Teater Kita, Teater Setengah Hati



(telah dimuat di Media Sulut, 6-7 November 2008)


Merunut periode tahun 2000-an, ada satu fenomena membanggakan melanda alam kesenian di Sulawesi Utara. Yakni membanjirnya kelompok teater dengan keaneka ragamannya masing-masing. Terlepas dari bermacam motivasi yang mendasarinya, hal ini tidak bisa dipungkiri adalah sebuah fenomena yang benar-benar mempunyai gaung. Dengan sedikit kesombongan subjektif saya berani mengatakan sumbangsih tempat saya menimba ilmu (bukan kuliah) Fakultas Sastra Unsrat bukan sesuatu yang “sedikit-sedikit”. Ini bisa dibuktikan dari beberapa penanda yang setidaknya bisa menjadi acuan pembuktian. Entah festival teater maupun pementasan-pementasan momentum lainnya. Tentu, tidak bisa tidak, anggapan ini akan menimbulkan pro dan kontra. Apakah itu dari pelaku seni yang cukup aktif sekarang ini atau mungkin para seniman-seniman veteran yang sebagian besar saat ini hanya meninggalkan memori nama besarnya. Tapi bukan itu yang ingin saya persoalkan dalam catatan singkat ini. Yang dipersoalkan adalah apakah benar hal ini adalah sebuah fenomena yang membanggakan?. Sebagian besar publik yang masih terjebak dalam paradigma orang Manado yang banyak keanehannya barangkali akan menjawab “Ya “. Itulah masalahnya, terlalu banyak keanehan yang diidap masyarakat kita. Jika Rendra punya semboyan klasik yang menjadi rujukan kelompok seninya yaitu “Kegagahan dalam kemiskinan”, maka kita di sini lebih cocok disebut “menggagahkan diri di tengah kemiskinan”. Entah kita sendiri yang tidak menyadari kemiskinan itu, atau parahnya, kemiskinan itu memang sengaja dibiarkan. Beberapa di antara kemiskinan itu adalah, miskin kritikus, miskin infrastruktur, miskin manajemen, miskin kesadaran, dan menurut saya yang paling akut adalah miskin kerendahan hati. Kenapa kerendahan hati? Karena tanpa itu niscaya sebuah perubahan akan tetap sebatas mimpi. Teater, yang oleh banyak seniman dipakai sebagai media mengkritik realitas sosial, dengan dentaman-dentaman peluru yang menghantui para aktor-aktris di panggung politik, secara ironi tak mempunyai pihak yang bisa menegur kesalahannya. Seniman bukanlah mahluk suci yang tak bisa disentuh dengan kritik. Dan tanpa kritik tak ada cermin untuk dijadikan acuan. Akibatnya banyak kelompok-kelompok teater yang sulit terlepas dari kemonotonannya. Kalaupun ada, kritik-kritik itu hanya terlontar melalui cemoohan sumbang antar sesama pelaku seni itu sendiri. Yang menurut saya, bukan bermaksud untuk saling membangun, melainkan hanya ingin mencari kesalahan agar ke”figur”annya sebagai seniman tak dikalahkan oleh seniman lain. Dan akhirnya saya berkesimpulan bahwa seniman-seniman kita tak ada bedanya dengan aktor dan aktris panggung politik di negeri ini. Hujat menghujat agar kediriannya bisa nampak ke permukaan.

Sejauh ini belum ada akademisi-akademisi yang sehari-harinya melahap ilmu tentang pengkajian karya seni, secara intens menulis kritik tentang bentuk atau isi pertunjukan seni yang sedang berkembang. Kemana saja perginya mereka? Tak perlu jauh-jauh mencari. Cukup menoleh ke dalam kantor-kantor instansi pemerintahan, di dalam ruang pembelajaran kuliah yang kaku, bahkan ada yang tersesat di etalase pertokoan atau gedung-gedung bank. Ditambah lagi dengan kecuekan media-media mainstream yang hanya gemar menulis tentang peristiwa-peristiwa seni, tanpa mau mengulasnya dalam kajian kritis. Lalu muncul pertanyaan besar, mengapa iklim berteater kita masih jauh dari harapan? Padahal sudah sejak beberapa dekade lampau daerah ini melahirkan pelaku-pelaku seni yang cukup intens di bidangnya. Saya pun sebagai generasi yang masih hijau sangat mengenal pendekar-pendekar veteran seni pertunjukan Sulawesi Utara yang kesaktiannya menyebar ke mana-mana. Namun kenapa justru nama besarnya yang menyebar, dan bukan semangat berteater yang mereka miliki?. Masalahnya sederhana, tak ada satupun dari mereka yang dengan sejati mencintai bidang yang mereka pilih ini. Kenapa?, karena budaya orang Manado yang cepat puas + cepat juga menyerah, serta suka cari gampang, masih terus berakar sampai sekarang. Potensi-potensi baru yang cukup matang secara artistik terus bermunculan. Namun sayangnya belum ada yang ingin berkorban membangun profesionalitas, kemandirian, agar seni pertunjukan di Sulawesi Utara tidak saja bisa menghidupi masyarakat dengan sajian-sajiannya, tapi juga bisa menghidupi diri sendiri.


