya kamu mesti terus sekolah” mama menyela.
“Aku tetap tak mau. Mama dan papa mesti memberikan alasan yang pas untukku, kenapa aku harus sekolah. Jika belum, aku benar-benar mau berhenti sekolah. Seperti aku, aku mempunyai alasan yang jelas mau les piano. Musik memberikan kepuasan tersendiri, membuatku senang dan tanpa beban melakukannya”.
Selanjutnya masalah ini secepat pesawat jet menyebar kesemua orang. Nenek, om, tante, sepupu, bahkan guru di sekolahku mendengar berita tentang pembangkangan yang kulakukan. Mama papa sibuk mencari orang yang pas untuk dapat merayuku kembali sekolah. Mereka kelabakan. Seperti itu situasi yang kuraba.
Ini hari yang ketujuh aku tak menginjakkan kaki di tempat yang katanya ruang pembelajaran itu. Di teras depan rumah mama sedang bercakap-cakap dengan seorang lelaki separuh baya. Sepertinya ia diundang khusus untuk menggagalkan konsistensi pemogokan ini. Hm.. setidaknya bisa kudengar dari nada pembicaraan mereka. Siasat-siasat sedang disusun rapi untuk membidikku.
“Stevly, kemari sebentar” mama memanggil.
Aku menghampiri setelah menanggal majalah olah-raga yang sedang asyik kuperhatikan gambarnya.
“Kenapa Ma?” sahutku santai.
“Ini kak Helli. Dia akan menjelaskan padamu pertanyaan konyol yang membuat mama dan papamu sebal”
“Akan kudengarkan kok”
Lelaki itu memasang senyuman kecil. Menebarkan gelagat meyakinkan.
“Katanya tak mau sekolah ya? Anak lincah harus rajin belajar” Kata lelaki itu.
“Kamu senang belajar?”
“Aku senang mempelajari semua yang aku suka”
“Bagus. Setiap manusia harus melakukan segala tugas yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Belajar termasuk salah satu tugas yang dimaksud. Hewan dan tumbuhan pasti iri karena kita manusia diberikan akal budi untuk digunakan. Dan belajar adalah kegiatan di mana kita menggunakan akal budi tersebut. Karena sekolah adalah tempat belajar, setiap manusia harus menggunakan tempat itu untuk mengasah kemampuan akal budinya. Tapi semua belum berakhir sampai di situ. Kita juga harus tetap mempelajari pengetahuan yang tidak didapat di sekolah. Ilmu pengetahuan bersifat universal. Dalam kehidupan sosial sehari-hari juga adalah lingkungan belajar kita. Pendidikan berlangsung di mana saja, keluarga, pergaulan, serta lingkungan masyarakat lainnya”
“Terus pengetahuan yang tinggi untuk apa kak?”
“Untuk mengisi kehidupan. Kehidupan yang singkat ini jangan hanya berlalu begitu saja. Dengan pengetahuan, setiap orang akan memberikan sumbangsih bagi peradaban manusia. Jadi selain belajar itu ibadah, juga untuk kehidupan manusia seutuhnya”
“Sepertinya kakak tahu banyak, apa kakak calon guru?”
“Bukan. Kak Helli ini mahasiswa. Mereka yang sering menyuarakan kepentingan orang banyak” Potong mama.
“Seperti berita-berita di televisi ya ma.”
“Makanya kamu mesti terus sekolah supaya nanti bisa menjadi mahasiswa teladan seperti dia”
“Mahasiswa orang-orang yang hebat ya kak?”
“Semua orang terpelajar itu hebat. Karena mahasiswa belajar setiap hari jadi mereka hebat-hebat semua”
Betul juga. Belajar untuk kepentingan manusia seutuhnya. Lelaki ini telah meyakinkan aku dari ketidakmengertian.
