Penggalan Novel "Sargasso"

1

Mungkin ini detik-detik tersepi yang menari di antara halaman-halaman lusuh sebuah epik tentang kisah berjudul Sargasso. Namaku. Cerita yang mungkin telah tersusun rapi sebelum aku memahat sejarah di bawah langit. Langit cerah yang tak henti memata-matai setiap gerak manusia. Baik, buruk, tangisan, senyuman, kedatangan, kepergian, makian, kekalahan, menang, bergerak sempurna mengisi setapak panjang bernama kehidupan.
Sepi bukanlah hal baru, asing, atau sesuatu yang mengesankan yang harus membuat aku bermangu dalam keheningan. Atau menyambutnya dengan air mata, meratap dengan amarah, berdiam diri di puncak gedung bertingkat sambil mempertimbangkan niat untuk bunuh diri. Ia bukan lagi senjata yang setiap saat bisa saja menghempaskan semua bagian penting dari hidupku. Ia tidak lagi seperti itu. Sepi bagai sebuah tempat tidur, menemani istirahat, membalut kegelisahan dengan cahaya yang remang. Bagai lampu lima watt, sangat remang.
Aku melinting sisa-sisa tembakau puntung kretek yang ku pungut di segala sentral tempat asap nikotin dinikmati dan dibuang. Pagi tak lagi lugu. Dentuman lonceng gereja berbunyi memecah udara. Sisa-sisa embun melekat di sebuah cermin dekat jendela kamar ukuran 3x3 ini. Mengajak sepasang inti retinaku melepaskan pandangan pada sesosok di potret itu. Masih menggetirkan rasa. Masa dua tahun bukan waktu yang cukup untuk melepaskan butir-butir agung sebuah “kesempurnaan”. Ia tak terlihat lagi sejak dua tahun lalu.
Ia kecewa hidupnya begitu. Terlihat jelas di matanya yang tanpa pelangi sedikitpun. Ia harusnya bahagia. Aku tahu hal itu. Semua perempuan seusia itu harusnya bahagia. Langit patut mendung kalau perempuan sesempurna itu terhempas jauh dari kebahagiaan.
Ia ingin bebas. Aku bukan orang yang cukup bebas untuk tidak mengatakan ia ingin bebas. Meski kebebasan sering disembunyikan dengan sengaja dan dengan alasan kuno, sekuno cara berpikir orang tua yang masih saja terperangkap dalam kungkungan tradisi menyesatkan. Ia pernah menceritakan padaku ingin bebas sebebas-bebasnya. “Kalau burung hanya sanggup menggapai langit, aku ingin menembus angkasa luar, bertengger di planet-planet tak bernama” katanya padaku waktu itu. Aku tak tahu apakah ia ingin mengajakku merebut kebebasan itu bersama. Ada sesuatu dalam nada suara itu yang memaksaku mengambil kesimpulan demikian. Sesuatu yang melekat di wajahnya bagiku isyarat yang cukup untuk mendukung keyakinan tentang hal itu.
Aku lupa saat pertama bersua hati dengannya. Saat itu cakrawala sedang menapaki titik awal dari sebuah episode yang benar-benar kelam. Hujan tak lagi angkuh melirihkan harmoni datar pada setiap menit-menitku digerogoti mimpi. Sementara jejak-jejak berbekas darah kian sulit terhitung.



2

Seekor kucing putih melayangkan pandang di tepi pagar besi berkarat entah siapa pemiliknya. Aku hanya ditemani jaket jins kusut dan setengah bungkus rokok mild di kantong luar sebuah tas kusam yang enggan kuganti sampai kapanpun. Sebuah kursi tua yang nyaris roboh memikul tubuh cekingku dengan empat kakinya yang kian lapuk. Kucing putih meloncati sehampar rumput, melayang-layang pelan, dan bergegas pergi setelah sosok itu menyapa gerbang taman. Sungguh arogan ia mengandalkan celana tanggung dengan baju mungil biru saat dingin tak lagi berkompromi. Dedaunan masih basah, merpati-merpati mulai berhenti berkelakar mewarnai keceriaan di sekitar genangan air. Pedagang CD bajakan telah mengemasi senjata-senjata hidupnya. Kesunyian senja tak bisa ditawar lagi. Aku terkejut kecil memeriksa pembungkus itu yang tinggal dihuni sebatang rokok. Wih, rupanya nikotin lebih dibutuhkan dari pada oksigen di saat dingin sesangar ini.