Perlombaan Teater Sulawesi Utara, yang banyak melahirkan kelompok teater dadakan


Salah satu contoh kasus bahwa seniman kita doyan “cari gampang” bisa dilihat dari membanjirnya kelompok-kelompok teater saat diadakannya festival perlombaan. Memang tidak ada salahnya diadakan perlombaan-perlombaan yang kerap melahirkan kelompok-kelompok teater kagetan ini, juga bukan suatu dosa jika setiap kelompok teater itu begitu antusias menampilkan pertunjukannya. Toh tak perlu susah payah, tinggal mengumpulkan beberapa pemain, latihan beberapa hari, dan siap unjuk gigi. Mendaftar pun tak perlu repot-repot merogoh kocek, siapapun bisa tampil asal punya konsep untuk dipentaskan. Dan asyiknya lagi, jutaan rupiah siap menanti jika beruntung, atau sajian yang ditampilkan, menarik minat juri. Uang dan pengakuan disandang sang pemenang. Setelah itu selesai. Apresiasi berhenti, aktivitas berteater terlelap, dan tiba-tiba bangun lagi jika ada proyek, momentum, dan perlombaan tahun berikutnya. Sementara ide-ide baru tentang konsep pertunjukan tak henti mengalir, kita terperosok pada rutinitas yang itu-itu saja. Layaknya manusia, semakin dewasa ia, maka semakin terampil pula secara mandiri mencukupi kebutuhan jasmani dan rohaninya. Tapi rupanya teater kita memang belum cukup dewasa meski dari segi usia tidak bisa dikatakan muda lagi. Mengapa kita tidak mencoba mandiri dengan secara intens menelurkan pentas produksi yang termanajemen dengan rapi?. Bermacam apologi serta ketakutan segera menghantui. Ketakutan akan sepinya penonton, kerugian secara ekonomi, kerugian energi dan waktu, serta ketakutan-ketakutan lain untuk menutupi kemalasan kita mengangkat harga diri teater.

Bila mencoba menilik kembali, pada tahun 80-an pernah beberapa kali diadakan pentas produksi oleh praktisi-praktisi teater yang cukup aktif waktu itu. Namun tradisi itu tenggelam begitu saja seiring bergulirnya waktu. Semangat setengah hati yang mengundang rasa geram generasi yang terbit di masa sekarang. Himbauan saya, janganlah terlalu lama kita menyumpah serapahi tokoh-tokoh tua itu. Marilah dengan penuh kerendahan hati kita kembali membangun dari awal usaha ini. Dengan secara bersama-sama menutupi lubang-lubang yang diwariskan mereka. Di satu sisi kita menyumpah serapahi, di sisi lain indikasi kita akan kembali terjun ke jurang yang dilompati sesepuh-sesepuh itu, nyaris menjadi kenyataan. Dan akhirnya kita sendiri yang nantinya akan ketiban sumpah serapah oleh generasi-generasi yang akan datang.
Sesungguhnya sekitar tahun 2004, berlokasi di gedung Pingkan Matindas naskah “Episode Ungu Seorang Penyair” karya Aripank yang disutradarai Vick Chenorre, meskipun sederhana, sempat mengisi kekosongan pentas produksi kita. Namun setelah itu lagi-lagi produksi teater kita diterpa keheningan. Ibarat terapi penyembuhan, pengobatan yang terputus-putus tidak akan mampu menghilangkan sebuah penyakit. Untuk mencapai hasil yang maksimal, setiap pengobatan mesti dilakukan secara intens dan teratur. Karena itu pementasan produksi secara reguler adalah kewajiban yang harus menjadi tanggungjawab kita semua sebagai pelaku seni teater. Memang ada sedikit titik cerah ketika beberapa waktu lalu diselenggarakan beberapa pementasan produksi di gedung Pingkan Matindas. Meski memang terkesan hanya sebatas memanfaatkan momentum karena berbarengaan dengan Festival Bunaken. Untuk ke depan, masalah ini harus menjadi tanggungjawab kita bersama. Agar nantinya Manado tidak hanya dikenal dengan perempuannya yang cantik-cantik tapi blo’on, atau kota yang Cuma tau bagaya, tapi juga bisa dikenal sebagai kota seni dan budaya, yang adalah ciri khas utama sebuah kota pariwisata. Sudah selaknyalah pula pemerintah menaruh perhatian pada kemajuan seni pertunjukan, bila memang cita-cita menjadikan Manado sebagai kota pariwisata dunia bukan sebatas wacana yang main-main. Kalu turis mo datang ka Manado Cuma mo lia mall-mall pe pai, dorang bilang beking lalah. Karna pa dorang pe negara tu mall-mall jao lebe pai kasiang...
Saya sedikit cemburu, dengan Teater Koma, salah satu teater besar Indonesia, yang tak perlu khawatir pertunjukan produksinya sepi penonton. Karena masyarakat sudah terlanjur menaruh percaya akan nilai atau gizi yang akan dilahapnya ketika menonton pertunjukan teater yang mereka suguhkan. Sehingga mereka terus datang, dan datang lagi. Kepercayaan seperti itu beberapa tahun ke depan bisa kita dapatkan. Asal kita secara serius bersedia berkorban, tanpa menyerah, dan tidak angin-anginan. Boleh kira-kira? Agaknya sih......