“Iya, aku mau terus sekolah nanti jadi mahasiswa seperti kakak”
Memang sekolah itu penting. Ah, bodoh aku bertindak yang tidak-tidak. Untung saja ada kakak itu sementara baru seminggu aku absen di kelas. Dia cerdas. Mahasiswa memang cerdas-cerdas semua. Mulai besok dan seterusnya, tidak ada lagi mogok-mogokan. Aku mau kesekolah dengan semangat baru. Setidaknya aku punya pegangan sekarang.
Sejak saat itu, tidak ada yang paling menyenangkan untukku selain menikmati masa-masa SD yang ceria ini. Mama dan papa juga gembira melihat apiknya perangaiku sehari-hari. Satu kebiasaan yang jelas berubah padaku mulai saat itu, sepulang sekolah yang biasanya naik mikrolet, kini lebih doyan jalan kaki. Tentu bukan karena ingin olah-raga. Apalagi gara-gara kehabisan ongkos untuk mendanai pak supir. Sengaja kebiasaan ini kulakukan karena ingin memperhatikan mahasiswa-mahasiswa di universtas yang tidak jauh dari letak sekolahku. Satu hal yang tidak terjangkau kalau naik angkutan umum. Biasanya setelah melintasi tempat itu, aku sering membayangkan delapan tahun nanti ketika aku seperti mereka. Betapa gagahnya aku saat itu.
Siang itu lamunanku mendadak dihentikan oleh suara ramai-ramai di sekitar tempat kuliahan tadi. Ramai sekali untuk ukuran pendengaran telingaku. Ada bunyi teriakan, ada makian, dan kalau memang pendengaranku masih sehat, rasanya ada juga bunyi pecahan kaca. Sepertinya sedang ada perkelahian dengan skala besar. Mustahil.. gumamku. Di lingkungan universitas begini mana ada orang-orang berkelahi. Semisalkan lorong-lorong, gang-gang atau mungkin di pasar anggapan tadi cukup layak dibenarkan. Beberapa polisi juga terlihat berada di tempat itu. Pasti sedang ada unjuk rasa. Ah, aku lupa nama kerennya... o, iya, demo, iya, pasti mahasiswa-mahasiswa itu sedang demo. Setiap hari aku melihatnya di televisi. Aksi-aksi protes yang dibuat karena merasa tidak puas dengan kebijakan orang-orang penting. Demikian yang kubaca di koran. Jadi penasaran nih, bagaimana sih kalau mahasiswa bikin aksi. Akhirnya aku memutuskan melihat lebih dekat ramai-ramai itu.
Memang banyak orang di sana. Tapi ada yang aneh. Sejauh demo yang kutahu, mereka membawa atribut-atribut seperti seprai yang ada tulisan di dalamnya. Ada juga semacam kertas kartun bertulisan yang di acung-acungkan keatas. Tapi di sana tidak ada. Justru orang-orang itu menggenggam-genggam benda yang berbahaya. Apa tidak khawatir nanti melukai orang lain?. Sementara polisi sibuk melerai-lerai satu dua dari mereka. Mungkinkah ini perkelahian?.
Mendadak kebingungan menyerbu otakku. Siapa yang sedang berkelahi? Mahasiswakah? Yang kutahu tawuran hanya digemari anak-anak SMA. Tiba-tiba ketakutan ikut-ikutan menyerang perasaanku. Semakin menyerang dan menyerang hingga kurasakan benda keras menghantam entah bagian mana dari kepalaku. Di tengah hampir lenyapnya kesadaran, aku tahu pasti kalau itu batu. Tubuhku semakin lemah, kurasakan rasa pusing yang begitu hebat. Aku tak kuat lagi. Rasa takut itu kini berubah menjadi geram. Jahanam kalian. Umpatku. Aku tak mau seperti kalian. Semuanya bohong. Aku tak mau lagi sekolah. Aku tak mau jadi mahasiswa. Aku tak.......


Based on: Kumpulan Cerpen "He..Leh!?"