Perempuan itu duduk di salah sebuah kursi yang berserakan di taman ini. Cantik. Aku tidak cukup munafik untuk tidak mengakui kalau dia cantik. Meski belum juga memahami manfaat kecantikan fisik bagi perempuan, tapi aku termasuk satu di antara mereka yang masih mengagungkan hal itu. Aku mengira ia perempuan yang teliti. Menebarkan perhatian nyaris setiap jengkal luas taman ini. Tak mungkin salah kalau aku masuk dalam deretan objek yang ia perhatikan. Tangannya meraih-raih sesuatu, hm.. sebatang Marlboro putih kemudian terapit dengan lembut kedua daun bibirnya. Pemandangan tadi sempat menggiring pikiranku pada sepersekian menit rasa tak percaya. Gadis yang simpel. Jauh dari kesan hedonis. Tak tergores make up, lipstik, dan segala unsur kapitalis yang memporak-porandakan karakter perempuan modern. Tenang. Namun kental dengan kesan liberal.
Sesaat ia berlalu. Tanpa meninggalkan apa-apa. Tanpa kata sapa. Tidak juga senyum yang menjadi salah satu pokok harapku sejak tadi.
Malam tak lagi remaja. Situasi psikologis tak mengizinkan hamparan gemintang menggeledah ruang pandangku saat ini. Kondisi yang lazim. Keindahan-keindahan tersembunyi setiap sisi keajaiban alam harusnya terapresiasi oleh indera-indera yang sehat. Rasa lelah membuka jalan lebar menuju kembali ke rumah itu.
Sebuah rumah. Entah sebutan itu pantas untuknya. Ia tak lagi sama tatkala sepuluh tahun yang lalu. Bentuknya berubah drastis. Sedikit lebih terawat. Untuk kenyamanan jasmani cukup memberikan kepuasan saat ditinggali. Penghuninya pun tak lagi sama dengan sepuluh tahun itu. Bukan soal orangnya. Hanya jumlah yang berkurang.
Ia terlihat lebih kaya kini. Belakangan aku merasa tempat itu terlihat lebih kaya. Berbagai peristiwa menghambur, berserakan, tak jarang serpihan-serpihannya yang tajam menyambar setiap hati penghuninya. Ada yang marah, sampai memaki-maki tiada henti. Yang menangis bagai gelombang badai, datang dan surut mengikuti siklus-siklus kesedihan. Aku satu di antara keduanya. Menyambut segalanya bagai salju, menghampar luas dengan ketenangan. Saat cahaya mentari membelai, melebur pelan tak tersisa.



Malam minggu. Sesaknya pusat kota dengan jejeran ragam manusia mengingatkan aku kalau sekarang ternyata malam minggu. Sebuah anggapan angkuh mungkin, rasanya aku masih terlalu hijau untuk melupakan nikmatnya malam minggu. Malam keagungan semua remaja di kota ini. Manado adalah surganya kehidupan malam. Tak ada yang tak bisa dinikmati di sini di malam hari. Berbagai tempat bergeser cepat dari hakekatnya dengan berubah menjadi area hiburan saat malam menyingsing. Boulevard yang anggun. Begitu gagah membentang, menyekat pantai dengan jantung kota. Entah mimpi nenek moyang atau racun modernitas. Selepas sore, menyibakan wewangian nafas pemburu-pemburu nilai kehidupan. Penjual makanan berderai mengepakan dagangannya di pinggiran jalan. Bisikan tawar-menawar penjajah seks menyiar di telinga ketika melewati trotoar. Tambio-tambio semakin memiliki identitas dalam berekspresi. Dari kelas hotel sampai bahuk di kangkong-kangkong dengan tarif miring tinggal masalah kantong.
Hampir jam sembilan. Enam menit lagi kira-kira. Moodku belum nyaman jika langsung pulang jam begini. Kuputuskan mencari suasana-suasana lain dulu. Toko kaset bagus juga. Kegiatan rutin. Kurang kerjaan selesai kuliah, atau teraniaya rasa bosan di rumah. Pelariannya kalau bukan Toko buku, bioskop, ya toko kaset. Genap sudah delapan bulan memata-matai album-album baru tanpa sekalipun mengantarnya di kasir. Kondisi Paceklik masih membelenggu, entah sampai kapan.
Setelah sepuluh meter wajah itu benar-benar jelas. Depan Mega mas. Benar. Entah ia masih mengingatku atau tidak. Rambut melewati bahu begini membuat penampilanku terasa asing untuk teman-teman lama. Tak salah. Tanpa sapa, senyumpun tidak. Ia melewatiku seperti bus Manado-Tomohon melaju tanpa hirau anak-anak yang bermain di pinggiran jalan. Tiga tahun mungkin terlalu lama untuk mengingat lagi seorang kawan lama. Junie. Aku menyebutnya kawan.