Merenung

MARKUS termasuk pria dewasa yang jarang merenung. Tabiat itu ia sadari setelah akhirnya ia merenung juga siang itu. Di saat karyawan-karyawan bawahannya tengah sibuk bekerja, ia malah merenung.
Merenung sebetulnya bukan aktifitas rumit, bisa dilakukan di tempat manapun. Orang tinggal duduk, tidur, dan merenung. Tapi Markus begitu tak habis pikir kenapa sampai ia jarang sekali merenung. Padahal kalau saja terpikir, ia bisa merenung saat jam istirahat kerja, sebelum tidur, dan banyak lagi kesempatan yang bisa ia manfaatkan untuk melakukan pekerjaan yang hanya memerlukan sedikit energi itu. Meski memang ia harus mangabaikan rutinitas lain yang telah sangat melekat sebelumnya.
Dan kalau Markus akhirnya merenung, itu tidak terjadi begitu saja. Minggu lalu Reni, anak perempuannya, yang setahu Markus begitu cerewet dan lucu, semakin menegaskan bahwa ia memang tak lagi selucu yang diharapkan.
“Kamu kok akhir-akhir ini sudah jarang minta duit?” tanya Markus sambil menyemir sepatu mahalnya sebelum ke kantor pagi itu.
“Aku hamil Yah, jadi mungkin mau cuti setahun dulu. Selain itu setelah dipikir-pikir rasanya aku butuh libur panjang, bosan belajar terus” sahut Reni seraya melahap roti tawar lapisnya di meja makan.
Sebagai orang tua normal, Markus terperanjat. Sungguh di luar dugaan pertanyaan sederhana itu memperoleh jawaban yang sama sekali tidak sederhana. Seketika ia merasa menjadi berkali-kali lipat lebih tua dari usianya yang baru tiga puluh delapan tahun. Markus tak tahu mesti memilih ekspresi apa menanggapi kejutan itu. Terlampau riskan baginya jika harus marah, akan sangat menggelikan mengingat di mata anak-anak ia adalah pribadi yang bersahaja. Tenang-tenang saja akan menimbulkan anggapan bahwa ia orangtua masa bodoh dan tak memiliki sikap.
Pikiran Markus melantur kesana-kemari mempertimbangkan mungkin ada yang salah dengan dirinya. Memiliki istri yang bahagia, dua orang anak yang penurut, sebetulnya adalah bukti nyata bahwa ia merupakan seorang kepala keluarga yang cukup sukses. Jika dikatakan kurang, itu terlampau mengada-ada. Apalagi sebagai pengusaha perusahan yang ia pimpin terus menunjukkan tanda-tanda peningkatan dari tahun ke tahun.
“Rasanya aku tak kenal lagi dengan Reni”. Bisiknya dalam hati. Ia lupa kapan terakhir melihat putri bungsunya masih lucu dan menggemaskan. Yang selalu dipeluknya erat-erat ketika sore hari pulang dari kantor. Yang senyum manisnya mampu melumpuhkan rasa stres setelah bekerja seharian. Kenapa kenangan itu seperti ditelan bumi?. Markus manggut-manggut sendiri. Jelas itu tak terjadi lagi karena sekarang ia pulang ke rumah bukannya sore, tapi malam atau menjelang subuh. Lantas kemana saja Markus hingga tak langsung berlabuh di rumahnya yang mewah?. Tanyanya lagi pada diri sendiri. Paling main billiar dengan rekan bisnis. Kemudian santai-santai di sebuah kafe. Minum bir sambil khusyuk masyuk dengan Linda, wanita sexy tempatnya menumpahkan beban dan gundah gulana. Ngobrol-ngobrol, tukar pikiran, yang ujung-ujungnya main-main di kamar hotel.
Banyak hal yang dipuja Markus dari perempuan itu. Boleh jadi apa yang dibutuhkannya dari seorang wanita melekat erat pada diri Linda. Sifatnya yang manja, senyum manis, bagai malaikat kesejukan. Tak heran Markus sering memeluk bantal erat-erat jika sebelum tidur pikirannya terdampar akan manisnya perlakuan yang diberikan perempuan itu. Bahkan suatu waktu sepasang kekasih ini pernah menghabiskan masa-masa manis sambil menikmati panorama indah kota-kota eksotis di Eropa sebulan penuh. Sesuatu yang tak sekalipun ia jalani bersama istri dan anak-anak. Jangankan jalan-jalan ke luar negeri, rekreasi ke pantai di hari libur saja rasanya tak pernah. Toh istrinya tak pernah protes, atau mengeluh dan menarik diri sebagai pribadi yang penurut. Reni dan Raymond terlihat nyaman-nyaman saja dan tetap menikmati masa muda mereka sebagai remaja modern. Hingga bagaimanapun, segalanya tetap tampak harmonis.
Siang itu setelah merenung dua jam penuh, Markus merasa perlu mengambil sikap. Ia tak melancong kemana-mana sehabis kerja. Mobil lekas-lekas di kebutnya ke rumah. Rupanya masih sunyi. Cuma pembantu sendirian sedang menyiram bunga. Markus melangkah pelan ke dalam. Tas kantor diletakkan begitu saja pada kursi di teras. Ia duduk di situ menanti putri kesayangannya pulang. Menjelang malam Reni tiba di rumah diantar seorang lelaki dengan sebuah sedan hitam.