Yang Ia Tinggalkan

LELAKI itu bangkit dari tidur. Jari telunjuk kanannya menyentuh daun jendela kayu hingga terbuka. Ia masih duduk memeluk kaki. Menyandarkan pipi kiri di atas lutut. Berita radio menggema dengan suara rendah, sesaat radio ia matikan dan bantal guling yang baru saja dilepas beberapa detik lalu kembali tenggelam di dadanya.
Jam sembilan lebih tiga puluh. Terasa begitu panjang. Tiga hari ia kembali ke rumah ini. Mencoba berpindah dari kungkungan waktu. Sama saja. Semua manusia di dunia ini pernah memaki waktu. Waktu yang jahanam. Kambing hitam yang paling pantas.
Mungkin ada yang salah?. Ah, aku tahu tak ada manusia yang sempurna. Namun prinsip-prinsip itu telah melewati segala yang masuk akal. Aku tak mungkin salah. Mereka yang salah. Mengapa tak ada satupun dari sekian banyak orang itu yang melihat sisi baik ini?. Sekarang kenyataannya aku yang diasingkan. Meski sebuah pembenaran besar tetap ada dan masih bisa diandalkan, lebih baik memang diasingkan. Tapi aku benci kesepian. Aku bukan Kurt Cobain yang menganggap kesepian sebagai pilihan. Ini Absurd. Aku harus berpikir lagi.

*
Ponsel bergetar meloncat-loncat kecil di atas meja. Randy meraih benda mungil itu tanpa membuka mata. Missed call. 06.14 pm. Sebuah nomor asing, selalu menyelinap di handphone tanpa permisi. Randy menoleh ke jendela. Langit mulai memayungi bumi dengan jubah hitamnya. Sepertinya membilas diri adalah pilihan paling baik. Segerombolan debu telah mendirikan pemukiman-pemukiman kecil di permukaan kulitnya. Sebelum pemukiman menjadi planet mini yang menciptakan sejumlah wabah penyakit, kamar mandi memang tujuan paling bijak.
Seperti baru saja keluar dari perangkap macet seharian, sekujur badannya serasa dilumuri salju. Randy menyeduh segelas kopi sambil bersiul-siul irama lagu yang kemarin berkali-kali menelusup telinganya setiap kali naik angkutan kota. Seisi rumah sepi membisu. Ia memajang diri di depan TV meski tahu jam begini adalah ajang pertunjukan tayangan-tayangan rating terbawah.
Kopi habis, TV dimatikan. Randy berbaring di sofa panjang. Memikirkan lagi siapa dirinya sekarang. Aku mencintai ketiga anakku. Ia terdiam. Hanya itu yang ku tahu saat ini.
Dengungan ponsel memberangus lamunannya. Sebait kiriman caci maki dari seorang perempuan yang merasa geram memperoleh suami seperti dia. Genap sudah empat belas pesan bernada serupa memenuhi kotak masuk. Randy tersenyum. Hal sederhana yang bisa dilakukan daripada meluapkan emosi tanpa arti.
Ia kembali menyandarkan kepala. Meraih koran nasional yang terbit beberapa hari lalu. Matanya menjalari setiap tabel-tabel kecil berisi lowongan kerja. Aku tak boleh semakin terpuruk. Setidaknya ada aktifitas yang bisa kuandalkan sekarang ini. Anak-anak. Di mata mereka aku tak boleh terpuruk.
Ponselnya menjerit lagi. Kali ini nada panggilan. Layar LCD menampilkan angka-angka yang mengusik tidurnya sore tadi. Di balik sana menggema suara perempuan bernada berat, saking rendahnya Randy seperti mendengar desahan perempuan yang baru saja selesai orgasme.
“Salah sambung ya, hm.. maaf”
Segumpal udara keluar serempak dari mulutnya. Untuk sekian waktu kepalanya terasa bergetar. Seperti ada kekuatan aneh tersimpan dari suara perempuan itu. Keanehan yang memuaikan gigilan dalam ruang imaji. Sesaat kemudian getar suara itu menghilang dari balik speaker digital. Meninggalkan sebuah nama. Tania. Katanya dia akan menelepon lagi. Randy tersenyum tipis. Suara ABG.