Sejauh mata mengamati, idealisme itu belum menenggelam. Meski rambut halus itu tak lagi ungu, kini ia membiru. Logam-logam mungil masih melekat di kisaran wajah dinginnya. Tas coklat setelan indian masih akrab menempel, pun rok katun hitam yang bagi sembilan puluh lima persen wewene menganggap bentuknya aneh. Ia sendiri, masih juga dengan sepasang converse putih berjalan tanpa peduli 179 jenis kesan dari 180 orang yang hampir pasti menggunjingkan wanita muda yang berpenampilan seperti itu. Di balik kacamata berbingkai hitam masih menyisakan kesan kedewasaan yang kuat. Lingkungan bawah tanah mampu mengempiskan karakter “usang” pada seseorang. Sesuatu yang pernah menyeretku pada sebuah perenungan, barangkali ahli-ahli agama perlu banyak belajar dari sosok-sosok yang termarjinalkan itu. Saat doktrin-doktrin yang sangat sistematis bahkan tak berdaya mengubah hidup setiap pribadi, Hingga bukan sedikit umat yang mengeluh, menggugat kebobrokan sesamanya yang kerap berlindung di balik perisai religi. Pada sisi ruang yang lain, di pinggiran jalan, emperan toko, kolong jembatan, tercium nafas-nafas pribadi yang setia, bagai virus, menularkan kebenaran yang diyakininya.
“Gasso?”. Lima buah jari berlingkar dua cincin berdesain unik menepuk bahu kananku. Aku tertegun, refleks menutup buku otobiografi Ozzy Osburne yang sedang ku telaah sedari lima belas menit lalu. Sosok yang kudapati bukan penjaga toko buku yang barangkali mulai terusik oleh pengunjung dengan motivasi membaca gratis.
“Junie”. Senyumnya melebar begitu mendapati namanya masih setia tersimpan di memoriku.
“Cukup lama?”.
“Lumayan. Tapi waktu masih misteri” jawabku. Sepuluh detik ia terdiam. Ada sebuah energi magnetik yang membawaku tak kuasa mencontohi sikap mematungnya.
“Huh... tiga tahun! Gasso.....i miss u...” ia memekik panjang sambil sekuat jiwa dan raga memeluk tubuhku. Dan kami pun sesaat menjadi tontonan orang-orang sekitar.
“Aku membuntutimu dari tadi. Gondrong kang! Lumayan, tampang polosmu jadi sedikit mengabur. Tapi tetap saja garis wajah lugu itu bisa dilacak identitasnya.
“Syukur masih ingat, aku hampir saja mendoktrin diri sendiri untuk melupakanmu selamanya karena sikap tak acuh tadi”
“Untuk menghapus kesan seorang Gasso butuh dua kali reinkarnasi, melupa Junie lebih sekarat lagi, kamu harus tunggu Plato dan Konfusius lahir kembali di jagat raya” balasnya terkekeh.
“Gimana kabar named-named lain?” tanyaku.
“Entahlah, anak-anak lagi gemar berpencar. Sudah sekitar dua bulan aku tidak kumpul lagi dengan mereka, markas sunyi terus. Paling dua tiga orang yang sudah dipecat status keanggotaannya di keluarga masing-masing, hingga tak ada jalan lain selain menghabiskan bahtera hidupnya di markas. Kata yang lain, manusia harus hidup nomaden, menyelidiki misteri-misteri ilmu tentang kehidupan”
“Hm.. kamu sendiri? Katanya mau kuliah di Sidney?. Setahun lalu aku sempat menghubungimu. Ibumu yang mengangkat, aku ngobrol lumayan lama dengannya”
Ia mengangkat bahu. Menyiratkan rasa enggan memperbincangkan hal itu.
“Pikiranku sering tak menentu. Aku benci berkecamuk dengan lelah di sana tanpa belaian mama. Ia sumber energiku. Sulit terimajinasikan melewati rintangan-rintangan menggelikan tanpa bisa mengadu ke mama. Hal itu lebih mengerikan ketimbang hidup di pulau terpencil sekalipun. Ini semacam keterikatan. Barangkali aku bebas dalam segala hal. Berkarakter mandiri di mata orang. Tetapi untuk yang satu ini butuh proses panjang” jawabnya jujur.