“Dari mana kamu?” Markus mencoba berwibawa dengan menajamkan tatapan.
Reni diam sesaat. “ada apa Yah?”. sapanya tersenyum.
“Duduk, ada yang mau Papa bicarakan”. Reni tetap tenang lalu duduk di kursi depan ayahnya.
“Entah papa atau kamu yang salah. Tapi belakangan papa cukup tercengang melihat perkembangan kamu. Selama ini papa kasih kamu kebebasan karena papa yakin kamu tahu yang terbaik. Sekarang tidak ada gunanya membahas hal itu. Rencananya kamu mau papa nikahkan kapan?”
Reni terkejut. “Menikah?, siapa yang mau nikah Pa?”
Markus tak kalah herannya. “maksud kamu?”
“Menikah di umur enam belas tahun tentu malapetaka bagi siapa saja dong Pa, aku masih ingin menikmati masa remaja”
Lagi-lagi keberanian anaknya membuat Markus rikuh. “terus status kamu bagaimana setelah melahirkan nanti?”
“Pokoknya aku belum mau menikah. Kalau bayiku lahir kita bisa sewa babysitter untuk merawatnya kan, Papa tak perlu khawatir”
“Yang papa maksud status kamu”
“Sekarang jaman modern Pa. Masak segala formalitas begitu masih dipikirkan”
Markus diam. Dan percakapan antar anak dan ayah itu berakhir begitu saja tanpa berlarut-larut.
Karena istri dan anaknya yang sulung Raymond tidak terlalu mengambil pusing dengan kehamilan Reni, perlahan persoalan itu tak lagi membebaninya. Zaman memang sudah berubah. Ia masih mempunyai harta yang melimpah untuk menghidupi cucu-cucunya nanti. Semua bukan masalah. Setiap orang mempunyai pilihan hidup sendiri. Ia merasa perlu menghargai pilihan hidup yang diambil Reni. Apalagi gadis cantik itu satu-satunya anak perempuan kesayangannya.
Reni menjalani proses penantiannya sebagai seorang ibu dengan bahagia. Pacarnya sesekali datang ke rumah menengok kondisi Reni dan calon buah hati mereka. Hidup bergulir tenang. Markus semakin sibuk bergelut dengan lika-liku bisnis perusahan. Sang istri tetap keasyikan dengan urusan antar ibu-ibu lain sesama istri pengusaha kaya. Setelah melahirkan, seperti yang sudah direncanakan, seorang penjaga bayi direkrut untuk mengurus bayi mungil nan sehat itu. Reni tampak sudah tidak sabar untuk menikmati kembali masa mudanya bersama teman-teman yang lain. Dan segala sesuatupun bergulir normal.
Manusia memang tak ada puasnya. Setelah setahun lewat, Markus mulai menemui titik jenuh menjalin hubungan intim dengan Linda. Kini apa yang dipujanya dari perempuan itu terasa lebih memuakkan dari rasa stres. Apalagi di saat bersamaan perempuan itu mulai menuntut sesuatu di luar porsinya sebagai simpanan. Ia membujuk Markus membelikan sebuah rumah pribadi. Dan yang terparah, Markus dihasut untuk menceraikan istri kemudian mengawininya.
Merasa sudah keterlaluan, tanpa banyak pikir perempuan itu ia tinggalkan. Hanya akan berakibat buruk baginya jika terus mempertahankan hubungan itu.
Ternyata setelah itu hidupnya tak menjadi lebih baik. Rasa kehilangan menamparnya telak beberapa waktu setelah perempuan itu ia depak. Ia sadar betapa sulitnya melupakan masa-masa indah yang telah sekian lama mereka rajut. Menyikapi masalah ini Markus berpikir untuk mencari pengganti Linda. Seorang perempuan yang akan dijadikan tempat pelampiasan alternatif.
“Kamu masih doyan jajan kan Rob?”
“Kadang-kadang, paling seminggu sekali setiap akhir pekan”
“Carikan aku mainan baru ya”
“Kalian pisah?”
“Bukan pergunjingan menarik!”
“Ada sih, akhir pekan kemarin aku baru mencobanya, memang dahsyat Man, pokoknya kamu tidak bakal menyesal. Namanya Yuli. Banyak yang sudah mencoba, dan semuanya terperangah” Roby menggebu-gebu mempromosikan mainan barunya. Markus tersenyum dingin. Meski tenang-tenang saja ternyata ia penasaran.
Ketika Markus mengangkat topik pembicaraan yang sama dengan teman-teman kantornya yang lain, nama Yuli selalu dipergunjingkan. Rata-rata rekan bisnisnya sesama pria-pria haus hiburan memuji habis-habisan perempuan itu.
“Benar-benar servis kelas wahid. Semalam penuh tubuhku banjir keringat” tukas Sinyo tak kalah bersemangat. “rugi betul kalau tidak dicoba” lanjutnya.
“Mungkin nanti” jawab Markus tenang.