“Halo? Randy kan?”
“Ya. Saya kira yang tadi bercanda. Kamu tipe pemegang janji”
“Di rumah sepi. Kamu kerja?”
“Tahu dari mana?”
“Aku kenal suara pria dewasa”
“Oh ya? Aku baru tahu jika kedewasaan bisa dilacak lewat suara”
“Kenapa tidak? banyak hal bisa kita ketahui hanya dengan mendengar suara seseorang”
Asyik juga ngobrol dengan perempuan remaja. Manja dan lugu. Lumayan menghibur untuk situasi sesuntuk ini. Setengah jam percakapan yang menyenangkan.
Karena pikiran tak putus dikocok problem, Randy baru sadar lambungnya belum disuapi nutrisi sejak siang. Ia menggeledah lemari es. Cuma ada ikan kaleng. Dipanaskannya sebentar. Jam begini belum juga ada yang pulang. Biasanya mama gemar bawa nasi goreng bila pulang kerja. Daripada mati kelaparan, ia terpaksa merelakan lambungnya direcoki menu jauh dari standar gizi sempurna.
Tania menelepon lagi. Katanya di rumah belum ada orang. Basa-basi kembali berlanjut. Sebuah proses keakraban yang memang sering sulit dijelaskan membuat Randy merasa sudah cukup nyaman untuk menceritakan tentang dirinya. Ah, seperti alur film drama saja. Salah sambung. Tukar pikiran. Basa-basi. Akhirnya akrab. Masalah-masalah yang mengurungnya akhir-akhir ini dibeberkan tanpa putus. Kepada siapapun bukan masalah. Yang penting gundah gulana tak memfosil menjadi pagar beton di dalam otaknya. Di balik suara yang lugu ternyata Tania sanggup memberikan nasehat-nasehat yang bisa membuatnya merasa sedikit tenang. Jam sebelas malam. Pembicaraan mengalir. Bahkan mencapai pada titik paling pribadi.
“Kamu punya pacar?” tanya Tania lantang. Randy menggigit bagian bawah bibirnya.
“Aku sudah menikah” jawabnya dengan nada berat.
Keduanya terdiam.
“Mimpi indah ya. Ku hubungi lagi besok pagi” kata-kata terakhir yang menggema di speaker phone. Randy merebahkan badan. Garis-garis wajahnya tak lagi kusam.
Ia berdiri. Melangkah pelan ke pintu depan. Duduk di teras sembari menyalakan sebatang rokok. Memandang langit dan gemintang yang sesekali berenang di bawahnya. Beberapa bintang menukik ke bawah dan merayap lambat ke dalam kelopak mata Randy. Ketika mencapai titik paling dalam berpasang bintang itu bercinta dan menaburkan benih-benihnya. Randy merasakan sesuatu yang tak bisa ditahannya saat ini. Sesuatu yang telah lama tak dilakukannya, menulis cerita.
Kedua jari telunjuknya menari-nari di atas keyboard dengan irama dinamis. Tanpa bermodalkan ide di kepala, tanpa tahu hendak menulis apa. Yang jelas ia ingin menulis. Randy membiarkan kedua ibu jarinya bergerak sebebas mungkin. Tanpa mempedulikan alur, tema, atau segala tetek bengek lain yang menjadi aturan dalam merangkai kisah. Perjalanan intuitif yang tak jelas itu melahirkan sebuah cerita romantis. Sudah lama sekali tema ini terbang jauh dari perbendaharaan ide yang menggugah imajinasinya. Kondisi sosial yang carut-marut kerap meracuni setiap karya-karyanya yang terakhir. Randy tak mengerti kenapa justru malam ini ia berubah menjadi melankolis.