Aku tersenyum tipis. Dalam beberapa hal ia belum berubah. Masih menempel di otakku saat tur berlabel “cari ketenangan” pada minggu menyejukkan pertengahan Februari di desa kurang populer pelosok Minsel. Junie peserta tur putri tunggal. Ketika yang lainnya sedang berpesta pora, menyicipi minuman asli produk daerah, ia menelepon mamanya sambil menangis minta dijemput. Katanya homesick berat. Manusia memang aneh, dari satu sisi melekat kelebihan yang orang lain tidak punya, di lain hal memiliki kelemahan yang tak jarang, Benar-benar konyol.
Akupun punya itu. Kekonyolan yang di mata Mayoritas teman-teman kerap menimbulkan rasa muak yang amat sangat. Kendati tidak jelas juga apa kelebihan-kelebihanku, mereka pernah melelehkan air mata saat kuberi tahu hendak mengikuti ayahku pindah ke keluar daerah. Entah itu sebuah sandiwara kurang lucu untuk membujukku, atau benar-benar ekspresi jujur dari lubuk hati. Yang jelas aku benar-benar dipaksa terharu waktu itu. Dan secara spontan membatalkan keberangkatan, sembari menghibahkan uang tiket untuk hura-hura bersama. Mungkin di situlah kelemahanku yang paling memuakkan. Aku tak bisa hidup tanpa mereka. Bukan tanpa siapa-siapa, tapi tanpa teman. Mereka sungguh berarti.
Sahabat tidak selamanya menenangkan. Hal ini berlaku juga untuk keluarga, kekasih hati, atau pembimbing-pembimbing “psikologis” lainnya. Dalam beberapa situasi adakalanya aku ingin sendiri. Menyetubuhi kesunyian dalam alur pekatnya. Bergerak mengikuti papahan alami kekuatan-kekuatan serupa kabut menyelinap kesegala arah. Kadang aku terkaget-kaget sendiri mendapati diri terbaring tanpa penutup tubuh di bibir laut dengan arah mata menyorot langit. Atau Gwen, kakak perempuanku, yang nyaris pingsan melihat aku telentang sendirian di kamar mandi tanpa tahu sebab-musababnya. Keanehan-keanehan seperti itu masih misteri, yang pasti selalu terjadi ketika aku berubah menjadi seorang pemuja kesepian. Tak seorang pun dari mereka yang tertarik bersosialisasi denganku kalau penyakit aneh itu kambuh. Keanehan itu terus berlangsung hingga aku kelas dua SMA.
Kami terus berjalan menyegarkan mata dengan menelusuri setiap bagian bermutu dari tempat ini. Kulihat Junie mencumbu salah sebuah buku puisi. Nama Goenawan Mohamad tertera di sampulnya. Ia terlihat serius memfokuskan perhatian pada halaman demi halaman buku lumayan tebal itu. Sejak saling mengenal dulu, setahuku ia memang seorang penggemar berat bentuk sastra metaforis tersebut. Dan aku menemukan sosok yang berbeda darinya ketika membacakan puisi dengan penjiwaan yang memikat di atas panggung. Junie yang sehari-harinya kutemui seperti lenyap, meluapkan aura yang benar-benar berbeda. Dan aku sungguh menjadi pemujanya saat itu.
“Membaca Goenawan berarti mengajak kita merenung” ucapnya setengah lirih sembari meletakkan bahan bacaan tadi ke tempatnya semula.
“Bukankah setiap puisi selalu kaya akan perenungan?” balasku.
“Karya-karyanya bukan sekedar perenungan-perenungan biasa. Ia berbicara tentang manusia, membelahnya dengan diksi berjuta nilai. Hebat. Benar-benar penyair sejati” tukasnya datar.
Aku bukan seseorang yang menyayangi puisi. Singkatnya, aku benci dengan jenis sastra yang satu ini. Kendati sebagian besar kawan-kawan di kampusku rata-rata adalah penyair. Ya, aku kuliah di Fakultas Sastra. Tempat berhuninya segala aneka mahluk langka. Melampiaskan bermacam ekspresi dalam berbagai wujud, tanpa ada seorang pun yang nekat mengganggu gugat.
Pada dasarnya aku memang muak dengan segala hal yang dibunga-bungakan. Memanipulasi segala sesuatu dengan kiasan. Meski mengapresiasi penyair membacakan karyanya bisa memberikan kepuasan tersendiri bagiku. Aku benci menulis puisi. Kalaupun itu kulakukan, hal tersebut sulit dijelaskan. Junie tentu lain. Bila hampir semua orang memuntahkan keluh kesahnya lewat diary, ia bergores-gores dengan pengandaian mengejahwantahkan gumulan hati.