Di belakang meja kerjanya Markus kembali merenung. Lama-kelamaan pola hidup seperti ini membosankan juga. Setiap hari mengurusi pekerjaan. Menikmati puncak keberhasilan seorang laki-laki. Senang-senang dengan rekan kerja. Ia sadar telah lama terkurung dengan dunia sendiri. Dan kebiasaan ini semakin menjauhkannya dengan keluarga. Usia tak pernah abadi. Kejayaan tak melulu mendampingi setiap orang. Ia benci membayangkan bila seandainya terpuruk miskin tanpa menikmati kebersamaan dengan keluarga. Alangkah sepinya saat-saat seperti itu. Ya, kepala keluarga menentukan segalanya. Ketentraman sebuah tempat tinggal tak akan lepas dari kontribusi kepala keluarga. Jika ia berubah menjadi lebih baik, maka seisi rumah akan baik pula.
Markus kukuh membulatkan tekad. Sudah saatnya ia mendisiplinkan diri menjadi sosok suami atau ayah yang semestinya. Tak lama lagi umurnya mencapai setengah abad. Sangat tak masuk akal bila ia masih menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tak berguna. Apalagi di usia seperti itu maut paling gemar berkhianat. Sepatutnya berubah sebelum terlambat.
Hari-hari berikut perilaku Markus berubah drastis. Di rumah ataupun tempat kerja ia menjelma layaknya tokoh bijaksana pengayom orang-orang sekitar. Sikap yang nyaris membuat keluarga dan teman sekantor mati keheranan. Ketika mereka meminta penjelasan, Markus hanya menjawab dengan penuh wibawa, “ aku cuma ingin mengisi hidup dengan baik”. Titik. Tak ada lagi penjelasan lanjutan.
Jadwal kegiatan Markus kini mulai diatur seperlunya. Agenda-agenda yang tak penting sedapat mungkin diminimalisir. Pokoknya saat ini keluarga yang utama. Kini ia pun lebih banyak di rumah ketimbang keluyuran di luar. Membaca buku-buku psikologi dan literatur tentang ilmu kehidupan. Jika terhinggap waktu senggang ia tak segan-segan membantu tukang kebun membersihkan dan menyiram tanaman. Berkali-kali rekan sekantor meneleponnya untuk sekadar minum bir di pub, makan malam bersama di restoran mahal, semuanya ditampik.
Malam itu ia Cuma sendirian. Pembantu sudah tidur karena kelelahan. Istri dan kedua anaknya belum pulang sejak pagi. Ia duduk menyamping di tempat tidur. Menikmati wajah polos cucunya yang sedang terlelap memeluk boneka anjing. Markus tersenyum. Rasa tenang menelusup di hatinya. Ia kembali ke kamarnya. Berbaring dan menghayal sesuka hati. Setelah itu membaca buku. Malam semakin larut ia masih diam sendiri di tempat tidur. Tiba-tiba Markus merasa diserang rasa sepi yang hebat. Lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketenangan yang ia harapkan tak kunjung datang. Ia bangkit menuju teras rumah. Menghirup udara malam ditemani segelas kopi pahit. Kembali memikirkan diri sendiri.
Markus tak tahan juga. Ia menelepon seseorang.
“Kamu lagi di mana Rob?”
“Aku di kafe biasa bersama teman-teman lain”
“Aku segera ke sana”
Markus bergegas keluar rumah untuk menyegarkan diri sejenak. Tak ada salahnya sesekali menikmati kehidupan malam. Pikirnya.
Roby dan dua temannya menyambut teman lama mereka dengan senyum.
“Begitu dong, jangan jadi orang baik terus” ujar Sinyo yang disambut tertawa tiga orang perempuan yang sedang mengerumuni mereka. Markus tetap diam dan meneguk segelas bir di meja.
“Kamu mau yang segar-segar kan?” tukas Roby menggoda.
Markus tersenyum. “memangnya untuk apa aku kemari?”
“Masih ingat perempuan bernama Yuli yang aku ceritakan itu?. Kamu mesti mencobanya malam ini” Roby beranjak memesan wanita untuk Markus.
Bergelas-gelas minuman habis diteguknya. Seolah hendak membalas dendam setelah berminggu-minggu berhenti mencicipi minuman keras. Markus melayang ke dunia ke tujuh. Hatinya girang sekali.
Ia berdiri dan melangkah ke kamar yang sudah disediakan. Markus tak tahan untuk segera mencumbui wanita cantik itu. Dengan terhuyung-huyung ia menggerakkan tubuhnya. Memasuki kamar ia langsung menghempaskan diri di tempat tidur. Perempuan itu mengenakan pakaian minim yang menggoda gairah. Setengah sadar Markus menatap perempuan itu. Pandangannya terhenti. Perlahan pengaruh alkohol yang menguasainya luntur. Markus seperti menatap sesosok hantu. Sementara perempuan itu terdiam. Wajahnya membeku. Keringat mendadak melumuri tubuhnya. Nafasnya tersendat, melewati sepasang daun bibir yang gemetar.
“Ayah?”.
Sejak malam itu sebagian besar hari-hari Markus hanya diisi dengan merenung.