Satu-persatu tokoh dihadirkan. Baru kali ini Randy merasa tidak kesulitan mengembangkan cerita. Perjalanan alur menyusur tenang di setiap baris. Inspirasi-inspirasi baru senantiasa menampakkan diri. Sesekali ia mengambil jeda. Mencicipi kopi dan membakar lagi dadanya dengan nikotin. Lalu memanjakan kembali imajinasi-imajinasi yang terus berseliweran.
Kini ia berhadapan dengan problem klasik seorang penulis. Bagaimana mengunci cerita dengan kesan yang mendalam. Ia terdiam. Layar komputer ditatapnya tanpa maksud apa-apa. Bermacam pilihan berkecamuk.
Kali ini rasa kantuk menyergap kepalanya. Randy menghamburkan diri di atas kasur. Membiarkan jiwa dan pikiran bergelinjah dalam peraduan mimpi. Di ujung imaji ia melihat Eric Martin berjingkrak di atas panggung dengan gaya rock N roll yang memukau. Matanya terbelalak. Seven impossible days, nada dering SMS yang tak pernah diganti. Rupanya Tania. Mengirimkan kata-kata pendek puitis.
Ia tak kecewa. Pikir Randy setelah membaca pesan pendek yang tendensius itu. Cuaca pagi menusuk pori-pori. Ia menyusupkan kembali tubuhnya ke dalam selimut. Ia enggan mengatupkan matanya. Pikirannya kembali bertamsya sesuka hati. Merecoki ketentraman batinnya. Sebagai seorang laki-laki Randy merasa tak bisa mempertanggungjawabkan apa-apa lagi. Harga dirinya serasa dicabik-cabik tanpa ampun. Sebagai suami? Hm, barangkali tak berlebihan jika ada yang menuduhnya seorang pecundang. Dua minggu lalu dengan tidak hormat ia dipensiunkan secara paksa di salah satu perusahan besar yang bergerak di bidang pertambangan. Padahal reputasi dan posisi penting telah digapainya di tempat itu. Semua buyar karena Randy bersikeras memprioritaskan pendiriannya. Prinsip. Tak peduli menghancurkan atau menyukseskan. Yang jelas ia harus dipegang teguh. Perbedaan prinsip dengan sang bos menyeretnya di pintu kehancuran.
Randy pulang ke rumah dengan langkah lunglai. Menyerahkan diri dihujani amarah murka para penghuni neraka kecil. Layaknya seorang pidana mati sedang menuju tempat eksekusi. Rumah mertua menjelma menjadi lokasi penyiksaan yang sudah tak sabar mencincangnya sampai halus. Senyum dan keramahan mereka hanya sudi diberikan kepada menantu bertanggungjawab, yang bisa menghidupi keluarga.
Setiba di rumah Randy hanya bisa pasrah dihajar bertubi-tubi lewat hujatan dan caci maki para hakim jadi-jadian. Dan akhir cerita yang sudah bisa ditebak, Ia melangkah keluar dengan hanya ditemani sebuah koper besar.
Seburuk apapun setiap bencana pasti menyisakan hikmah. Setelah terpental dari neraka kecil itu, Randy kembali berlabuh ke habitatnya. Menanggal satu-persatu kenangan pahit yang memagutnya. Aktivitas yang telah ditinggalkan sekian lama, kembali bisa dilakukan lagi di sini. Ia bisa memanjakan lagi jari-jemari bermain-main mengikuti gejolak imajinasi. Menulis adalah pekerjaan yang sangat ia cintai. Sejak menginjak sekolah dasar ia bahkan sudah mulai menulis cerita-cerita pendek sederhana. Seolah pensil dan kertas adalah sahabat karib yang selalu menemaninya setiap hari. Kegemaran ini terus berlanjut hingga ia beranjak dewasa.
Ketika untuk pertama kali cerpennya diterbitkan sebuah majalah remaja, Randy menancapkan tekad memilih menjadi pengarang profesional. Membuang jauh-jauh keraguan dan rasa tak percaya diri yang mengintai dari belakang. Namun tekad tinggalah tekad. Idealisme tak pernah sejalan dengan tuntutan hidup. Setelah menikah istrinya yang tercinta mewanti-wanti agar ia segera mencari aktifitas yang lebih mendatangkan laba, daripada setiap hari hanya berdiam di depan komputer berjam-jam mengerjakan sesuatu yang antah berantah.