Kami saling menukarkan pengalaman berkesan sepanjang tenggang tak bersua. Matanya selalu berbinar-binar saat itu. Aku lebih banyak mendengar. Meresapi setiap cerita-cerita yang terkemas lewat suara merdunya. Tidak ada yang tahu kalau aku lebih bahagia dari siapapun di dunia ini kala itu. Saat-saat seperti itu sungguh membuat malam tak terasa gaungnya. Ia melirik arah jarum sebuah jam di lengan kiri. Hampir setengah dua belas. Bagian-bagian tertentu dari pusat kota telah ditinggal kebisingan. Kecuali tempat kami duduk. Semakin menyemarak diwarnai beragam manusia yang sebagian besar adalah perempuan. Cantik-cantik. Dengan berbalut busana yang menantang, mengundang pemburu-pemburu malam datang menghampiri. Di depan kami berdiri salah satu hotel termegah, tempat biasa mereka “menghabiskan” malam panjang. Junie sedikitpun tak risih menempatkan dirinya di tempat seperti itu. Sambil tak henti melahap snack kegemarannya, kami terus bercerita. Menoleh kembali deretan kenangan yang sempat menarikku pada buaian-buaian kecamuk rasa. Aku sempat hinggap beberapa waktu pada sebuah garis membingungkan antara dua dunia yang jelas, berbeda rasa.



Waktu itu Gasso 16 tahun. Dan serupa gelora-gelora hijau lainnya, paling tak tahan berdiam-diam lama di kelas menyimak rentetan ocehan si tuan-tuan ilmu. Mitos yang berkembang, sang jawara-jawara kelas adalah si culun berkacamata, mencintai buku pelajaran ketimbang perempuan, mentahbiskan perpustakaan sebagai kediamannya yang kedua, hingga disepakati bersama tidak layak diberi gelar anak gaul. Mitos-mitos tadi begitu mengerikan, menghantui, memaksaku sebisa mungkin menghindari ciri-ciri tadi. Dan memang berhasil. Ajakan Kent seperti tarikan kecil, membius, dan si hiu pun lemah gemulai mengikuti gerak tali pancing pergi. Saat yang sama ketika rumus-rumus kimia bak lebah mengitari setiap sel-sel otakku.
“Kita ke mana Kent?”
“Tetap tinggal kalau ingin lebih stres, ikut saja kalau mau happy”
Tanpa menyela, aku seperti anjing buldog kecil bergegas mengikuti kemana sang tuan pergi. Bergantian gotong royong menaklukan pagar tembok kurang lebih dua meter tingginya di belakang sekolah. Satu hal yang tak pernah sekalipun kami lakukan dalam dunia pelajaran. Direstui tawa singkat om Mario si empunya kantin, selanjutnya kehebohan kecil melalui teriakan ejekan murid-murid perempuan. Belakangan diketahui kalau Ibu Fanny mencak-mencak mendengar pelarian itu.
Ibu wali kelas yang cantik namun kejam, idola murid-murid lelaki usil. Kelas berpenghuni 46 objek didik itu hampir selalu penuh bila sang wali kelas dijadwalkan membagi ilmu. Semua memperhatikan dengan saksama, ada yang berimajinasi, menelan ludah, sampai berfantasi ke dunia lain. Yang pasti tidak ada satupun rumus matematika yang mengendap di kepala.
“Kondisimu fit kan?” tanya Kent.
Sebuah kalimat tanya yang sarat muatan teka-teki.
“Kita buang penat dulu hari ini”
Lanjutan itu mulai memperjelas niat dan tujuan lelaki yang tak pernah membiarkan kepalanya tanpa topi ini. Ia membawaku pada sebuah rumah sejenis tempat kost. Aku menduganya demikian. Dari luar rumah itu tampak sepi. Cat tembok serta kaca jendela yang kumal mempertegas keyakinan mustahil rumah itu berpenghuni. Kent mengetuk pintu depan tiga empat kali. Lantas pintu terbuka, di depan kami berganti sesosok bertubuh ramping, rambut yang digimbal seukuran jari jempol, dan jejeran gigi depan tak terstruktur yang tampak setelah ia mengeluarkan kata sapa.
“Jarang-jarang pagi begini”
“Sekolah mulai membosankan. Eh, ini Gasso, karib seperasaanku, kenalkan”
Kami menuju sebuah kamar sebelah kiri ujung ruangan. Sayup-sayup bisa kutangkap lantunan suara Bob Marley dari sebuah tape. Kamar itu setengah gelap. Hanya dicahayai sinar matahari yang tampak siksa menerobos sebuah jendela mini. Sementara nafasku sedikit tersengal oleh asap yang memenuhi udara di ruangan itu. Seorang lelaki botak langsung menyilahkan aku bergabung melantai dengan empat orang lainnya. Kent terlihat bersenda gurau dengan salah seorang di antara mereka. Seorang perempuan yang kemudian ku ketahui bernama Junie.