Indera

BARU kali ini Adolf merasa dirinya digerogoti penyakit yang betul-betul janggal. Beberapa alat vitalnya sebagai seorang manusia lengkap, kini cenderung tidak konsisten menjalankan job descriptionnya. Mulanya memang ia tak yakin. Tapi setelah melalui uji fungsional yang telah diulangnya kesekian kali, Adolf merasa perlu untuk tidak lagi memperlakukan gejala ini secara main-main.
Semua bermula ketika tiga hari lalu ia pergi ke toko kaset untuk membeli album terbaru Kelly Klarkson, salah satu dari puluhan diva favoritnya. Di usia yang nyaris menapaki setengah abad, ia bukannya tak menyelami perkembangan dunia musik kontemporer. Jawara idolnya negeri paman sam itu hanya salah satu penyanyi yang menggugah selera musiknya. Masih ada Madonna, Britney Spears, serta beberapa penyanyi wanita sexy lain yang juga sangat digilainya.
Dengan tidak sabar Adolf membelandang keluar dari Mega Mall menuju Blazer hitam berplat merah kesayangannya di tempat parkir. Tape langsung dihidupkan dan CD original berharga ratusan ribu itu segera dipasang. Adolf bersiul-siul sendiri sambil tidak sabar menanti menggemanya irama hits terbaru sang idola. Lima menit berlalu dan tak secuilpun irama lagu terdengar. Menginjak menit ke sepuluh keceriaan di wajah Adolf memudar diganti dengan perasaan dongkol.
“Tape sialan!” makinya dengan nada kesal. Namun setelah ditimang-timang ia teringat kalau tape buatan jepang itu baru selesai diservis seminggu lalu. Mustahil tempat reparasi bertarif mahal gagal membetulkan kerusakan tapenya yang tergolong tidak parah. Hanya beberapa komponen kecil saja yang tak berfungsi. Masih dengan kedongkolan yang sama ia bergegas kembali ke toko kaset tadi.
“Maaf, saya ingin menukar CD yang saya beli tadi dengan yang baru” ketus Adolf kepada penjaga kasir.
“Memangnya kenapa Pak?”
“CD itu sama sekali tak berfungsi di tape saya. Sedangkan saya baru saja memperbaikinya seminggu yang lalu. Pasti ada yang tidak beres dengan produk kalian”.
“Kaset ataupun CD yang dijual di sini semuanya produk asli, jadi tidak mungkin bermasalah” si kasir mengajukan pembenaran.
“Tapi CD itu benar-benar tidak mengeluarkan suara” ujarnya beranjak geram.
“Kalau begitu sebaiknya kita putar dulu di sini untuk membuktikan kebenarannya” tukas si kasir menawarkan solusi.
“Silakan kalau itu mau kalian”. Adolf menatap penjaga kasir itu penuh dendam. “Kita lihat saja siapa yang keliru” desisnya marah.
Si kasir dengan tenang memasukkan CD itu ke dalam tape. Adolf melototkan matanya lebar-lebar seolah tak sabar mengumpat si kasir begitu apa yang diyakininya terbukti benar.
Setelah lima detik si kasir tersenyum. Lima orang karyawan lain yang rupanya telah mengamati sejak tadi pertengkaran ini juga tersenyum.
“Betulkan Pak. Ternyata memang tape bapak yang rusak” ujar lelaki itu puas.
Adolf tercekat. “apanya yang rusak, lagunya kan tidak keluar”
Begitu mendengar umpatan Adolf seluruh orang-orang di dalam toko kaset, tak terkecuali pengunjung, kontan terbahak.
Seketika itu juga raut wajahnya memerah seolah telah meneguk sebotol Cap tikus.
Dengan perasaan kalah ia beranjak dari tempat itu. Sel-sel otaknya secara simultan mulai menganalisa apa yang terjadi. Virus mematikan apa yang hinggap di telingaku hingga ia tak mau lagi menerima suara penyanyi yang kugemari. Pikir Adolf tak mengerti di dalam mobil. Sebetulnya ia ingin buru-buru pulang kerumah karena perutnya sudah merengek-rengek minta diisi sejak tadi. Memimpikan menyantap Ragey yang dibuat istrinya sebelum ia pergi keluar. Namun keinginan itu tidak lagi menjadi motivasi utamanya untuk segera pulang. Setiba di rumah kedua kakinya melangkah tergesa-gesa ke dalam kamar. Membongkar sejumlah koleksi CD penyanyi-penyanyi favorit yang berjejer rapi di dalam lemari.
Masih dipenuhi kegetiran ia mencoba memutar kembali koleksi tadi satupersatu. Tangan kanannya terlihat gemetar.
Dan,….Adolf tertunduk lesu. Saat itu juga ia segera berkesimpulan bahwa memang ada yang tidak beres dengan indera pendengarnya. Tak ada satupun dari jejeran CD itu mengeluarkan suara.
“Sebaiknya kita ke dokter ahli” usul istrinya setelah ia menuturkan musibah yang telah menimpa.
“Ya sudahlah. Siapa tahu saja ini memang murni masalah medis”
“Akhir-akhir ini mama lihat papa terlalu lelah. Sebaiknya papa lebih banyak lagi meluangkan waktu untuk istirahat. Penyakit jaman sekarang memang suka aneh-aneh. Jangan-jangan papa sedang menderita Skizofrenia. Di tabloid yang mama baca, penyakit itu sering menyerang orang-orang modern”
“Ah, aku tak percaya dengan penyakit-penyakit aneh itu. Kita lihat saja hasilnya besok” jawab Adolf menghibur diri.
Di atas ranjang istrinya dengan centil memberikan sebuah isyarat yang sangat pribadi. Adolf menggeleng, tidak menanggapi kode rahasia yang hanya dipahami mereka berdua itu.
Dua jam berusaha, Adolf gagal merayu kedua matanya untuk terkatup. Sementara istrinya sudah melayang ke langit ketujuh dengan dengkuran yang menggetarkan telinga. Kegelisahan yang akut membuat keringat dingin mulai melumuri sekujur tubuhnya. Ia coba mengusir stres dengan menghidupkan sebatang rokok. Dilumatnya dalam-dalam untuk mengalihkan fokus pikir ke pokok yang lain. Semuanya sia-sia. Persoalan ini terlalu rumit untuk disingkirkan.
Bingung melakukan apa, Adolf memutuskan nonton film saja. Melalui pilah-pilah yang dilakukannya selama sepuluh menit, pilihannya jatuh pada salah satu film favorit, Basic Insting, film terseksi abad ini. Tak sekalipun ia jenuh meski telah menonton film itu entah ke berapa belas kalinya.
Adolf menyalakan TV sembari memasang film. Segelas kopi kini terhidang di meja kecil sebelah kiri tempat tidurnya. Sambil menghela nafas panjang tombol remote control dipencetnya tenang.
Namun, kembali Adolf berang. Bukannya pose seksi Sharon Stone atau akting memukau Michael Douglas yang muncul melainkan sebuah layar tanpa gambar secuilpun.
“Apa-apaan lagi ini” bisiknya sendiri.
Ia mendentamkan TV dengan telapak tangan. Tak ada gambarnya juga. Istrinya yang terbangun karena dentaman tadi menjadi ketakutan.
“TVnya kok dipukul-pukul Pa, bisa rusak nanti!”
“TV ini mesti diservis Ma, Tabung gambarnya rusak mungkin”
“Itu filmnya sudah mulai” sahut sang istri memberi tahu.
“Mulai apanya, gambarnya saja tidak ada”