Randy Cuma bisa pasrah. Apalagi setelah novel pertamanya ditampik penerbit, semangat menggebu-gebu itu ciut juga.
Empat tahun berlalu. Kerinduan itu muntah akhirnya. Ia bebas menulis kapanpun ia mau.
Jam sembilan pagi ia sudah kembali berhadapan dengan layar komputer. Segelas teh manis mengepul hangat di sampingnya. Seorang sastrawan pernah berucap, menulis di pagi hari merupakan salah satu kunci produktif, sebab tubuh dan pikiran kita masih terasa segar. Tapi sudah setengah jam ia di situ, tanpa menuliskan apa-apa. Randy berdiri. Menuju ambang jendela kamar. Memperhatikan setiap jenis orang yang lalu-lalang di jalan. Lalu kembali lagi. Kebuntuan yang ia rasakan tadi malam belum juga pergi. Padahal cerita itu tinggal melewati satu tahapan lagi. Entah kuman apa yang merecoki kepalanya hingga Mood yang mampir kemarin tanggal. Cerita ini menarik. Aku harus menutupnya dengan menarik pula. Bisiknya pada diri sendiri.
Randy kembali merenung. Ia teringat pada Tania. Perempuan ‘salah sambung’ yang sudah menginspirasinya untuk membuat cerita ini. Ide awalnya ia dapatkan dari pengalaman yang pernah dialami Tania. Persenggamaan kata-kata yang telah melahirkan inspirasi. Benarkah hanya sekedar inspirasi?. Entahlah, yang jelas Randy tak akan bisa memungkiri bila jantungnya berdegup lebih deras dari biasanya setiap kali mendengar getar suara perempuan itu.
Konyol. Aku bukan pria murahan yang sembarang saja jatuh hati pada wanita tak dikenal. Lagipula aku tak tahu dia seperti apa. Pembicaraan hanya terjadi lewat ketidaksengajaan di telepon. Otaknya secara spontan memberikan pendapat. Tapi rasa tetaplah rasa. Ia tak bisa dimanipulasi atau disembunyikan. Mungkin benar cinta tak selalu menerobos lewat mata. Setiap indera mempunyai hak yang sama untuk menstimulus sebuah rasa.
Randy manggut-manggut sambil senyum-senyum sendiri. Seolah menertawai hatinya yang tengah jatuh lunglai. Ia teringat ternyata sekarang tanggal dua belas. Dua hari lagi hari kasih sayang yang mereka agung-agungkan itu akan tiba. Bukankah romantis bila menghadiahkan sebuah cerita pendek pada seorang perempuan yang memiliki arti lebih?. Apalagi cerita itu berkisah tentang dirinya. Randy mencoba lagi menyugesti diri sendiri agar cerita itu bisa cepat selesai. Namun sesaat kemudian ia tak kuasa dipecundangi rasa kantuk yang hebat.
Kenyenyakannya kembali terusik oleh jeritan Steven Tyler di ponsel. Matanya langsung tertuju pada jam dinding yang tergantung di samping poster Vladimir Nabokov. Sudah jam delapan pagi. Itu berarti ia telah terlelap selama lima belas jam.
“Halo?” suaranya terdengar berat.
“Baru bangun ya?, aku rindu dengar suara kamu. Kemarin aku tak bisa telepon. Adikku minta ditemani seharian jalan-jalan. Kamu sehat kan?”
“Tania?, hm.. iya aku sehat, aku..., juga rindu dengar suaramu”
“Masih terus memikirkan diri sendiri?. Makanya cari kesibukan yang bermanfaat supaya tidak mengkhayal terus”
“Aku mulai menulis lagi”
“Hm.. buatkan aku cerita!”