Pertemuan pertama kali itu aku hanya berdiam diri. Bergelut dengan alam pikir yang setiap detik kian membiru. Lelaki botak tadi tanpa henti menyodorkan yang baru begitu lintingan lama selesai kugumuli. Ini kali pertama aku menyicipi serbuk Jamaika. Sebagaimana seseorang bergejolak dengan cinta pertamanya, cimeng benar-benar menyeretku hingga ke dunia mimpi. Setiap sela lima menit, Kent, tanpa mengajukan pilihan, menodongkan setengah gelas Cap tikus untuk segera diteguk.
Aku tergeletak dengan segala jenis kegembiraan yang bisa dikhayalkan. Sementara orang-orang ini tanpa jeda menggunjingkan berbagai topik pembicaraan yang masih asing di telingaku. Mereka berbicara tentang ideologi, pemahaman, serta anggapan-anggapan yang tak lazim dalam kerangka berpikir masyarakat umumnya. Dengan intonasi berbicara yang carut-marut, setengah teler, bak Bimbim yang berkhotbah di hadapan Slankers. Yang mencengangkan, mereka tak kehilangan energi secuil pun untuk memperbincangkan masalah-masalah seserius itu saat pikiran tak seutuhnya jernih. Sedang jauh sebelum aku kemari, mereka sudah “bergambar” ria.
“Pindahkan ke kamar depan saja” seseorang mengatakan itu, selanjutnya kesadaranku benar-benar tenggelam....
Aku terjaga empat jam kemudian karena gangguan nyamuk semakin membabi buta. Tempat ini lumayan lembab. Seandai gangguan tadi tak mengusik, entah besok atau lusa mata ini baru bisa terbuka. Tepat di hadapanku sebuah jendela kecil persegi empat yang sudah segelap ini belum juga terkatup. Aku menoleh kiri kanan. Sunyi. Kent melanjutkan kebiasaan menjengkelkannya lagi. Jahanam, entah kali ke berapa ia meninggalkanku tanpa pertanggungjawaban seperti ini. Aku bangkit, sesaat kemudian nyaris terhuyung, merapikan kelusuhan pada cermin mungil itu.
“Hai, sudah lama bangun?” seorang perempuan menyapaku sambil setengah mengacak-acak rambutnya yang meriap basah dengan handuk.
“Gasso kan?, kita tidak sempat kenalan tadi. Aku Junie”
“Eh.. yang lain?”
“Anak-anak lagi pergi ngamen, buat pengisi lambung nanti malam. Kent sudah pulang lebih dulu tadi. Ia tak tega membangunkan kenyenyakanmu” pembenaran yang bagus, tak tega membangunkan kenyenyakan. Dasar keparat. Aku berjalan gontai ke kamar mandi, mengharap air mampu memulihkan rasa pusing. Junie menawarkan segelas teh dingin, tanpa mempertimbangkan rasa sungkan langsung kuteguk.
Beberapa saat tempat itu hanya dihuni kami berdua. Junie begitu lancar membagi pengalaman-pengalaman hidupnya yang dirasa berkesan. Sementara jemari kanannya sesekali mengharmonikan satu-persatu hits Nirvana lewat gitar tua itu. Aku menemui persamaan lewat selera musik grunge dengannya. Pada setiap sela sesekali tadi, perpindahan waktu terasa kental. Andai sepersekian detik itu bisa digeraklambatkan.
“Sepertinya mereka bakal lama. Paling main-main dulu sana-sini. Akan menyenangkan kalau kita jalan-jalan sekarang”
Kalimat tadi sentak memberangus lamunanku. Junie menanggal gitar dalam genggamannya.
“Kita kemana?” tanyaku.
“Kemana arah angin”
Aku dan Junie bergegas pergi mengikuti arah angin setelah meninggalkan secarik kertas di dekat pintu yang bertuliskan, jangan tunggu, sebab kalian bisa mati kelaparan. Junx.
Saat-saat seperti itu adalah pusara berbahan emas yang tak mungkin lekang. Pun berkarat. Ia menancap sempurna di bagian khusus kepala tempat memori-memori cantik tersusun apik. Saat itu minggu kedua akhir tahun. Dan memang bulan Desember, sebagaimana tradisi lama, kota Manado berjingkrak lepas menyambut sapaan Natal. Aku tak kalah pula ikut berjingkrak lepas menyambut cinta pertamaku.