Keributan di kamar depan itu membuat seluruh penghuni rumah terbangun. Dan dari pembantu hingga si bungsu Jacklin, semuanya sepakat kalau tidak ada masalah dengan layar TV itu. Adolf terisak dalam pelukan istrinya. Kedua putra-putrinya yang lucu-lucu duduk di samping tempat tidur sambil terus memberi dukungan moril untuk ayah tercinta. Adolf tampak lesu hingga untuk meluapkan kejengkelannyapun ia tak punya energi lagi. Mengalami gangguan serius pada dua indera vital, jelas membikin siapapun resah.
“Jangan-jangan ayah didoti orang” ujar si sulung Marcel menduga-duga.
“Hush, jangan asal ngomong kamu. Yang begitu-begitu semuanya omong kosong” potong ibunya dengan nada keras. Sebagai ibu rumah tangga modern mempercayai mitos seperti itu sama juga dengan membuang-buang waktu untuknya.
Namun celoteh spontan anaknya mengundang Adolf merenung-renung. Reputasinya yang cukup diperhitungkan di daerah itu memang cukup rentan memancing rasa sirik orang. Sudah banyak pejabat-pejabat penting meninggal secara tak wajar atau mendapat penyakit aneh karena dikabarkan kena guna-guna saingan-saingan politiknya. Lima bulan lalu secara meyakinkan Adolf meraih kursi di kancah legislatif menundukkan beberapa pesaing. Peraihan suaranya cukup mencolok mengingat memang ia figur yang telah lama dikenal di daerah itu. Bermacam metode terselubung telah ia terapkan demi merengkuh posisi penting ini. Meski terselubung, tetap saja di mata masyarakat semuanya tampak bersih dan mengkilat. Membikin siapapun silau hingga tak tahan untuk melubangi kertas bergambar wajah tampannya. Dukungan partai yang lumayan sangar di masa lalu menjadi salah satu faktor keberhasilannya.
Keesokan hari Adolf mengunjungi seorang dokter ahli ternama.
“Berapapun saya bayar dok, asal dokter bisa menyembuhkan kelainan yang saya derita ini” todong Adolf tak sabar.
“Saudara tenang dulu. Nanti saya periksa beberapa indera bapak yang katanya memiliki kelainan itu”
Adolf mengikuti dokter gemuk itu ke ruang sebelah untuk diperiksa. Sementara istrinya menunggu dengan berdebar-debar di luar.
Setelah diperiksa sekitar sepuluh menit dokter beralih ke ruang sebelahnya lagi untuk berdiskusi dengan temannya sesama dokter. Adolf disuruh kembali ke ruang tunggu.
“Bagaimana dok?” tanya Adolf cepat.
Dokter menanggalkan kacamatanya. Wajah dan pakaian putihnya mulai basah oleh keringat.
“Ehm.. begini, ada bagian-bagian tertentu dari organ bapak yang sudah tidak berfungsi lagi. Tapi kami masih bingung bagian mana yang tak lagi bekerja itu. Kemampuan tenaga medis di sini belum bisa menangani penyakit serumit ini. Saya sendiri baru sekarang menghadapi kasus seperti begini”
“Jadi dok?”
“Sebaiknya bapak coba memeriksakan diri pada tenaga yang lebih ahli lagi”
Pernyataan dokter kontan membuat Adolf dan istrinya panik.
“Di mana bisa saya peroleh tenaga lebih ahli lagi dok?”
“Di luar negeri. Mungkin Singapura atau Jepang”
Adolf terdiam. Untuk sekarang agak sulit baginya kalau harus ke luar negeri. Minggu lalu ia baru saja kembali dari Mesir dalam rangka studi banding bersama anggota legislatif komisi X lainnya. Walau sesungguhnya ia tak akan membantah bila ada orang yang menuduh keberangkatan mereka tak lebih dari sekadar berdarmawisata. Menghamburkan ratusan juta dengan berbelanja dan jalan-jalan di negeri orang.
“Ke paranormal saja. Saya kenal orang pintar yang cukup sakti mengobati penyakit aneh begini” saran Ferry temannya ketika Adolf melancong ke rumahnya yang mewah.
“Kamu yakin dia bisa menyembuhkan saya?”
“Ya dicoba dulu lah. Yang jelas sudah banyak orang mengaku puas setelah melakukan konsultasi dengan orang pintar itu” lanjutnya meyakinkan.
Adolf merasa tak punya pilihan. Satu-satunya solusi yang tersisa memang mengadu pada paranormal.
Siang itu juga kedua pria berpakaian rapi ini mengunjungi tempat paranormal membuka praktek. Entah kepada siapa lagi ia akan mencari solusi kalau cara yang satu ini gagal menghasilkan jalan keluar. Kekomplitannya sebagai seorang manusia bermartabat tinggi tercoreng sudah di mata orang banyak. Dan yang paling penting ia tak bisa lagi menikmati lagu-lagu dan film-film kegemarannya.
“Kali ini pasti berhasil” tukas Ferry menyugesti. Sedan hitam melancong ke sebuah pekarangan di ujung kota. Rupanya si paranormal sudah menunggu lantaran Ferry telah memesannya lewat telepon tadi. Adolf diperintahkan masuk pada sebuah ruangan agak gelap. Penerangan lampu lima watt membuat segala sesuatu terlihat samar.
“Bagaimana pak, apanya yang bermasalah pada tubuh saya”
“Sebetulnya tidak ada yang bermasalah. Semua bagian penting pada tubuh anda sehat-sehat saja”
Mendengar kabar baik itu sejenak nafas Adolf mengalir normal.
“Terus kenapa mata dan telinga saya sering angin-anginan pak?”
“Hm..” si paranormal memejamkan matanya sebentar. “sebetulnya persoalannya sederhana saja. Mata dan telinga anda angin-anginan karena sudah tidak difungsikan lagi”
Adolf mengernyitkan dahi. “yang benar saja, justru mereka yang enggan saya fungsikan. Bapak bagaimana sih” jawabnya spontan.
“Maksud saya kedua indera bapak itu ngambek karena sudah tidak difungsikan sebagaimana mestinya”
“Saya jadi tidak mengerti. Selama ini mereka selalu saya fungsikan secara benar. Mata saya pakai melihat dan telinga saya pakai mendengar. Beres kan pak”
“Itulah masalahnya. Semua tidak boleh asal pakai. Ada norma-norma spiritual yang mesti diperhatikan”
“Maksudnya?”
“Dalam ilmu kebatinan setiap indera mempunyai hakekat masing-masing pada setiap masing-masing orang, sesuai profesi dan tanggungjawabnya di muka bumi. Em.. kalau boleh tahu profesi anda apa ya?”
“Saya pejabat legislatif pak”
Si Paranormal tersenyum. Lima detik berikut si Paranormal tertawa geli.
“Kok bapak malah tertawa sih!” bentak Adolf terusik.
“Sebetulnya akhir-akhir ini banyak sekali orang-orang berprofesi seperti anda yang datang pada saya dengan keluhan yang sama. Rupanya penyakit seperti ini sedang populer di kalangan kalian ya”
“Populer?”
“Makanya, pakai telinga dan mata kamu secara benar. Kalau tidak saya tak sanggup membayangkan akibat lanjutannya nanti” lanjut si Paranormal sambil terus tertawa tanpa henti.
Sementara Adolf tetap diam seribu bahasa. Seperti orang dungu yang tak tahu mau berkata apa. Semakin Adolf bertambah bingung, semakin si Paranormal terbahak keras.