“Maksudmu?”
“Cerita. Kisah yang mencerminkan tentang kehidupanku. Atau nantilah kalau kau sudah mengenalku lebih jauh”
“Aku sedang melakukannya. Cerita tentang dirimu”
“Serius?. Aku tak sabar melihat isinya. Kapan kau akan memberikannya padaku?”
“Besok” jawab Randy lantang.
“Besok, hm..Valentine?”
“Tidak ada yang salah kan?”
“Aku tunggu”
Kebekuan ini harus bisa kukalahkan. Hari ini cerita itu mesti selesai.
Setelah membilas wajahnya, Randy memutuskan mencari udara segar dengan menyusuri jalanan di sekitar tempat tinggalnya. Belakangan ini cuaca dingin membujuk orang-orang lebih memilih menghabiskan waktu di rumah. Ia menoleh situasi sekitar. Tidak ada perubahan berarti. Hanya memang warung yang selalu dijaga oleh pak tua itu sudah tidak ada lagi. Bangunannya banyak berubah karena direnovasi. Pak tua itu berteman karib dengannya sejak kecil. Selain baik hati, karena sering memberikan permen secara gratis, ia juga tak pernah pelit menaruh bantuan ke tetangga-tetangga sekitar. Katanya ia meninggal beberapa bulan lalu.
“Randy!” seseorang memanggilnya dengan suara lantang. Langkahnya terhenti. Tampak seorang lelaki melambai dari balik pagar. Jufry. Teman karibnya sejak masih kanak-kanak. Pembicaraan bertemakan nostalgia tak terelakkan lagi. Lelaki bertubuh hemat itu memang tak pernah kehabisan bahan obrolan. Lewat lidahnya pembicaraan yang menjemukan sekalipun menjadi menyenangkan.
“Mau minum apa?” Tanya Jufry setelah baru menyadari teman ngobrolnya belum disuguhkan apa-apa.
“Terserah. Yang panas-panas saja. Supaya badan bisa hangat” jawab Randy diiringi gerakan menggigil.
Jufry tersenyum tipis lalu melangkah ke dalam. Tak begitu lama ia kembali.
“Peninggalan hari raya kemarin” celetuknya sembari meletakkan dua botol Kasegaran di atas meja bundar.
Randy tersenyum mungil. Sebetulnya sudah lama ia tak mencicipi minuman keras. Memutuskan menarik diri dan menjadi suami yang baik untuk keluarga. Tapi untuk kawan lama sesekali tak masalah. Pikirnya.
Pembicaraan berlanjut tanpa jeda hingga sore. Meski kedua wajah mereka sudah terlihat memerah, suasana tetap santai diisi lelucon-lelucon konyol keduanya. Menertawai keusilan-keusilan yang mereka perbuat waktu masih sekolah dulu.
Randy menoleh penunjuk waktu di lengan kirinya. Ia teringat dengan janjinya besok. Dengan kepala sedikit pusing ia bergegas pulang. Berjalan cepat menuju dapur dan meneguk segelas penuh air putih. Komputer segera dihidupkannya. Tidak perlu menunggu semenit Randy tersandar tak berdaya di tempat duduk. Kembali tertidur.
Ibunya yang baru saja pulang membangunkannya karena komputer menyala begitu saja tanpa digunakan. Randy sekali lagi membilas wajahnya di wastafel dapur. Ditatapnya cermin itu. Ia meraih handphone di atas bantal. Satu pesan masuk. Besok aku tunggu di halte depan Bank. Jangan lupa bawa ceritanya Ya!, I LU.
Randy tertegun. Menatap kembali tiga huruf terakhir di pesan itu. I L U. Ia tak begitu mengikuti perkembangan terakhir istilah-istilah yang berkembang dalam sms. Namun, untuk memahami tiga abjad tadi rasanya siapapun tidak perlu repot-repot mengecek kamus khusus pesan pendek.
Sejauh itu perasaannya padaku?.