Dua atau tiga mereka yang dekat kerap menggodaku dengan sebutan menggemaskan ini, manusia berwajah jendela. Sedikit unik nan filosofis. Segala sesuatu yang kurasakan selalu bisa terlihat lewat wajah. Memang memalukan, aku tak pernah bisa menyembunyikan isyarat ini. Mengembang begitu saja mematuhi isi hati. Marah, bahagia, malu, jatuh cinta, semuanya bisa diintip lewat ekspresi wajah. Sayang Junie belum memahaminya kala itu. Padahal terlihat jelas air mukaku yang mulai bicara-bicara sendiri.
Kami menghentikan langkah sesaat. Ia tampak lelah. Angin sedang dalam kondisi sehat walafiat saat memapah kami rupanya. Kami duduk setengah selonjor di atas bukit menjorok dekat jalan raya. Membiarkan kedua mata menerobos jauh di antara kemilau cahaya kota. Butiran-butiran keringat merayapi kulitnya. Aku merapatkan diri, dan kurasakan lengannya dingin.
“Kau bawa rokok?. Punyaku tertinggal”
Kugeledah dompetku. Ada dua batang rokok terapit sengsara di sana. Junie menyalakannya dengan sekali gerakan simpel. Pada momen singkat itu, ia terlihat begitu berkarisma. Mengeluarkan sejenis daya tarik yang tak pernah kujumpai pada perempuan lain. Aku menyukai situasi seperti ini. Situasi ketika aku merasa nyaman dengan seorang perempuan.
Di saat-saat tertentu aku melihat Junie seperti tenggelam dalam dunianya. Bermeditasi dengan kepulan-kepulan nikotin, sembari memandang langit gelap yang menghampar seperti gemuruh asap pabrik. Aku tak menyangka ada perempuan seperti dirinya di dunia ini. Santai, begitu menikmati hidup, dengan cara yang benar-benar berbeda.
“Kau punya pacar Jun?” tanyaku spontan. Junie tertegun.
“Kenapa?”
“Apa kau punya pacar?”
Ia tak menjawab. Hanya menebarkan senyum simpul yang memiliki makna kebisuan tak terkira. Kumesrakan tatapan agar suasana bisa terkesan romantis. Sinar mata Junie mengingatkanku akan karya seni peninggalan zaman Renaissance. Suara Junie tak kalah merdu dengan komposisi masterpiece rakitan Beethoven.
“Kalau tak menjawab artinya punya. Kau enggan mengatakan karena takut setiap lelaki yang mendengar merasa putus asa dan segera mengurungkan niatnya untuk mendekatimu”
“Ha..ha..ha.. iya, aku punya pacar, banyak malah”
“Serius?”
“Seribu rius. Cari pacar kan gampang. Segampang mengedipkan mata. Bila sama-sama sepakat, kau bisa saja menjadi pacarku detik ini juga. Perempuan di ujung sana bisa saja menjadi pacarmu sekarang bila kalian memang sama-sama mau. Yang susah itu mencari kekasih. Butuh proses panjang”
“Benar juga pendapatmu, aku setuju”
“Kau lihat jurang di dekat pohon itu?” Junie mengarahkan telunjuknya pada tebing curam yang dipagari pembatas beton.
“Setiap tahun berhembus kabar ada orang mati bunuh diri di sana. Dan herannya motif dari semua korban sama, karena mereka ditinggal pergi kekasihnya. Sungguh absurd ya?”
“Seram juga. Tapi aku tak pernah percaya dengan kebetulan seperti itu. Menurutku tempat ini cukup menyenangkan”
“Sebagian orangtua yang mengetahui mitos itu melarang anak perempuan mereka berkeliaran di sekitar sini. Tapi aku tak peduli. Sama denganmu aku juga alergi dengan mitos seperti itu. Tempat ini justru menyimpan arti tersendiri bagiku. Di dekat pohon cemara ini lelaki itu menciumku untuk yang terakhir kali” Ucap Junie sambil memungut daun kering yang menempel di jaketnya.