Pengakuan

Walaupun stenga mati
kita musti bilang pengakuan ini
kita nda pernah bisa lapas
dari ngana pe jerat senyum

waktu bajalang
bageser di titik saat torang
sama-sama bersepakat
baku jabat rasa
baku gate rindu

detik-detik berikut
kita pe hidop adalah penungguan
for satu masa
ketika tautan rasa
menjelma keabadian

mar kiapa ngana masih tapaku
pada senyum bisu itu
mar kiapa ngana masih badiang
di balik topeng kata-kata
skarang kita nda lagi butuh itu
bukang lagi tangkai melati pa ngana pe mata
yang rindu kita mo pete

kita rindu saat ngana
dirikan sebuah dermaga
for labuhan torang dua pe hati

Februari 2009

Sambunyi

Ngana bilang kita bisae
Mar kiapa ngana slalu haga pa kita
Deng cara bagitu

Ngana bilang kita beking pastiu
Mar kiapa ngana slalu senyum tiap kali
Bacirita deng kita

Ngana bilang kita bukang laki-laki istimewa
Mar kiapa ngana nyanda tolak waktu kita tanya pa ngana

Ngana bilang kita slalu beking dapa binci
Mar kiapa ngana manangis tahede-hede
Waktu kita kase putus pa ngana

Susah so kwa mo bilang
kalu ngana
Cinta mati pa kita

2008

Sepercik Deja Vu Yang Nyanda Lunas

Bajalang sandiri di pagi buta, harum hangat tabako
Redakan gigil sepi yang baru klar.
Jalang kita manjae, tanpa benang harap,
cuma dingin yang manyanyi pelang.
Kong kita pun kehilangan
bara yang sempat manyala di dada, kala torang dua
pe jemari berpagutan, di jalang ini.
mar waktu itu nda ada gigil yang basoso
nyanda ada runcing dingin tembusi pori-pori
Cuma kerling torang pe rasa yang sederhana
Getarkan sisa-sisa gelap yang payungi ini jalang

Kong ngana bise pa kita satu kata sederhana:
Tentang riak kenangan yang so klar torang tuntaskan.
Abis itu kita lia ngana pe kening, masih ada sepercik warna, basilau, masih ada ambisi yang amper patah
Mar kita tau, sebuah kecupan nda akan bisa
mengabadikan warna itu
Kita pun kase biar ni bibir membeku, bercinta deng kesendirian abad, bercinta deng hangat wangi tabako.
Kong ngana gandeng kita pe tangan
jambak kita deng senyuman membayang
Mar kita pe hati so terlanjur dirampas ombong
yang rupa cermin pantulkan kekakuan pa kita pe jiwa

Kita trus bajalang, sambil balia tulang-tulang rapuh
talimburang di tenga jalang. nyanda ada sketsa
ato sehelai kartu nama, hanya aroma kekalahan
bagentayangan, memburu tangkapan berikut

Pagi ini ada sepercik Deja Vu yang nyanda lunas
Saat kita mulai belajar bersenggama deng sejuknya
perjalanan sepi, saat ngana pe muka jadi
takdir yang terhalang tembok, terhalang kegilaan zaman.

Februari 2009

Kita Pe Bumi

Di atas kita pe tanah orang-orang
Baku lempar senyum
Baku kase kasih sayang
Agama nyanda rupa piso, tasontong sadiki tairis

Di bawah kita pe langit
yang rajin kase ilmu yang malas
Nyanda ada yang kaya
Nyanda ada yang miskin
Samua torang punya sama-sama

Di kita pe bangsa samua orang boleh berbeda
Kong baku-baku hormat
Penyair bapuisi sampe kanyang
Nyanda pusing popoji kosong
Karna so nyanda perlu pake doi

Di kita pe skolah
Nyanda ada guru nyanda ada murid
Samua orang pe status sama
Kong saling membelajarkan

Di kita pe lorong
Samua orang boleh batalanjang di tenga jalang
Baku se tunjung masing-masing pe “barang”
Karna so nyanda ada lagi
manusia-manusia yang munafik

Di kita pe negara tentara deng polisi so nyanda ada
Karna so nyanda ada perang
Samua masyarakat hidop tentram
So nyanda ada kejahatan kemanusiaan

Di kita pe kampung nyanda ada yang baku bunung, bapancuri orang laeng punya
Ato baku lawang golojo jabatan
karna samua so hidop sanang

Di kita pe kota kantor pengadilan,
kantor KPK, Rutan so nyanda ada
karna samua orang so tau
bagimana mo jadi manusia

Di kita pe bumi
tiap hari torang cuma tau baku cuki deng berkarya
minum cap tikus sampe puas
mar tetap baku bangong tu kebudayaan masing-masing

Di kita pe .........

“Woi bangong!! So tenga hari ini, nya mo pigi kuliah ngana?!!!”

Auw.. Bukang ajus pe suara itu?, ah butul... poloi le, masih tagantong tu mimpi ...

27 Februari 2009