Tepat jam dua belas malam kalimat terakhir cerita pendek itu berhasil ia rampungkan. Randy menyandarkan punggung dan menarik nafas panjang. Pekerjaan yang unik. Mengasyikan sekaligus melelahkan. Senyum kepuasan terbit di wajahnya. Kini ia bisa benar-benar tidur tanpa beban apapun lagi.
Keesokan paginya Randy mengecek kembali karyanya. Melakukan revisi dan mengedit segala kekurangan agar hasilnya benar-benar utuh. Tania mengirim pesan singkat memberi tahu ia akan menunggunya jam sebelas. Randy meracik penampilan semenarik mungkin di depan cermin. Wajahnya berseri-seri, tak sabar menyambut kencan pertama dengan Tania. Bagaimana rupa perempuan itu?. Ia bertanya-tanya sendiri dengan perasaan gugup.
Ketika kaki kanannya melewati ambang pintu, suara mesin mobil terdengar menderum lembut. Seorang wanita muda dan kedua orangtuanya melangkah turun. Randy merapatkan keningnya. Samar terasa denyut jantungnya menggigil. Membelitkan sepersekian menit segaris tanda tanya. Baru saja hendak berbalik badan mereka sudah berada di ambang pintu.
“Kau mau kemana?” respon istrinya ketika mendapatinya sudah berpakaian rapi.
“Aku dan mama papa datang kemari mau minta maaf dan menjemputmu pulang” lanjut sang istri seraya menatap kedua orang tuanya. Mereka hanya diam dengan raut wajah menyesal.
Randy mematung tanpa secuil kalimat. Pikirannya galau. Ia tak mungkin menolak maksud baik ini. Apalagi setelah istrinya menuturkan kalau semalam kedua buah hati mereka merengek hebat meminta ayahnya pulang. Mereka duduk di ruangan itu sambil membicarakan semua permasalahan. Memikirkan jalan keluar yang terbaik untuk keluarganya. Segala sesuatu mulai dibahas dan diselesaikan dengan kepala dingin.
Di dalam mobil pikirannya tak bisa tenang. Membayangkan nasib Tania yang pasti sudah bosan menunggunya sejak tadi. Ia pasti tak akan pernah memaafkanku. Valentine tahun ini hanya akan menjadi Valentine terburuk dalam ingatannya. Dan semua itu gara-gara aku. Desisnya penuh penyesalan. Randy meraih kertas di kantong luar koper hitam. Ditatapnya setiap baris delapan halaman kertas itu. Aku harus tetap memberikan ini padanya. Tidak mesti sekarang. Ini kubuat hanya untuk dia. Semuanya sia-sia bila cerita ini tidak sampai ke tangan Tania.
Setiba di rumah kedua putrinya yang lucu meloncat kegirangan dan menyambut kepulangan sang ayah dengan pelukan erat.
Randy meraih ponselnya di saku. Ia berjalan ke halaman depan rumah.
“Halo. Tania? Randy. Kamu di mana?”
“Halo?” sahutan perempuan bersuara berat.
“Tania. Ini Randy. Kamu di mana sekarang?”
“Ini mamanya Tania, anda siapa?”
“Maaf tante. Saya ada janji ketemu dengan Tania tadi siang. Tapi ada keperluan penting yang membuat saya tak bisa datang. Saya cuma mau berbicara sebentar meminta maaf.”
“Kamu temannya?”
“Iya tante, maaf mengganggu”
“Kalian janjiannya kapan?
“Pagi tadi”
Pembicaraan terhenti lima belas detik.
“Halo?”
“Kamu yakin bikin janji dengan anak saya?”
“Iya tante. Kami memang baru kenal beberapa hari lalu”
“Tania sudah meninggal sebulan lalu karena kecelakaan” tutur perempuan itu terputus-putus. Randy terpaku. Bahkan ketika perempuan itu menangis tersedu-sedu di telepon, ia tetap diam tanpa sepatah kata.


Based on: Kumpulan Cerpen "He..Leh!?"