”Setelah kepergiannya banyak hal yang semakin tak kumengerti di dunia ini. Namun satu-satunya hal yang tetap kumengerti adalah aku tak bisa melupakannya. Ia adalah lelaki dengan ambisi dan semangat hidup yang selalu menyala-nyala. Terlalu menyala-nyala hingga ia pun lebih mencintai ambisinya ketimbang aku. Ia mengikuti ajakan pamannya mengambil sekolah ilmu filsafat di Inggris. Aku tahu, menahannya untuk tidak kuliah di sana adalah usaha yang sia-sia. Ia pergi dan tak ada jaminan apakah ia akan tetap mengingatku atau tidak. Meski sempat mendengungkan sebuah janji berbentuk harapan, untuk melanjutkan hubungan ini ke tahap yang lebih lagi, aku tahu itu harapan semu. Serumpun kalimat penghibur dalam adegan perpisahan cerita-cerita sinetron. Meski begitu, kucoba meyakinkan hati untuk patuh saja pada harapan itu. Tak ada pilihan. Ia bukan cinta pertamaku. Hanya pemberi makna tentang segala sesuatu yang berarti. Dan itu jauh lebih bermakna dari sejumput cinta pertama”
Segalanya mengalir. Namun hal itu lebih deras menutupi sederet hasrat yang bergemuruh dalam hati. Setiap orang punya impian, Junie telah meletakkan isi mimpinya untuk satu nama. Dan itu bukan aku. Karena paling benci dengan segala hal yang beraroma harapan, aku memutuskan membiarkan diri diapit oleh dua dunia berbeda rasa ini. Ya, cinta dan persahabatan. Meski sesaat berikut ia menghilang. Kedua rasa itu tetap hidup, sampai sekarang.
Sinyal ponselnya menggeletar.
“Lagi sama Gasso ma, di Boulevard. Makan-makan sambil ngobrol. Tidak usah dijemput masih banyak mikrolet.” Jawabnya singkat lantas mengakhiri percakapan.
“Mama mu?”
“Dia baru saja tiba di rumah. Di sana tidak ada siapa-siapa, mama menyuruhku segera pulang. Eh, ia masih mengingatmu. Katanya, kapan-kapan datang ke rumah”
“Nantilah, kalau sudah banyak bahan untuk berceloteh dengannya sampai pagi”
“Masih trauma ya”
“Tidak juga. Mamamu asyik. Tapi aku tak selalu se asyik dia. Kamu tahu sendiri kan?”
“Huh, dasar pemuja kesepian”
“Kamu salah, aku yang dipuja kesepian”
Junie hanya tersenyum sambil melepas pandang ke ujung langit. Bulan terlihat malu-malu memergoki cengkerama kami. Aku tersisir angin di bawah gemintang yang sunyi.
“Kapan kita bertemu lagi?”
“Kapan saja. Aku tak punya agenda penting”
“Sekalian jangan lupa mengembalikan empat buah koleksi berhargaku”
“Aku nyaris lupa. Jangan khawatir semuanya masih tersimpan aman. Nanti kubawa”
“Kuhubungi nanti” Junie memencet 12 digit nomor ponselku dan menyimpannya di memori telepon. Ia masih saja mengingat tetralogi Pram yang kupinjam bertahun lampau. Bila tidak, aku pun kan menganggap tak ingat lagi. Ia lalu menghilang setelah meninggalkan seuntai senyum menggemaskan dari balik kaca mikrolet.
Juli cerah terakhir kali aku melihat senyum itu. Senyum yang sejujurnya begitu menghangatkan. Junie tahu betul bagaimana sebetulnya laki-laki. Pada suatu saat di mana aku tahu kalau itu sebuah isyarat perpisahan, ia hanya menggerimiskan sebilah kalimat seraya menebarkan raut pasti, “jadikan peristiwa-peristiwa itu bagai angin untuk kepakan sayapmu menggapai awan yang kita impikan waktu itu” jika bukan dikatakan mematung, maka aku benar-benar terpaku dan sekiranya, terlihat bodoh saat itu.
Sepasang mata tajam wanita gemuk menohok wajahku dengan rasa kesal. Tanpa sengaja lenganku menyambar tubuhnya. Sedang anak perempuan kecil di sampingnya mengeluh kesakitan teremas lengan kekar itu.
“Sori tante, ndak sengaja”
“Kalau jalan pakai mata!” ketusnya dan berlalu pergi. Aku tak sanggup menahan senyum seraya mengimajinasikan seekor badak yang lari tergopoh-gopoh mengejar pengisi lambung.
Jalan ya pakai kaki, kalo mata yang di pakai tukang sirkuspun membelalak. Dalam hati ku menyela.
Lelucon menyebalkan. Menggenapkan perjalanan hari itu.

2 komentar:

Anonim 19 April 2010 pukul 05.42  

kurang panjang mas postingannya....

Anonim 23 Mei 2013 pukul 07.03  

Weight WondersPsychological Tricks To Get Him Back with cranberry
juice has more powers than one. This is because
a single species doesn't dominate a single area.

my blog; web page

Posting Komentar